Mineral Kritis dan Jalan Panjang Industrialisasi Hijau Indonesia

Penulis: Juanda Volo Sinaga (Analis Kebijakan Ahli Muda)

Indonesia memiliki kekayaan alam mineral yang besar dan beragam komoditasnya. Nikel, bauksit, tembaga, timah, besi, emas, perak, zircon, silika,  dan logam tanah jarang (rare earth elements/REE) tersebar dari Maluku, Sulawesi hingga Papua, dari Bangka Belitung hingga Kalimantan. Dalam peta global, Indonesia bukan hanya pemasok, melainkan pusat gravitasi baru dalam rantai pasok energi masa depan. Akan tetapi potensi sebesar ini hanya akan bernilai bila Indonesia mampu mengelolanya secara cerdas, berkelanjutan, dan terintegrasi dalam strategi industrialisasi nasional.

Transisi energi global yang ditandai oleh pertumbuhan kendaraan listrik, solar panel, turbin angin, dan penyimpanan energi mendorong lonjakan permintaan atas berbagai mineral kritis dan strategis. Namun, fenomena ini bukan sekadar peluang ekonomi. Fenomena in telah menjadi pergulatan geopolitik baru yang menempatkan negara-negara penghasil mineral dalam posisi strategis.Jika tidak siap bertransformasi maka akan terpinggirkan.

Dalam konteks inilah Indonesia perlu meninjau ulang paradigma tata kelola mineral dan batubara nasional. Selama beberapa dekade, Indonesia menganut pendekatan resource-based. Model ini merupakan model sederhana yang berbasis penggalian sumber daya yang ada, lalu diolah semampu yang dapat dikerjakan, lantas dijual ke pasar global. Model ini berhasil membawa pertumbuhan ekonomi, tapi sekaligus membuat Indonesia terjebak dalam ekonomi ekstraktif yaitu ekonomi yang bergantung pada ekspor bahan mentah, rentan terhadap fluktuasi harga, dan minim nilai tambah di dalam negeri.

Kini, perlahan namun pasti, Indonesia sedang bergerak menuju pendekatan demand-based. Sebuah pergeseran fundamental dalam perancangan kebijakan sektor tambang dan mineral. Dalam pendekatan ini, titik berangkatnya tidak lagi terletak pada "apa yang kita miliki", tetapi "apa yang dibutuhkan oleh pasar dan industri global". Fokus dari pendekatan ini adalah pada permintaan strategis dari baterai EV, semikonduktor, kabel tembaga, hingga teknologi fotovoltaik, serta bagaimana Indonesia bisa menyesuaikan produksi, hilirisasi, serta kebijakan fiskal dan industri untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara berkelanjutan.

Contoh dari hal tersebut dapat dilihat dalam arah baru pembangunan smelter. Pada awalnya hampir semua proyek difokuskan pada produksi logam dasar seperti ferronickel atau Nickel Pig Iron (NPI), yang nilai tambahnya terbatas. Akan tetapi, di masa sekarang pemerintah lebih selektif mendorong smelter yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan nickel sulfate, karena dua produk ini adalah bahan baku utama untuk baterai lithium-ion. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi sekadar memproduksi logam, tapi mulai memikirkan apa yang dibutuhkan oleh pabrik baterai, dan bahkan mobil listrik. 

Akan tetapi transformasi ini tidak boleh berhenti sampai pada titik itu. Langkah strategis berikutnya adalah mendorong pemanfaatan mineral tersebut menjadi material maju (advanced materials) yang digunakan dalam industri manufaktur strategis seperti baterai generasi baru, semikonduktor, superkonduktor, hingga bahan magnet permanen untuk motor listrik. Langkah ini memiliki arti bahwa hilirisasi tidak cukup hanya sampai produk antara seperti MHP atau nikel sulfat, namun diharuskan untuk melangkah lebih jauh menuju rekayasa material yang mampu menciptakan keunggulan teknologi. Momen tersebut membuat nilai tambah sejati tidak dibentuk dari apa yang ditambang, melainkan dari bagaimana Indonesia mendesain dan memfungsikan material itu dalam ekosistem industri masa depan.

Tentu saja masih terdapat tantangan dari langkah atau pendekatan tersebut. Pendekatan demand-based memerlukan lebih dari sekadar infrastruktur fisik. Pendekatan ini menuntut kecerdasan strategis lintas sektor, membutuhkan ekosistem yang mampu membaca tren global, melakukan riset terapan, membutuhkan budget riset yang besar, pengembangan sumber daya manusia, dan mendesain kebijakan industri jangka panjang. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, antara dunia usaha dan akademisi, serta antara lembaga riset dan komunitas lokal.

