Warga Blokir Jalan Tambang

<>

Warga Blokir Jalan Tambang

Tribun Kaltim, 23 Februari 2006

 

 

Samarinda, Tribun - Warga yang tergabung dalam Persatuan Dayak Borneo Kaltim (PDBK), Rabu (22/2), memblokir jalan menuju tambang batubara PT Citra Harita Mineral (CHM) di Tanah Merah, Lempake, Samarinda. Mereka menuntut perusahaan membayar ganti rugi ternak sapi dan hewan piaraan lainnya yang diduga mati karena tercemar limbah tambang di Sungai Tempurung. Unjuk rasa berlangsung mulai pukul 08.

00 hingga sore. Sengat terik matahari tak menyurutkan semangat mereka. Massa tak beranjak dari ruas jalan yang diblokir.

Untuk berlindung, mereka membawa terpal plastik yang dibentangkan di atas kepala, sambil memblokir jalan dengan berikade badan. Sejumlah poster juga dipampang. Antara lain bertuliskan Jangan cemarkan sungai kami, Kami bukan tong sampah tempat buang limbah.

Untuk mengisi waktu luang menjaga jalan tambang yang mereka blokir seharian, massa bernyanyi- nyanyi sembari diiringi gitar. Aksi puluhan warga itu sempat mengganggu aktivitas perusahaan. Para pekerja tambang terpaksa menghentikan kegiatannya dan memarkir alat-alat berat cukup jauh dari aksi massa.

Massa yang kemarin datang mengaku membantu memperjuangkan anggota mereka, Bobby Tennes, peternak sapi. Puluhan sapi ternak dan hewan piaraan lain milik warga dilaporkan mati. Bobby Tennes misalnya, mengaku 17 ekor sapi miliknya mati.

Sapi-sapi tersebut mati tanpa penyebab jelas. Tapi mereka meyakini karena keracunan air sungai yang diduga tercemar limbah tambang. Unjuk rasa berlangsung tertib.

Massa akhirnya membubarkan diri setelah pihak perusahaan yang berunding dengan perwakilan warga dan berjanji akan membicarakan lagi masalah tersebut pada Sabtu (25/2). Kepala Teknik Tambang CHM, Hartoyo mengungkapkan, akibat aksi warga itu CHM terpaksa tak bisa beroperasi selama sehari. Kegiatan tambang lumpuh total dan menderita kerugian cukup besar.

"Kami tak bisa beroperasi hari ini (kemarin) karena jalan diblokir. Perusahaan rugi, sekitar tiga ribu metrik ton batu bara tidak bisa diangkut," ujarnya. Mengenai tuntutan warga itu kemarin, sudah sempat dibahas antara perwakilan warga dengan manajemen perusahaan.

Namun belum bisa diputuskan saat itu juga. Pertemuan berikutnya akan digelar dua hari lagi. (rin) 17 Ekor Sapi Mati "SAPI kami sudah banyak yang mati.

Jumlahnya 17 ekor, sejak perusahaan batu bara ini beroperasi tahun 2004. Sebelum perusahaan ini ada, peternak tak pernah mengeluhkan sapi mati mendadak, beruntun dan dalam jumlah banyak lagi," keluh Ny Erma Handayani, istri Bobby Tennes, peternak sapi di Sungai Tempurung, Tanah Merah, Kelurahan Lempake, Samarinda Utara. Menurutnya, sapi miliknya mati karena diduga keracunan limbah buangan tambang batu bara PT CHM.

Kematian sapi-sapi itu beruntun sejak Desember 2005 sampai kini. Pihaknya mengaku, pernah menanyakan hal ini kepada perusahaan, namun sampai tiga kali surat dilayangkan tak ada jawaban yang memuaskan. Pihaknya juga melapor kepada Dinas Peternakan (Disnak) Samarinda yang akhirnya melayangkan surat itu ke Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional V, Banjarbaru, Kalsel.

