PERSPEKTIF TATA KELOLA INDUSTRI HULU–HILIR MINERAL INDONESIA

Penulis: Juanda Volo Sinaga (Analis Kebijakan Ahli Muda)


Latar Belakang

Indonesia memiliki cadangan mineral strategis yang besar, mulai dari nikel, tembaga, bauksit, timah, hingga logam tanah jarang. Potensi ini menjadi kunci untuk mendorong transformasi ekonomi. Namun, tata kelola mineral dari hulu ke hilir masih menghadapi berbagai tantangan seperti fragmentasi kelembagaan, ketergantungan impor, keterbatasan teknologi dan SDM, keterbatasan pendanaan, serta dominasi produk setengah jadi. Kondisi ini menimbulkan risiko bahwa meskipun Indonesia telah melakukan industrialisasi, negara tetap berpotensi hanya menjadi pasar bagi produk bernilai tambah tinggi.

Indonesia menargetkan menjadi Negara Industri Tangguh 2035 (RIPIN, PP No. 14/2015) dan mencapai Indonesia Emas 2045 (RPJPN, PP No. 18/2020). Namun, selama tiga dekade terakhir, Indonesia masih terjebak dalam middle income trap dengan GNI per kapita USD 4.960 (2024). Padahal, Indonesia telah menjadi produsen mineral utama dunia dan berada di posisi 10 besar manufaktur global dengan kontribusi 1,4% terhadap output manufaktur dunia (Bappenas, 2023).

Hilirisasi mineral telah memberikan dampak signifikan, khususnya pada ekspor nikel. Ekspor nikel melonjak dari USD 3,3 miliar pada 2017 menjadi USD 33,8 miliar pada 2023 (Lahadalia, 2024). Namun, pencapaian ini masih bersifat parsial karena didominasi produk setengah jadi. Untuk melompat keluar dari middle income trap, hilirisasi perlu diarahkan ke pengembangan industri material maju. Industri ini akan menjadi backbone manufaktur nasional, penyedia komponen esensial, sekaligus mendukung kemandirian teknologi pertahanan.

Kondisi Hilirisasi Mineral Saat Ini

Industri manufaktur mineral di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai persoalan mendasar. Struktur ekonomi masih sangat resource-based, bergantung pada keunggulan sumber daya alam, namun belum mampu mengubahnya menjadi keunggulan kompetitif. Basis sumber daya yang melimpah justru masih diimbangi oleh tingginya ketergantungan impor bahan baku dan barang setengah jadi. Plat baja, billet aluminium, kawat tembaga, hingga alloying elements masih didatangkan dari luar negeri, sehingga biaya produksi meningkat 20–30 persen akibat fluktuasi kurs dan bea masuk. Kondisi ini membuat industri domestik hanya mampu menghasilkan produk sampai tahap barang setengah jadi, sehingga nilai tambah yang optimal belum tercapai. Keterbatasan infrastruktur logistik dan belum stabilnya pasokan listrik semakin memperberat daya saing industri dalam negeri (Irawan, 2025).

Sejalan dengan kondisi tersebut, rantai nilai hilirisasi mineral di Indonesia saat ini masih terhenti pada tahap hilirisasi primer. Pada level hilirisasi primer, produk masih berupa bahan setengah jadi seperti nikel matte, katoda tembaga, feronikel, atau alumina. Sebagaimana tergambar dalam Gambar 1, proses pengelolaan mineral dimulai dari sumber daya mineral melalui eksplorasi hingga menghasilkan data cadangan. Tahap berikutnya adalah hilirisasi primer yang menghasilkan konsentrat atau logam antara. Namun, proses ini jarang berlanjut ke hilirisasi intermediate yang menghasilkan logam murni, dan hampir tidak terintegrasi ke hilirisasi akhir yang menyediakan produk siap pakai atau komponen untuk kebutuhan industri lain.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pengolahan mineral di Indonesia masih berada pada level paling dasar dalam rantai nilai hilirisasi, sehingga nilai tambah yang dihasilkan relatif rendah. Akibatnya, meskipun Indonesia memiliki sumber daya mineral yang melimpah, kontribusinya terhadap daya saing industri nasional belum maksimal, karena logam murni dan produk manufaktur bernilai tinggi masih sangat bergantung pada impor.

