UU SDA Bisa Jadi Sumber Konflik
Kompas, 8 Maret 2005
Jakarta, Kompas - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) masih memiliki kekurangan dan sangat mungkin menjadi sumber konflik di masa mendatang. Pengambilan sumber air oleh pemerintah terutama di suatu desa adat, tidak cukup hanya lewat konsultasi saja, tetapi harus melalui persetujuan masyarakat setempat.
Hal ditegaskan oleh Abdon Nababan (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) ketika dimintai pendapat sebagai ahli dalam sidang uji materi (judicial review) UU No. 7/2004 tentang SDA, Senin (7/3) di Mahkamah Konstitusi.
Selain Nababan, pihak pemohon uji materiil UU SDA mengajukan dua ahli lain yakni Frans Limahelu (ahli hukum dari Universitas Airlangga), Haryadi Kartodiharjo (ahli kehutanan dari ITB), serta dua saksi Martono dan Sumiati Ismail.
Menurut Nababan, jika sumber air di suatu desa adat diambil oleh pemerintah atau diberikan hak pengelolaannya kepada pihak pengusaha, maka tidak cukup hanya berkonsultasi tetapi harus lewat persetujuan masyarakat setempat.
Artinya, masyarakat yang punya hak adat atas sumber air itu, harus diberitahukan untuk apa air itu digunakan oleh pemerintah, siapa yang akan mengusahakan (mendapatkan hak usaha) dan bagaimana air itu dikelola. "Menurut saya undang-undang ini sama dengan undang-undang di sektor lain yang sudah banyak menimbulkan konflik,"papar Nababan.
Saat sidang uji materiilberlangsung di luar gedung MK, puluhan massa dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jaringan Rakyat Miskin Kota, Koalisi Anti Utang, dan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi bernunjuk rasa menolak privatisasi air. (SON)
sumber: