Penyederhanaan Birokrasi: Sudah Sesuai Harapan Pak Jokowi atau Hanya Sekedar Ganti Baju?

Mungkin masih santer di telinga kita ketika Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dengan penuh semangat dan emosional menyampaikan pidatonya pada saat pelantikan dirinya sebagai Presiden RI periode 2019-2024. Ada 5 (lima) agenda besar yang Jokowi janjikan untuk dibenahi dan diselesaikan dalam 5 (lima) tahun mendatang masa kepemimpinannya. Salah satu amanat dan tugas besar Joko Widodo yang disampaikan melalui pidatonya tersebut adalah penyederhanaan birokrasi yang akan dilakukan secara besar-besaran. Jokowi berkata: “Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan. Prosedur yang panjang harus dipotong. Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa enggak kebanyakan? Saya akan minta untuk disederhanakan menjadi 2 level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi. Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat, para birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, sekali lagi saya pastikan, pasti saya copot”. Pertanyaan besarnya adalah sudah sejauh mana instruksi bapak Presiden ini dikerjakan oleh jajaran di bawahnya? 

Babak Baru Reformasi Birokrasi
Pembenahan birokrasi pemerintah Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2010 setelah diterbitkannya  Perpres nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Selanjutnya tahun 2014 diterbitkanlah UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dimana para ahli mengatakan bahwa UU tersebut menjadi tonggak sejarah reformasi birokrasi Indonesia mengingat UU ASN mengusung prinsip-prinsip New Public Management (NPM) yang dynamic governance (berbasis pengembangan Human Capital) dan mulai meninggalkan prinsip-prinsip lama model Webberian dari rule-based bureaucracy yang diusung UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. UU ASN tersebut sebenarnya sudah tidak mengenal terminology “Eselonisasi” lagi akan tetapi sudah berbasis kelas jabatan. Penggolongan jabatan bagi PNS diubah menjadi jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Sementara itu di luar PNS terdapat Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). UU ASN memberikan paradigma yang baru  bahwa jabatan Eselon III dan Eselon IV yang selama ini dikenal dan dijuluki pejabat dengan kewenangan tertentu sudah berubah menjadi pelayan publik serta petugas administrasi pemerintahan dan pembangunan. UU ASN tersebut mengubah pola perancangan struktur kelembagaan instansi pemerintah pada level eselon III dan IV dari yang semula cascading departementasi atau unit kerja top down (atas ke bawah), selanjutnya menjadi pelembagaan rentang kendali (span of control) secara bottom up (aspirasi dari bawah). Sehingga organisasi dapat mewujudkan struktur yang tepat sesuai kebutuhan pelayanan public, sekaligus mengubah kultur paternalistik menjadi kultur kemitraan dalam kegiatan layanan administrasi publik (Dauh Artawan). Jika dilihat dari asas kemitraan, ruangan sebaiknya bersatu dan setara, sehingga para Pelaksana, Pengawas, dan Administrator dapat saling berinteraksi dan berkoordinasi dengan mudah dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat secara cepat dan tepat.
 
Teori Organisasi dan Pengaruh Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Birokrasi
Penyederhanaan birokrasi menjadi penting karena struktur organisasi mencerminkan bagaimana strategi dalam pencapaian goal organisasi. Berbagai pemikiran perubahan struktur yang diperkenalkan oleh para ahli seperti adhocracy merupakan kritikan terhadap struktur birokrasi Weber. Konsep Weberian bercirikan organisasi yang ideal sampai ke level bawah, adanya formalisasi aturan dan prosedur dan menganut hirearki yang panjang, sedangkan teory adhoracy menekankan struktur organisasi yang fleksibel yang mudah beradaptasi dan minim struktur formal. Besarnya struktur birokrasi dapat memperlambat kegiatan dan memengaruhi kinerja birokrasi. Postur struktur birokrasi adalah “cost”. Semakin besar dan panjang struktur birokrasi, maka akan berdampak pada peningkatan beban “cost” bagi pemerintah dan stakeholders terkait. Selain itu birokrasi yang panjang akan membentuk titik-titik kekuasaan yang semakin banyak dan ini sangat tidak baik karena titik kekuasaan berpotensi menimbulkan conflict of  interest yang mengarah pada tindakan fraud/koruptif. Peran birokrasi sangat berpengaruh dalam kecepatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan bangsa baik pembangunan secara fisik seperti infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusianya. Beberapa negara asia yang telah maju seperti China, Korea Selatan, Jepang dan Singapura, dapat dilihat bahwa kemajuan negara tersebut sangat ditentukan oleh upaya dan keberhasilannya mengubah nilai budaya birokrasi dan pemilihan struktur birokrasi yang tepat. Untuk melakukan sebuah  perubahan dan keluar dari zona nyaman tentunya bukan sesuatu yang mudah, perlu usaha yang serius dan massive serta dukungan dari berbagai pihak. Deeselonisasi dan pengalihan jabatan eselon III dan IV ke dalam jabatan fungsional adalah sebuah upaya untuk menciptakan birokrasi yang lebih dinamis dan profesional. Perlu adanya inovasi bagi organisasi pemerintah dalam menghadapi permasalahan publik yang semakin kompleks dengan pelayanan yang cepat, tepat, efektif dan kaya manfaat. 

