Evaluasi Sepuluh Tahun Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
JAKARTA (09/10)
– Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara KESDM menyelenggarakan kegiatan
Evaluasi 10 Tahun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara. Kegiatan tersebut mengundang beberapa stakeholder pertambangan
mineral dan batubara seperti akademisi, mahasiswa, perhimpunan, serta
perusahaan. Kegiatan yang dibagi menjadi dua sesi ini dipimpin langsung oleh
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono.
Dalam paparan
umum yang disampaikan oleh Sony Heru Prasetyo selaku Kasubbag Penyusunan
Peraturan Perundang-Undangan, terdapat tujuh capaian kinerja sepuluh tahun
pengelolaan pertambangan Minerba seperti penataan izin usaha pertambangan,
amandemen KK/PKP2B, peningkatan nilai tambah sector hulu mineral dalam
penyediaan bahan baku industri hilir, peningkatan penerimaan negara, sistem
perizinan dan pengawasan online terintegrasi, dan penyederhanaan regulasi
pertambangan. Selain caapaian tersebut,
ada beberapa tantangan seperti penyelesaian permasalahan amtar sector, jaminan
kepastian hokum dan kepastian berusaha, kegiatan penyelidikan dan penelitian
untuk mendapatkan cadangan Minerba, serta undang-undang pemerintah daerah dan
putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya
capaian dan tantangan tersebut, Ditjen Minerba menginventarisasi beberapa isu
dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yakni penyelesaian permasalahan antar
sektor khususnya mengenai pengolahan dan pemurnian, penguatan konsep wilayah
pertambangan, serta mendorong kegiatan eksplorasi untuk penemuan deposit
Minerba. Dalam isu mengenai kegiatan eksplorasi, Ditjen Minerba mengenalkan
konsep junior company di bidang eksplorasi. Hal tersebut merupakan
sistem baru dimana Ditjen Minerba membuka bagi seluruh perusahaan lokal dan
asing untuk melakukan eksplorasi. Kedepannya, hasil eksplorasi yang dilakukan
oleh perusahaan tersebut dapat dialihkan kepada perusahaan yang ingin
mengoperasikan hasil eksplorasi tersebut. “Saat ini kita sedang menggalakkan
kegiatan ekspolrasi yang bertujuan mengetahui potensi dan cadangan yang
dimiliki oleh Indonesia,” jelas Bambang.
Isu lain yang
diangkat oleh Ditjen Minerba adalah penguatan peran BUMN. Dalam usulan yang
diajukan oleh Ditjen Minerba pada revisi undang-undang yang akan datang,
seluruh wilayah eks IUP, KK, dan PKP2B dapat ditetapkan menjadi WIUPK yang
penawarannya akan diprioritaskan untuk BUMN. Selain itu, dalam undang-undang
akan disebutkan secara jelas bahwa IUP untuk BUMN akan langsung diberikan oleh
Menteri. “Selama ini, dalam undang-undang tidak dijelaskan siapa yang
memberikan IUP kepada BUMN. Kedepannya, IUP untuk BUMN akan ditegaskan
diberikan oleh Menteri,” tegas Bambang.
Menanggapi
isu-isu tersebut, Aryo Pratowo Wibowo dari Program Studi Teknik Pertambangan
ITB memberikan masukan bahwasannya permasalahan IPR harus tepat sasaran apakah
harus dilakukan oleh warga asli setempat di wilayah pertambangan tersebut (indigenous
people) atau terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia. “Pertambangan yang
dikerjakan oleh masyarakat dilakukan karena masyarakat tersebut tidak memiliki
kegiatan lain selain pertambangan. Oleh karena itu, kriteria rakyat dalam IPR
harus dipertimbangkan agar pemberian tersebut menjadi tepat sasaran,” jelas
Aryo.
Lain hal dengan
Aryo, Syamidi Patian dari Program Studi Teknik Pertambangan Universitas
Trisakti mengingatkan kepada Ditjen Minerba bahwa jangan melupakan pengawasan
pengusahaan pertambangan dalam skala kecil seperti keamanan, kesehatan, dan
keselamatan kerja (K3). “Pengawasan khususnya terkait dengan K3 pada kegiatan
usaha pertambangan skala kecil masih sangat rendah. Saya berharap agar ada
pengaturan yang lebih jelas dan lebih tegas dalam isu ini,” tegas Syamidi.
Setelah sesi pertama berakhir, sesi kedua diisi oleh pendapat dari asosiasi dan perusahaan. Seperti yang disampaikan oleh perwakilan Aspindo, pengaturan mengenai usaha jasa pertambangan khususnya mengenai coal getting agar menjadi perhatian Ditjen Minerba. Bambang menanggapi akan mengkaji hal tersebut lebih dalam.
Isu-isu penting yang menjadi perhatian asosiasi dan pengusaha adalah mengenai pengolahan dan pemurnian. Perwakilan Asosiasi Eksportis Timah Indonesia (AETI) dan Indonesia Mining Assosiation (IMA) berharap agar kajian mengenai wewenang pemerintah dalam pengolahan dan pemurnian komoditas tambang dapat diselesaikan dan dapat memberikan kepastian hukum.
Kegiatan evaluasi ini diharapkan dapat menampung aspirasi setiap pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pengusahaan pertambangan. Kepastian hukum bagi seluruh subjek hukum dalam usaha pertambangan selalu menjadi semangat Ditjen Minerba dalam menyusun setiap kebijakan dam regulasi subsektor mineral dan batubara.
sumber: MAP-HumasMinerba