Surat rekomendasi dari Disnak Pemkot Samarinda bernomor 443.34/489-03/12/05 tertanggal 16 Desember 2005lalu. Disnak mengirimkan surat permohonan dites dengan melampirkan sampel darah sapi dan air sungai.

Dari surat yang dilayangkan itu, tertulis diagnosa sementara kematian penyebab sapi diduga dari keracunan tanpa menyebut jenis racun secara detil. Tapi dugaan keracunan setelah sapi minum air sungai yang keruh akibat banjir dan di hulu sungai terjadi aktivitas tambang. Ternak sapi yang mati bergiliran, menurut Erma, mempunyai ciri yang sama yakni kulit kebiru-biruan dan mengeluarkan busa pada mulutnya.

Kematiannya juga mendadak. "Hasil uji laboratorium di Banjar Baru yang kami terima membuktikan bahwa memang benar air sungai tercemar limbah tambang," ujar Erma seraya memperlihatkan surat hasil laboratorium riset dan standarisasi industri Banjarbaru. "H2S, Sulfida dari hasil tes air sungai menunjukkan 1,2, jumlah angka yang tinggi dan katanya sudah cukup membuat ternak mati bila air yang diminum mengandung zat tersebut," ujar Erma.

Penjelasan ini, katanya, didapat dari Disnak. Atas dasar inilah, pihaknya menuntut ganti rugi. Menurutnya, tak hanya dirinya yang menjadi korban.

"Banyak juga peternak teman kami yang nggak mau lapor, terutama ternak babi yang juga banyak mati,\' tambahnya. (rin) Pembuangan limbah ada aturan mainnya dan sesuai standar di perusahaan tambang. Jadi tidak mungkin kami jadi penyebab matinya sapi-sapi itu.

Hartoyo, Kepala Teknik Tambang PT CHM Mati karena Bakteri MANAJEMEN CHM menolak dituding sebagai penyebab kematian puluhan sapi milik warga. Tapi menurut Kepala Teknik Tambang PT CHM, Hartoyo, sejak beroperasi tahun 2004 lalu, perusahaan tidak pernah membuang limbah sembarangan. "Pembuangan limbah ada aturan mainnya dan sesuai standar yang berlaku di perusahaan tambang.

Jadi tidak mungkin kami jadi penyebab kematian sapi- sapi itu," tegas Hartoyo usai berunding dengan perwakilan warga. Hartoyo mengaku kecewa dengan warga yang komplain, Bobby Tennes, yang tak melibatkan pihaknya dalam pengambilan sampel air sungai. Sampel itu diambil oleh Bobby bersama Dinas Peternakan Samarinda, Desember 2005 lalu.

Saat menerima komplain pun, CHM telah berupaya menghubungi Bobby untuk membicarakan secara damai. Namun, keluarga Bobby malah lebih dulu mengirimkan sampel air sungai ke Banjarbaru. Sementara PT CHM juga mengirimkan sampel air sungai melalui Bapedalda Pemkot Samarinda.

Sampel ini juga dikirimkan ke Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional V di Banjarbaru, Kalsel. Dalam surat balasan dari balai Banjarbaru tertanggal 29 Desember 2005, sapi jenis Bali milik Bobby yang mati tidak disebabkan karena dugaan keracunan. "Di sini tertulis, catatan lesi patologis yang pada penyakit disebabkan infeksikasi akibat bakteri," tandas Hartoyo sambil menunjukkan surat salinan resmi dari Balai Banjarbaru yang tembusannya dilayangkan ke Disnak Pemrov Kaltim.

Jadi, dari 42 ekor sapi milik Bobby dan kemudian berkurang mati sebanyak 17 ekor, menurutnya bukan akibat buangan limbah tambang yang tercampur ke sungai dan diminum ternak sapi. Limbah yang dibuang ke luar, tentu saja harus diproses terlebih dahulu. "Kami punya environment engeneering yang mengatur kualitas air limbah yang akan dibuang ke luar (sungai).

Ini kewajiban kami, tanpa ada masalah komplain warga seperti ini misalnya, kami tetap bekerja memonitoring kualitas air dan debu," tambahnya

sumber: