Utang APBN 2005 di Bawah 60% PDB: Defisit Kurang dari 1% PDB
|
Untuk itu, pemerintah akan mencari sumber-sumber lain yang dapat dijadikan kompensasi penurunan penerimaan pajak, agar target defisit dan rasio utang dapat tercapai. Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Boediono kepada wartawan, di Gedung Departemen Keuangan usai menghadiri Sidang Kabinet di Istana Negara Boediono menyatakan, dengan perubahan Undang-Undang Perpajakan, aspek penerimaan dari pajak kemungkinan akan menjadi tidak terlalu besar. Bahkan, pada masa awal pemberlakuan undang-undang itu yaitu 2005/2006, ada potensi akan menyebabkan berkurangnya penerimaan negara secara keseluruhan. Pada tahun awal, bisa ada kemungkinan mengurangi (penerimaan). Karena, kita ingin menyederhanakan beberapa tarif tertentu, ujarnya. Menurut Boediono, saat ini pemerintah sedang memikirkan cara-cara yang dapat digunakan untuk menggantikan jumlah berkurangnya penerimaan tersebut. Dengan demikian, diharapkan hal itu tidak berpengaruh pada tingkat defisit pada tahun anggaran 2005. Kita lihat perhitungan nanti detailnya, tetapi kita inginkan defisitnya jangan terlalu besar juga 2005 ini, tuturnya. Berkaitan dengan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2005, Boediono mengungkapkan pemerintah akan mengajukannya ke DPR pada 5 Mei mendatang. Sebelumnya, asumsi-asumsi dasar RAPBN 2005 akan disampaikan ke Sidang Kabinet pada 29 April untuk dibahas dalam sidang. Sementara itu, Kepala Badan Analisa Fiskal Depkeu Anggito Abimanyu menyatakan belum dapat menyampaikan asumsi-asumsi dasar RAPBN 2005. Namun, dia menegaskan defisit ditargetkan di bawah 1% dengan rasio utang lebih kecil dari 60% PDB. Realisasi 2004 Pada kesempatan yang sama, Anggito mengatakan realisasi anggaran sampai dengan menjelang akhir kuartal satu 2004, cukup sesuai jalur. Penerimaan berkisar antara 20%-25% dari total penerimaan tahun ini yang sebesar Rp349,9 triliun. Patokan kita baru dari sisi penerimaan karena pengeluaran masih rendah, subsidi belum dibayar dan pembangunan belum mulai. Bila dilihat dari penerimaan, lazimnya pada Januari-April sekitar 22,5% dan sekarang kita ada di sekitar itu, katanya. Menurut Anggito, penerimaan yang dinilai melebihi kinerja yang ditargetkan meliputi dari pendapatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Sedangkan, PPh nonmigas masih di bawah. Mudah-mudahan bisa dipulihkan, katanya. Anggito mengakui, dari sisi pengeluaran, realisasi APBN 2003 masih lebih baik dibanding APBN 2004. Sebab, sejauh ini pengeluaran yang sudah terealisasi baru dalam bentuk pelunasan obligasi. Lebih lanjut Anggito mengatakan, jumlah obligasi yang jatuh tempo pada Mei ini sebesar Rp5 triliun. Sedangkan, total jumlah obligasi jatuh tempo 2004 mencapai Rp23 triliun. Nanti, kalau situasi pasarnya memungkinkan untuk mem-buyback (melakukan pembelian kembali), kita akan lakukan, jelasnya. Anggito menyatakan, sampai saat ini pemerintah belum menjadwalkan pembelian kembali obligasi jatuh tempo. Namun, anggaran yang tersedia masih memungkinkan untuk melakukan pembelian kembali sampai senilai Rp3,1 triliun. Pada Maret lalu, pemerintah telah mem-buyback sebagian obligasi yang jatuh temponya berkisar antara 2004 hingga 2010 dengan nilai Rp1,962 triliun. Menurut Anggito, berdasarkan kesepakatan dengan DPR, pemerintah memiliki fleksibilitas untuk mem-buyback obligasi sampai Rp3 triliun. Sementara itu, pemerintah masih memiliki cadangan anggaran dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp2,8 triliun, yang memang ditujukan untuk melakukan pembelian kembali. Dengan tambahan Rp2,8 triliun, berarti kita punya Rp5 triliun, itu limitnya, jelasnya. |