Walau Ditutup, Pasir Laut Tetap Diekspor
Suara Pembaharuan, 5 Januari 2004. CUACA di sepanjang jalur feri jurusan Batam-Tanjung Pinang pagi itu terasa cerah. Air lautnya tampak bersih kebiru-biruan. Tetapi, suasana tersebut mendadak berubah ketika air laut mulai surut. Warna airnya tak lagi jernih, namun tampak cokelat dan kotor. Bibir pantainya pun tak lagi kelihatan elok.
"Ini adalah akibat dari penambangan pasir laut di Karimun," kata teman seperjalanan yang juga wartawan RRI Tanjung Pinang kepada Pembaruan di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (Kepri), penggal akhir Desember lalu. Penambangan pasir laut itu, kata rekan tadi, lalu dibawa secara ilegal menuju Singapura.
Jawaban tersebut awalnya memang menimbulkan ketidakpercayaan. Betapa tidak, bukankah sampai kini Menteri Kelautan dan Perikanan Prof Dr Rokhmin Dahuri tetap memutuskan menutup ekspor pasir laut sampai ada kesepakatan penentuan batas negara antara Indonesia dan Singapura? "Sebelum ada perundingan batas wilayah perairan kedua negara, kami sepakat menutup ekspor pasir laut," Rokhmin, yang juga Ketua Tim Pengawas dan Pengendalian Penambangan Pasir Laut (TP4L), menegaskan.
Ketika Pembaruan bersama tim Coral Reef Management Planning (Coremap) melintas dari Tanjung Pinang ke Pulau Senayang, dari jarak yang tidak terlalu jauh terlihat kapal pengeruk pasir laut sedang melintas. Bahkan wartawan dari majalah Samudra berhasil memotret kapal keruk itu.
Ekspor pasir ilegal itu juga diakui Kamaruddin Ali SH, anggota DPRD Tanjung Pinang. Ia mengungkapkan, penambangan pasir laut itu selain terjadi di Karimun juga masih terdapat di Kabupaten Kepri. "Kami sebenarnya sudah melaporkan masalah tersebut ke pejabat eselon dua di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang kebetulan berkunjung ke sini, namun tidak mendapat respons. Malah kami disuruh melaporkan langsung ke pusat," ujar Kamaruddin kesal.
"Terus terang kami di sini sudah tidak kuasa lagi untuk menghentikan ekspor ilegal tersebut. Kami berharap penambangan pasir laut segera dihentikan," ia melanjutkan.
Lebih Banyak Rugi
Keinginan serupa juga muncul dari sebagian besar masyarakat lokal. Menurut Kaziamir, pegiat lingkungan dari Tuah Belia, Tanjung Pinang, penambangan pasir laut bagi daerah lebih banyak ruginya ketimbang untungnya.
"Berpuluh-puluh tahun pasir laut diekspor, tetapi tak ada sama sekali PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang masuk ke Pemda. Jadi, siapa yang diuntungkan dari perdagangan semacam ini?" Kaziamir menggugat.
Ia menambahkan, selama berpuluh-puluh tahun itu hanya segelintir orang yang menikmati hasil ekspor pasir laut. "Saya sangat setuju dengan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menutup ekspor pasir laut. Karena itu saya berharap pemerintah pusat bisa mengusut tuntas penambangan pasir laut yang sampai kini masih terjadi secara sembunyi-sembunyi," kata Kaziamir yang ditemui Pembaruan secara terpisah.
Wajar saja jika permintaan mereka itu mendapat prioritas. Bukan apa-apa, akibat penambangan pasir laut selama berpuluh-puluh tahun itu, bukan saja ekosistem perairan hancur lebur. Lebih dari itu, beberapa pulau kecil juga telah hilang akibat di sekeliling pulau itu terus dikuras pasir lautnya.
Bayangkan, terumbu karang pun ikut lenyap, bukan saja karena air lautnya menjadi keruh, namun ada yang malah ikut tergerus langsung oleh keganasan kapal-kapal pengeruk. Padahal, untuk memulihkan kondisi terumbu karang dibutuhkan waktu yang amat lama. Jangan berharap pula bisa menjumpai aneka ragam ikan kalau terumbu karangnya habis. Akibatnya nelayan pun sulit mencari ikan.
Diakui atau tidak, sikap masyarakat yang menolak eksploitasi pasir laut itu berkat pemahaman positif dari tim Coremap, sebuah proyek pengelolaan terumbu karang yang digelar di Kecamatan Senayang, Kabupaten Kepri, Riau. Kesadaran itu pula yang mendorong mereka membuat kawasan konservasi di sekitar Pulau Telur.
Atas inisiatif sendiri mereka membuat rambu-rambu (Peraturan Daerah). Jadi, siapa pun tidak bisa seenaknya memasuki kawasan tersebut apalagi masyarakat di luar daerah tersebut. Pembaruan yang mendekati kawasan tersebut melihat beberapa papan peringatan agar tidak melakukan eksploitasi di kawasan itu. "Hukumannya bisa berat kalau sampai ketahuan," ujar Muhtar, pegiat lingkungan dari Pulau Medang, Kepri.
Kegigihan itu akhirnya membuahkan hasil. "Tutupan terumbu karang di kawasan yang sering dijumpai penyu sisik itu masih sekitar 37 persen," ia menambahkan. Aneka jenis ikan karang pun mudah dijumpai di kawasan tersebut.
Kebijakan moratorium ekspor pasir laut yang dikeluarkan TP4L memang menimbulkan perlawanan dari pengusaha pasir laut yang selama ini menikmati keuntungan di atas penderitaan alam dan masyarakat lokal. Namun di balik itu, masyarakat lokal sangat bersyukur dengan kebijakan tersebut.
"Sekarang ini nelayan lebih mudah mencari ikan. Kondisi perairannya sudah mulai membaik, lebih jernih dari sebelum ada larangan ekspor pasir laut," kata Sekretaris TP4L Dr Ir Indroyono Soesilo kepada Pembaruan.
Mengutip pernyataan Asops KSAL dan Danguskamla Armabar, ia mengatakan sekarang ini tidak ada ekspor pasir laut. "Yang ada ekspor pasir darat dan itu di luar wewenang TP4L," ujar Indroyono. Ia menegaskan, jika masih ada ekspor pasir laut, itu berarti ilegal dan harus ditindak.
Hal serupa juga dikatakan Sub Pokja II TP4L Busran Kadri yang bertugas antara lain memantau kinerja TNI AL. "Kalau Anda punya nama kapal keruk beserta kapal pengangkutnya, tolong berikan kepada kami. Kami akan memanggil TNI AL untuk menindaknya," katanya.
Busran yakin dengan laporan TNI AL yang mengatakan di Provinsi Riau sudah tidak ekspor pasir laut. "Masak sih mereka bohong. Kami kan sudah memberi begitu banyak dana ke TNI AL untuk menertibkannya," kata Busran.
sumber: