UU Migas Sumber Masalah


Suara Karya, 12 Juli 2005

 


Berbagai pihak menyebut kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) sekarang ini adalah akibat kegiatan pengadaan yang salah arah. Dalam kaitan ini, banyak orang menyalahkan Pertamina.

Sebenarnya, kelangkaan BBM ini berangkat dari hulu kebijakan sektor energi yang tidak berpihak kepada rakyat. Pertamina sendiri hanya lembaga pelaksana yang semua "senjatanya" telah dilucuti lewat keberadaan UU No 22/2001 tentang Migas.

Sejak UU Migas diberlakukan, beberapa tahun lalu, Pertamina kehilangan retensi fee sebesar Rp 5 triliun per tahun. Padahal fee ini sangat penting sebagai dana buffer bagi pengadaan BBM pada kondisi kritis.

Pasal 31 UU Migas menyebutkan, ketika investor atau contract production sharing (PSC) memasuki dunia bisnis migas Indonesia, mereka sudah harus menyetor pajak pertambahan nilai (PPN), pajak impor barang-barang dan alat tambang, serta banyak lagi. Pengeluaran tersebut berlangsung pada saat investor baru melakukan eksplorasi - belum sampai eksploitasi.

Itu jelas membuat investor khawatir bahwa dana investasi mereka hilang. Padahal mereka belum bisa memastikan apakah cadangan migas bisa diperoleh atau tidak. Terlebih karena untuk menggali atau mengebor satu lubang saja dibutuhkan dana sebesar 1 juta dolar AS. Itu pun belum tentu ada minyaknya.

Pertamina juga turut babak-belur oleh kehadiran UU Migas ini. Padahal, di luar negeri seperti Malaysia, proteksi terhadap bisnis hulu Petronas masih dilakukan hingga perusahaan nasional Malaysia itu bisa terus membesar. Sementara Indonesia, sejak hulu sampai hilir, proteksi itu ditanggalkan.

Di sisi lain, Pertamina yang lahir lewat UU No 8/1971 juga dikebiri oleh kelahiran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dan BP Hilir Migas. Setelah retensi fee hilang, bisnis Pertamina yang menjalankan public service obligation (PSO) semakin diperberat oleh seretnya dana dari pemerintah. Sementara dana talangan serta SDM Pertamina hampir 80 persen turut terpakai dan terkonsentrasi oleh kegiatan pengadaan BBM di dalam negeri.

Jadi, di satu sisi Pertamina dilepas untuk bisa membesarkan diri selaku perseroan. Di sisi lain, satu kakinya masih diikat. Retorika bahwa Pertamina tidak boleh lagi menikmati privilege menjadi kontraproduktif ketika Pertamina justru harus melakukan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan yang bisa membesarkan dirinya. Pertamina telah kehilangan kontrol dalam upaya mengamankan posisi crude oil (minyak mentah) yang didapat oleh perusahaan asing (PSC).

Jadi, jelas sudah bahwa kehadiran UU Migas lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat bagi kepentingan bangsa kita. Kini, nasi sudah menjadi bubur. UU Migas tentu tidak bisa dicabut karena Mahkamah Agung (MA), beberapa waktu lalu, telanjur mengukuhkan bahwa undang-undang tersebut tidak dibatalkan. Yang bisa dilakukan adalah perbaikan di beberapa pasal, tapi bukan jantungnya.

Langkah yang mesti diambil pemerintah adalah segera mengamandemen sejumlah pasal pokok dalam UU Migas. UU tersebut mesti mengakomodasi keberadaan BUMN bidang migas agar menjadi leader di Indonesia.***

sumber: