Pemerintah Dorong Hilirisasi Total dan Tata Kelola Logam Tanah Jarang
Bandung, 2 November 2025 — Arah tata kelola logam tanah jarang perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya, kapasitas teknologi, serta kepentingan nasional Indonesia. Hal tersebut ditegaskan oleh Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Julian Koto, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Ikatan Alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (IATG ITB) yang digelar di Bandung, Sabtu (2/11).
Julian memaparkan kebijakan pemerintah dalam tata kelola dan hilirisasi logam tanah jarang (LTJ), salah satu mineral kritis yang semakin strategis dalam mendukung transisi energi dan kemandirian industri nasional.
Indonesia memiliki potensi logam tanah jarang yang besar, baik dari sumber primer maupun hasil samping (by-product) industri mineral lainnya seperti bauksit, timah, dan nikel. Dari hasil kajian, tailing industri tersebut mengandung LTJ dalam jumlah yang signifikan — mulai dari 150 ppm pada tailing nikel hingga 2.000 ppm pada tailing timah.
“Keuntungan LTJ dari tailing adalah tidak perlu eksplorasi baru, tinggal diolah atau diekstraksi. Ini jauh lebih efisien dan berpotensi besar bagi ekonomi nasional,” jelasnya.
Julian menambahkan hilirisasi mineral menjadi kunci penting dalam transformasi ekonomi Indonesia menuju negara maju. Melalui hilirisasi, nilai tambah dan lapangan kerja dapat meningkat signifikan. Misalnya, industri bauksit yang mempekerjakan 1.000 orang di sektor hulu bisa meningkat hingga 19.000 tenaga kerja bila dikembangkan menjadi industri aluminium terintegrasi. Namun hilirisasi juga membutuhkan dukungan energi bersih dan teknologi pemrosesan yang efisien.
“Hilirisasi dan ketahanan energi harus dirancang beriringan, mengingat energi untuk mengonversi satu juta ton bauksit ke alumina dibutuhkan sekitar dua gigawatt energi”, ujarnya.
Reformasi Regulasi dan Tata Kelola
Dalam forum tersebut, Julian juga menjelaskan arah reformasi regulasi yang tengah disiapkan pemerintah. Ditjen Minerba saat ini tengah menyiapkan revisi peraturan menteri yang akan menegaskan posisi LTJ sebagai mineral logam strategis di bawah kewenangan pemerintah pusat. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 296 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025, yang memperkuat dasar hukum pengelolaan mineral kritis nasional.
“Dalam draf permen baru, badan usaha wajib melakukan eksplorasi lanjutan, jika dalam dua-tiga tahun tidak dilakukan, maka wilayah izin dikembalikan kepada negara. “jelasnya.
Langkah Strategis Pengembangan LTJ
Ditjen Minerba juga telah menyusun tujuh langkah strategis untuk memperkuat pengembangan logam tanah jarang nasional, yaitu:
- Pengujian multi unsur sejak eksplorasi hingga pemurnian;
- Pemanfaatan by-product seperti tailing yang mengandung LTJ;
- Penetapan LTJ sebagai komponen strategis dalam ekosistem industri nasional;
- Penetapan LTJ sebagai industri prioritas nasional;
- Adopsi konsep urban mining dan ekonomi sirkuler;
- Insentif fiskal dan kemudahan investasi;
- Penguatan riset dan teknologi pemisahan LTJ.
Julian menegaskan pentingnya memperkuat kolaborasi riset nasional. Dulu ada tiga pilot plant untuk kegiatan penelitian dan pengembangan LTJ, di PT Timah, BBPMB Tekmira, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).