Konflik Israel - Iran Mengancam Pasokan Energi Dunia, Indonesia Perlu Siaga

Penulis: Juanda Volo Sinaga (Analis Kebijakan Ahli Muda)


Konflik terbuka antara Israel dan Iran yang memanas sejak awal Juni 2025 dan hari ini (23/06) semakin memanas mengirim sinyal guncangan baru ke pasar energi global. Ketegangan ini bukan hanya mengubah kalkulasi geopolitik di Timur Tengah, tetapi juga mengguncang harga minyak, gas, dan komoditas energi lainnya dengan potensi dampak yang signifikan bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Lonjakan Harga Minyak dan Gas
Brent crude langsung naik tajam 9% menuju kisaran USD?75 per barel dalam hari pertama konflik pecah, mencerminkan kekhawatiran pasar atas terganggunya pasokan dari Teluk Persia. Selat Hormuz, jalur laut yang dilalui sekitar 30% ekspor minyak global dan 20% LNG dunia, kini kembali menjadi titik krusial. Jika jalur ini diblokir atau terganggu, dunia bisa menghadapi krisis energi yang lebih parah dari saat invasi Rusia ke Ukraina.

Indonesia, sebagai negara net importir minyak, tentu rentan. Dengan produksi domestik yang stagnan di bawah 595 ribu barel per hari dan konsumsi yang terus meningkat, lonjakan harga minyak berarti tekanan berat pada neraca perdagangan migas dan fiskal negara.

Dampak ke APBN dan Inflasi
Dalam jangka pendek, gejolak harga energi ini akan menambah beban subsidi BBM dan LPG. Berdasarkan proyeksi internal pemerintah, setiap kenaikan USD 10 per barel dalam harga minyak dapat menambah beban subsidi hingga Rp 30–40 triliun per tahun. Jika konflik meluas dan harga melampaui USD 110 per barel, pemerintah terpaksa meninjau ulang asumsi APBN 2025, bahkan membuka opsi penyesuaian harga BBM bersubsidi yang sensitif secara politik.

Selain itu, tekanan inflasi dari sisi energi dapat merembet ke tarif transportasi, harga pangan, dan daya beli rumah tangga. Skenario ini memerlukan sinergi antara kebijakan fiskal, moneter, dan jaring pengaman sosial.

Peluang dari Komoditas Ekspor
Meski demikian, Indonesia tetap memiliki potensi keuntungan di tengah konflik, terutama sebagai eksportir energi primer seperti batubara dan LNG. Saat ini, harga batubara thermal global memang masih relatif menurun dibandingkan puncaknya pada 2022, tertekan oleh melimpahnya stok di China dan permintaan musiman yang belum pulih sepenuhnya di Asia. Namun, tren ini berpotensi berbalik jika konflik Israel–Iran berkepanjangan dan memicu disrupsi pasokan LNG dari Timur Tengah, khususnya dari Qatar dan UEA yang menyalurkan LNG melalui Selat Hormuz.

Jika pasokan LNG global terganggu, negara-negara di Asia dan Eropa kemungkinan akan kembali beralih ke batubara sebagai alternatif pembangkit, seperti yang terjadi pada krisis energi 2022. Maka, dalam skenario geopolitik yang memburuk, permintaan batubara bisa kembali melonjak di pasar spot, mendorong harga naik dan membuka kembali peluang windfall bagi eksportir besar seperti Indonesia.

Dengan cadangan batubara melimpah dan posisi sebagai pemasok utama ke India, China, dan Asia Tenggara, Indonesia bisa menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan dari potensi rebound harga batubara. Namun tentu saja, peluang ini harus dikelola dengan bijak melalui penguatan pasokan domestik, kepastian DMO, serta insentif terhadap hilirisasi agar manfaatnya tidak hanya dinikmati eksportir, tetapi juga mendukung agenda energi nasional secara berkelanjutan.

Dampak terhadap Investasi dan Kebijakan Energi
Ketidakpastian geopolitik biasanya berdampak dua sisi terhadap investasi. Di satu sisi, lonjakan harga komoditas energi dan mineral mendorong percepatan investasi hulu migas dan tambang. Sementara untuk sektor hilir seperti smelter, tekanan biaya energi justru bisa menjadi tantangan. Namun, bagi Indonesia, momentum ini juga membuka peluang strategis karena instabilitas global mendorong negara-negara untuk mengamankan rantai pasok bahan tambang melalui diversifikasi sumber dan pemrosesan di negara asal. Jika didukung oleh insentif energi dan kemudahan perizinan, investasi smelter tetap dapat tumbuh di tengah volatilitas global.Indonesia perlu memastikan bahwa respons kebijakan terhadap krisis tetap terukur dan transparan. Reformulasi insentif eksplorasi migas dan penyederhanaan izin tambang menjadi penting agar momentum harga tinggi tak berakhir menjadi peluang yang terlewat.

Urgensi Ketahanan Energi dan Diversifikasi
Konflik ini menjadi pengingat bahwa ketahanan energi bukan hanya soal cadangan BBM, tetapi juga diversifikasi sumber dan keamanan rantai pasok. Indonesia harus mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan, baik untuk sektor kelistrikan (PLTS, PLTMH, panas bumi) maupun transportasi (biofuel, kendaraan listrik). Pemerintah juga perlu mengevaluasi kembali strategi cadangan energi nasional baik BBM, gas, maupun batubara dan mendorong ASEAN untuk menghidupkan kembali inisiatif ASEAN Petroleum Security Agreement yang sampai saat ini masih mandek.

Krisis Israel–Iran tidak harus menjadi tragedi tapi bisa menjadi momentum reformasi energi. Jika direspons dengan cepat dan strategis, situasi ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat fondasi energi nasional. Indonesia bisa memainkan peran sebagai pemasok energi yang stabil di tengah gejolak global, sekaligus mempercepat reformasi kebijakan energi domestik yang selama ini tertunda.

sumber: HumasMinerba