Pendekatan ini juga mempunyai daya tari dari sudut lainnya, yaitu menyadarkan Indonesia bahwa nilai dari sebuah sumber daya bukan terletak pada jumlahnya, tetapi pada konteks dan penggunaannya. Contoh yang dapat dilihat, yakni cadangan mineral kritis di Maluku dan Papua yang baru akan bernilai ketika Indonesia memiliki teknologi untuk memurnikannya, pasar yang membutuhkannya, dan regulasi yang mendukung penggunaannya dalam produk bernilai tinggi. Tanpa hal tersebut, cadangan yang telah terdata akan tetap menjadi statistik dalam laporan geologi.

Jika melihat lebih jauh, pendekatan yang berbasis permintaan memungkinkan Indonesia untuk merancang industrialisasi sebagai alat transformasi struktural, bukan sekadar reaksi terhadap pasar global. Indonesia bisa menentukan sektor-sektor strategis yang akan menjadi fokus, seperti pada baterai kendaraan listrik, kabel tembaga, atau pabrik modul surya. Dari fokus tersebut, lalu menyesuaikan seluruh ekosistem industri untuk mendukungnya dari pendidikan vokasi, insentif fiskal, hingga kebijakan ekspor-impor bahan baku.

Akan tetapi, pergeseran ke paradigma yang baru membutuhkan kepemimpinan kebijakan yang konsisten dan berani. Jika melihat sejarah ekonomi Indonesia, pola kebijakan yang ada masih terlalu sering berganti arah, menyesuaikan dengan siapa yang berkuasa. Padahal, keberhasilan industrialisasi tidak ditentukan oleh keberanian sesaat, tetapi oleh konsistensi jangka panjang. Indonesia dapat mengambil contoh dari Vietnam dan Tiongkok yang secara sistematis mengembangkan manufaktur berbasis sumber daya lokal, tanpa terjebak menjadi sekadar pengekspor bahan mentah.

Jika melihat Vietnam, meskipun memiliki cadangan REE yang besar, tetapi tidak gegabah menambang tanpa rencana hilirisasi yang jelas. Sementara itu, Tiongkok membangun seluruh ekosistem pengolahan REE dan baterai, dari hulu ke hilir, secara terpadu dan terproteksi. Pengelolaan dari dua negara tersebut menjadi semakin terasa tepat, karena dunia justru bergantung pada produk turunannya bukan pada bahan mentahnya saja.

Indonesia harus bisa mengambil pelajaran nilai sejati mineral bukan terletak pada bongkahan batu di tambang, tetapi pada inovasi, proses, dan produk akhirnya. Menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh hanya berpikir sebagai negara ‘tambang’, tetapi sebagai negara industri berbasis sumber daya.

Langkah-langkah strategis yang telah ditempuh sejauh ini adalah pengklasifikasian resmi mineral kritis dan mineral strategis, insentif untuk pembangunan smelter bernilai tinggi, serta pelarangan ekspor bahan mentah. Akan tetapi, agar Indonesia melompat secara tepat menuju industri maju perlu dipastikan bahwa empat roda besar bergerak secara serentak. Dimulai dari kebijakan pemerintah, investasi swasta, inovasi akademik, dan partisipasi masyarakat sipil. Jika salah satu dari roda tersebut tidak berjalan, transformasi yang diinginkan akan tersendat.

Pada akhirnya, pertarungan masa depan bukan terletak pada siapa yang punya cadangan terbesar, melainkan siapa yang paling cepat dan konsisten menyambungkan antara potensi dengan kebutuhan global. Indonesia memiliki semua modal dasarnya, seperti kekayaan alam, pasar domestik besar, dan posisi geopolitik yang strategis. Oleh karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk melanjutkan reformasi struktural. Reformasi yang bukan hanya di atas kertas, tapi sampai ke hilir industri.

Jika Indonesia berhasil menjalankan ini dengan konsisten, maka mineral kritis tidak hanya akan menjadi komoditas ekspor, melainkan pilar utama menuju Indonesia Emas 2045. Menuju Indonesia menjadi sebuah negara yang bukan hanya kaya sumber daya, tetapi juga unggul dalam pengelolaannya.


Editor: NM


sumber: HumasMinerba