 

Gambar 1. Kondisi Industri Manufaktur Indonesia Saat Ini

Di sisi teknologi, penguasaan industri nasional masih terbatas pada tahap smelting produk dasar seperti FeNi dan NPI. Indonesia belum berhasil menguasai teknologi lanjutan seperti High-Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sangat penting untuk menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik, superalloys, maupun aerospace alloys. Teknologi HPAL memerlukan suhu tinggi (~255 °C) dan tekanan tinggi (~725 psi) dengan penggunaan asam sulfat, serta menghadapi tantangan pengelolaan limbah berbahaya dan intensitas energi yang tinggi (IEEFA, 2024). Meskipun investasi asing, terutama dari Tiongkok, telah membawa masuk fasilitas smelter dan HPAL, penguasaan teknologi inti ini masih sangat terbatas di tangan domestik (FT News, 2025).

Keterbatasan lain yang signifikan adalah rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Indonesia masih kekurangan insinyur metalurgi, peneliti material, serta teknisi vokasi yang sejalan dengan kebutuhan industri (Irawan, 2025). Kondisi ini diperburuk oleh regulasi dan kelembagaan yang masih terfragmentasi. Pengelolaan sektor hulu berada di bawah Kementerian ESDM, sementara hilir berada di bawah Kementerian Perindustrian. Pemisahan kewenangan ini kerap menimbulkan tumpang tindih kebijakan dan koordinasi yang lemah, sehingga integrasi hulu–hilir tidak berjalan optimal (Zaki Mubarok, 2023).

Selain itu, persaingan dengan produk impor juga menekan daya saing industri dalam negeri. Produk lokal seringkali kalah harga dibandingkan produk dari Tiongkok, ditambah maraknya praktik penyelundupan logam murah (Wibowo, 2018). Di sisi lain, kualitas dan standarisasi produk domestik masih lemah, sehingga gagal memenuhi standar internasional seperti ISO dan ASTM, yang menyebabkan terbatasnya penetrasi ke pasar ekspor (KumparanBISNIS, 2025). 

Kondisi ini memperlihatkan bahwa meskipun Indonesia memiliki sumber daya mineral yang sangat besar, industri masih terjebak dalam pola resource-based economy yang berhenti di barang setengah jadi. 

Kondisi yang Diharapkan

Kondisi yang diharapkan adalah Indonesia Emas 2045 dengan negara berpendapatan tinggi dan GNI per kapita 23.000 – 30.000 USD, PDB 5 terbesar dunia, dan kontribusi manufaktur terhadap PDB 28%. Untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur, diperlukan pergeseran dari pendekatan resources based menuju pendekatan demand base economy, yaitu hilirisasi yang diarahkan dari hilir ke hulu untuk memenuhi kebutuhan nyata industri nasional seperti otomotif, energi terbarukan, transportasi, elektronik, kesehatan, dan pertahanan. Pergeseran ini memiliki keunggulan strategis untuk memastikan kebutuhan mineral untuk mendukung kemandirian industri, mengurangi impor bahan baku, meningkatkan penyerapan tenaga kerja terampil, serta memperluas kontribusi manufaktur terhadap PDB.

 

Gambar 2. Konsep Pohon Industri Terbalik


Gambar 2 di atas, menjelaskan konsep pendekatan demand base dimulai dari menentukan industri hilir dan industri strategis apa saja yang akan dibangun terlebih dahulu, baru kemudian menghitung data kebutuhan pada: level hilirisasi akhir, hilirisasi intermediate, hilirisasi primer, kemampuan produksi, dan ketersediaan cadangan dan sumber daya mineral.

Pada level hilirisasi primer, produk masih berupa bahan setengah jadi seperti nikel matte, katoda tembaga, feronikel, atau alumina. Tahap intermediate menghasilkan batang, kawat, plat, slab, alloy, maupun powder metal yang digunakan sebagai bahan baku industri. Tahap akhir mencakup produk bernilai tinggi seperti komponen otomotif, peralatan elektronik, mesin, pesawat, suku cadang, jembatan, rel kereta, hingga kapal. Konsep ini menekankan bahwa pengelolaan mineral seharusnya diarahkan berdasarkan permintaan industri hilir, sehingga hilirisasi benar-benar memberi kontribusi maksimal terhadap daya saing nasional.

Orientasi demand base menjadi pilihan strategis. Dengan pendekatan ini, mineral yang ditambang dan diolah diarahkan secara terencana untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor kunci industri nasional, sehingga hilirisasi benar-benar menjadi motor penggerak kemandirian industri, pertahanan, dan peningkatan daya saing global.


 

(Eddy Agus Basuki, 2025)

Gambar 3. Konsep Demand Base pada Industri Strategis Pertahanan dan Keamanan

Gambar 3 di atas adalah contoh detil yang memperlihatkan konsep demand base pada industri strategis pertahanan dan keamanan yang menempatkan kebutuhan industri strategis sebagai titik awal hilirisasi. Dalam konteks pertahanan, kebutuhan produk akhir seperti senjata api, propelan, radar, hingga pesawat terbang ditentukan terlebih dahulu. Dari situ  lalu ditarik mundur ke hulu untuk mengidentifikasi mineral kritis yang diperlukan, seperti superalloys berbasis nikel–kobalt, aluminium–lithium untuk dirgantara, logam tanah jarang untuk magnet permanen, serta keramik silikon karbida untuk perlindungan balistik. Dengan pola ini, eksploitasi mineral diarahkan secara terencana untuk memenuhi permintaan strategis nasional.

Selain itu, mengingat regulasi dan kelembagaan masih menghadapi kendala, yakni kewenangan yang masih terfragmentasi antara Kementerian ESDM (hulu) dan Kementerian Perindustrian (hilir), sehingga koordinasi lemah dan integrasi rantai nilai tidak optimal (Zaki Mubarok, 2023) dan upaya melalui satgas hilirisasi pun belum efektif karena bersifat ad hoc, maka perlu adanya kelembagaan permanen dengan mandat jelas untuk menyatukan tata kelola hilir-hulu. Oleh sebab itu, pembentukan badan resmi dengan mandat jelas dan otoritas kuat, seperti Badan Industri Mineral (BIM), untuk mendorong transformasi menyeluruh dari hulu ke hilir agar sumber daya mineral benar-benar menjadi motor industrialisasi nasional sudah tepat. Hal ini sejalan dengan teori Developmental State menegaskan pentingnya peran negara dalam mengarahkan industrialisasi melalui lembaga khusus (Johnson, 1982; Amsden, 1989).

Tawaran Solusi

Berdasarkan kondisi pengelolaan mineral saat ini dan kondisi yang diharapkan maka tawaran solusi yang diberikan adalah sebagai berikut:

1. Pergeseran Paradigma dari Pendekatan Resource Base ke pendekatan Demand Base

Kebijakan hilirisasi harus bergeser dari sekadar mengeksploitasi sumber daya (resource base) menuju demand base yang berorientasi pada kebutuhan nyata industri nasional. Pendekatan ini menekankan agar pengelolaan mineral diarahkan untuk memenuhi permintaan sektor otomotif, energi terbarukan, elektronik, transportasi, kesehatan, dan terutama pertahanan di dalam negeri. 

2. Tata Kelola Terpadu melalui Badan Industri Mineral (BIM)

End-to-end mineral governance diperlukan untuk mengintegrasikan hulu–smelter–hilir. BIM sebagai policy orchestrator, tidak hanya bertugas mengoordinasikan regulasi, tetapi juga berperan sebagai arsitek kebijakan, penjaga cadangan strategis, dan innovation broker. Peran ini sesuai dengan teori Holistic Innovation Policy (Borrás & Edquist, 2019) dan Triple Helix (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).

3. Membangun Industri Logam Advanced sebagai Fondasi Semua Industri

Industri logam advanced seperti superalloys, paduan aluminium-lithium, serbuk logam (powder metallurgy), hingga magnet logam tanah jarang harus dikembangkan sebagai backbone yang menopang seluruh sektor manufaktur. Industri ini berfungsi sebagai penyedia material dasar utama untuk otomotif, dirgantara, energi, kesehatan, elektronik, telekomunikasi, konstruksi, hingga pertahanan. Tanpa penguasaan industri logam advanced, Indonesia akan terus bergantung pada impor untuk komponen strategis bernilai tinggi.

4. Prioritas Hilirisasi Mineral

Hilirisasi harus diarahkan pada produk bernilai tambah tinggi, dengan prioritas:

Nikel. Dari bijih ? FeNi/NPI/Ni-matte ? katoda & prekursor ? baterai EV, stainless steel 304+, superalloys.