Perkembangan dan Upaya Penyederhanaan Birokrasi Saat Ini
Terhadap amanat presiden terpilih tersebut dan sesuai arahan Kemenpan RB yang merupakan penanggung jawab percepatan penyederhanaan birokrasi, beberapa instansi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah melakukan upaya-upaya penyederhanaan birokrasi. Sebagai contoh misalnya Kementerian ESDM sudah merespon dengan menerbitkan beberapa instrumen kebijakan. Saat ini Kementerian ESDM sudah menetapkan kebijakan dalam bentuk Keputusan Menteri ESDM Nomor 228.K/70/DJB/2020 tentang Penunjukkan Koordinator dan Sub Koordinator untuk melaksanakan Tugas dan Fungsi Organisasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM dimana Pejabat struktural eselon III dan IV yang sudah ditransformasikan menjadi pejabat fungsional ahli Madya dan ahli Muda  diangkat secara otomatis menjadi koordinator dan sub koordinator. Berdasarkan Kepmen ESDM 228.K/70/DJB/2020 tersebut peran koordinator dan sub koordinator diberikan wewenang untuk menjalankan tugasnya seperti biasa mulai urusan peganggaran sampai dengan urusan teknis pada subdirektorat masing-masing. Sehingga ada guyonan yang mengatakan “fungsional rasa struktural”. Meskipun sebenarnya Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara yang merupakan salah satu unit kerja di Kementerian ESDM sudah selangkah lebih maju dibandingkan dengan unit kerja lainnya. Dalam rangka mendukung program prioritas di lingkungan Direktorat Ditjen Minerba telah diterbitkan Keputusan Dirjen Nomor 220.K/70/DJB/2020 tentang pembentukan kelompok kerja fungsional dimana ketua pokjanya merangkap sebagai koordinator-subkoordinator. Sama juga halnya dengan upaya merevisi Permen Organisasi dan Tata Laksana yang sampai tulisan ini dibuat masih dalam tahap pembahasan juga tidak mengalami perubahan pengaturan yang signifikan karena masih mengambil tugas dan fungsi yang sama dengan Permen ESDM No. 13/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Secara umum masih mempertahankan struktur organisasi eksisting dan secara otomatis mengganti subdirektorat-bagian-bidang menjadi kelompok-kelompok jabatan fungsional dan bagian umum. Selain itu, surat Edaran Kepala BKN No.3/SE/II/2021 tentang Penyusunan Sasaran Kerja Pejabat Fungsional yang Ditugaskan Sebagai Koordinator dan Subkoordinator seolah-olah tidak meresponse baik terlaksananya penyederhanaan birokrasi tersebut.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, sejauh ini upaya penyederhanaan yang sudah dilakukan sama sekali belum mencerminkan harapan Pak Jokowi yang sesungguhnya dan jajaran di bawah terkesan tidak menunjukkan niat dan itikad untuk menyederhanakan birokrasi secara serius dikarenakan struktur organisasi yang lama tidak mengalami perubahan signifikan dan dapat dikatakan hanya “berganti baju”. Mengacu pada contoh kasus di atas, Kementerian ESDM tentunya tidak sepenuhnya berada pada pihak yang dapat disalahkan. Kementerian ESDM hanya mencoba mengikuti arahan dari KemenPAN RB sebagai penanggung jawab dalam percepatan penyederhaaan reformasi birokrasi.

Tantangan Penyederhanaan Birokrasi
Arahan Presiden ini seharusnya tidak sulit untuk dieksekusi karena gagasan ini sudah bukan hal yang baru lagi. Tantangannya adalah seberapa besar niat dan upaya untuk mengeksekusi gagasan besar ini agar menjadi sebuah kenyataan di lapangan. Kuncinya adalah kemauan kuat untuk berubah dan keluar dari zona nyaman dalam rangka memberikan pelayanan terbaik, cepat dan tepat sasaran bagi seluruh stakeholders. Kemenpan RB yang diberikan tanggung jawab untuk percepatan penyederhanaan birokrasi belum menterjemahkan secara tepat arahan presiden tersebut dalam grand desain penyederhanaan birokrasi.  Resistensi yang kuat untuk menjaga eksistensi dari pihak-pihak yang terdampak dan kekawatiran yang berlebihan apakah organisasi pemerintah bisa berjalan baik dengan penyederhanaan yang mengedepankan kompetensi dan keahlian menjadi hambatan utama arahan ini tidak segera dilaksanakan. Banyak pejabat eselon III dan IV yang takut kehilangan jabatan, keengganan untuk melakukan perubahan besar dan tidak mau berpikir komprehensif untuk menata kembali sistem birokrasi kita agar lebih efektif menjadi hambatan lain. Selain itu ketersediaan jenis jabatan fungsional yang ada saat ini menjadi penyebab lain lambatnya penyederhanaan birokrasi terbentuk.  

Rekomendasi Kebijakan 
Untuk mengakselerasi penyederhanaan birokrasi sesuai arahan Presiden maka pemerintah harus segera merevisi UU No.5 tahun 2014 tentang ASN, dengan menghilangkan jabatan pelaksana, pengawas, dan administrator diganti menjadi jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi. Selanjutnya KemenPAN RB yang diberikan mandat untuk melakukan percepatan reformasi birokrasi menyusun strategi dan grand design yang konkret untuk percepatan penyederhanaan birokrasi. KemenPAN RB harus melakukan analisis menyeluruh terhadap struktur organisasi eksisting. Selanjutnya melakukan identifikasi terhadap kebutuhan jabatan fungsional baik pada tingkat pemerintahan pusat maupun tingkat pemerintahan daerah, dan kemudian segera membentuk fungsional-fungsional yang baru agar dapat mengerjakan semua tugas pokok dan fungsi dan bisa diklaim menjadi kinerja dalam bentuk angka kredit sehingga dengan demikian roda organisasi dalam pemerintahan akan berjalan dengan efektif baik secara administratif maupun secara teknis.
Kewenangan pejabat struktural eselon III dan IV yang sudah ditransformasi menjadi pejabat fungsional harus dihapuskan. Koordinator dan sub koordinator tugasnya hanya mengkordinasikan dan mendistribusikan pekerjaan dari eselon II ke pejabat fungsional lainnya. Kultur kerja Koordinator dan Subkoordinator dan fungsional lain menganut asas kemitraan sehingga ruangannya harus setara untuk memudahkan koordinasi. Koordinator dan sub koordinator juga harus bekerja secara profesional dalam jabatan fungsionalnya masing-masing. Pembentukan Koordinator dan Subkoordinator harus dilakukan sefleksibel mungkin dengan SK penugasannya cukup ditandatangani eselon II. Dengan deeselonisasi maka struktur dibawahnya yang saat ini dibentuk dalam jabatan fungsional dapat dibentuk tim-tim yang sesuai dengan kebutuhan (adhocracy) yang dapat dibentuk dan dibubarkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Jika dimungkinkan bahkan kedepannya seharusnya sekelas jabatan struktural eselon II langsung membawahi jabatan-jabatan fungsional sehingga penyederhanaan birokrasi dapat benar-benar tercapai. 

Untuk menunjang kinerja yang maksimal maka direktorat teknis hanya mengerjakan hal-hal yang terkait tugas keteknisannya, sedangkan hal-hal yang bersifat administrasi seperti urusan penganggaran seharusnya dijalankan oleh Sesditjen selaku kuasa pengguna anggaran. Hal ini juga untuk mempermudah pengawasan terhadap penggunaan anggaran tersebut oleh instansi yang berwenang. Untuk menjalankan tugas- tugas administrasi dapat dilakukan perekrutan tenaga kerja kontrak (PPPK) sebagaimana diatur dalam UU No.5/2014 tentang ASN. Selain penyederhanaan birokrasi dengan penghapusan eselon III dan IV perlu dilakukan identifikasi struktur organisasi yang ada saat ini agar lebih ramping sehingga efisien dalam menjalankan tugasnya terutama untuk kegiatan yang dapat dilakukan bersama dan berdampingan. Perampingan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik organisasi pemerintahan. Sebagai contoh Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara dan Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara pada Kementerian ESDM yang tugas dan fungsinya adalah melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dapat dijadikan 1 (satu) Direktorat saja, sehingga Direktur dapat membentuk Koordinator berdasarkan pembagian penanggung jawab perusahaan, bukan berdasarkan aspek pembinaan dan pengawasan seperti yang terjadi saat ini. Pembinaan dan pengawasan dilakukan satu pintu satu atap. Hal ini diharapkan akan memberikan pelayanan yang lebih cepat pada stakeholders.

Sebagai upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN)  yang merupakan penggerak utama dari reformasi birokrasi, memerlukan penetapan ASN sebagai sebuah profesi yang mengelola dan mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam prinsip merit manajemen berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Pengembangan kompetensi dan keahlian menjadi sesuatu yang sangat penting. ASN yang merupakan sebuah profesi tidak dipandang sebagai human resources (resources yang apabila sudah habis tinggal dibuang), tetapi harus dipandang sebagai human capital (capital harus dikembangkan karena merupakan asset organisasi). Pimpinan juga harus beradaptasi dengan sistem dan paradigma yang baru. Jika pimpinan menginstruksikan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian dan kompetensinya itu artinya pimpinan tidak menghargai kompetesi dan keahlian masing-masing ASN. Kalau dipaksakan maka ASN tidak akan bekerja secara profesional sehingga kinerja tidak optimal, implikasinya tujuan organisasi sudah pasti tidak tercapai dan amburadul serta pelayanan publik menjadi buruk. Semoga penyederhanaan birokrasi yang diimpi-impikan Pak Jokowi segera terlaksana untuk pelayanan publik yang lebih baik.

*
Penulis
Juanda Volo Sinaga & Nova Magdalena Ginting
(Analis Kebijakan - Agen Perubahan Kementerian ESDM)

sumber: HumasMinerba