Tembaga. Dari konsentrat ? katoda ? kabel HV, motor EV, elektronik.

Bauksit/Aluminium. Dari bauksit ? alumina ? aluminium ingot ? otomotif & dirgantara.

Timah. Dari logam timah ? solder elektronik & kimia timah.

LTJ. Dari konsentrat ? oksida/logam ? magnet permanen NdFeB.

5. Arah Riset, Teknologi, dan SDM

Diperlukan pembangunan Strategic Mineral Research Hub di tiap klaster industri (Morowali, Batang, Kalimantan, Bangka). Fokus riset diarahkan pada TRL 4–7, yaitu transisi teknologi dari validasi laboratorium ke prototipe industri (NASA, 2012). Untuk mendukungnya, program beasiswa teknik material dan metalurgi perlu ditingkatkan, disertai penguatan pendidikan vokasi dan sertifikasi keahlian. Dengan langkah ini, inovasi domestik dapat mendorong industrialisasi dan menghindari jebakan middle income trap (Barney, 1991).

6. Insentif Fiskal dan Skema Pembiayaan

Pembangunan industri material maju membutuhkan modal sangat besar dengan risiko teknologi tinggi. Pemerintah perlu memperluas dukungan melalui tax holiday, kredit riset, skema public-private partnership (PPP), serta insentif impor mesin canggih. Dengan kebijakan fiskal yang tepat, industri lokal dapat naik ke tahap product & process upgrading dalam GVC.

Daftar Pustaka:
Amsden, A. H. (1989). Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization. Oxford: Oxford University Press.
Bappenas. (2023). Aspirasi RPJPN 2025–2045: Strategi Industrialisasi Berbasis Hilirisasi. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Barney, J. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 17(1), 99–120. https://doi.org/10.1177/014920639101700108
Borrás, S., & Edquist, C. (2019). Holistic Innovation Policy: Theoretical Foundations, Policy Problems, and Instrument Choices. Oxford: Oxford University Press.
Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). The dynamics of innovation: From National Systems to a Triple Helix of university–industry–government relations. Research Policy, 29(2), 109–123. https://doi.org/10.1016/S0048-7333(99)00055-4
Frank, A. G. (1967). Capitalism and Underdevelopment in Latin America. New York: Monthly Review Press.
FT News. (2025, Februari 13). “The Opec of nickel”: Indonesia’s control of a critical metal. Financial Times. https://www.ft.com/content/0bbbe7c7-12a1-43ba-8bef-c5c546367a0e
Gereffi, G., Humphrey, J., & Sturgeon, T. (2005). The governance of global value chains. Review of International Political Economy, 12(1), 78–104. https://doi.org/10.1080/09692290500049805
IEEFA. (2024). Indonesia’s nickel companies need better-reformed energy policy to reduce GHG emissions from smelting. Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA). https://ieefa.org/sites/default/files/2024-10/IEEFA Report - Indonesia's nickel companies need RE_Oct2024.pdf
Irawan, H. (2025, Januari 10). Hilirisasi industri tambang: Peluang dan tantangan dalam membangun ketahanan ekonomi Indonesia. ANTARA News. https://www.antaranews.com
Johnson, C. (1982). MITI and the Japanese Miracle: The Growth of Industrial Policy, 1925–1975. Stanford: Stanford University Press.
KumparanBISNIS. (2025, Januari 15). Riset UI: Hilirisasi jadi prasyarat sektor industri menuju Indonesia Emas 2045. Kumparan.com. https://kumparan.com
Lahadalia, B. (2024, Juli 11). Hilirisasi jalan menuju Indonesia Emas 2045. Paparan Menteri Investasi/BKPM di IPDN Sumedang. ANTARA News.
Lundvall, B. Å. (1992). National Systems of Innovation: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning. London: Pinter Publishers.
NASA. (2012). Technology Readiness Level Definitions. Washington, DC: NASA.
Wallerstein, I. (1974). The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. New York: Academic Press.
Wibowo, R. (2018, Februari 7). Kadin beberkan kendala hilirisasi mineral tambang. Tambang.co.id. https://www.tambang.co.id
Zaki Mubarok, A. (2023). Harmonisasi kewenangan hilirisasi industri pertambangan. Kemenko Perekonomian RI Report.

sumber: HumasMinerba