Usaha tambang tahan royalti Rp2 triliun
Bisnis, 13 Januari 2004
JAKARTA (Bisnis): APBI mengakui perusahaan batu bara menahan pembayaran royalti Rp2 triliun kepada negara. Angka itu dapat terus bertambah jika pemerintah tak mengubah PP No. 144/2000 tentang batu bara menjadi barang bukan pajak.
Ketua Umum APBI (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia) Jeffry Mulyono mengemukakan dana royalti batu bara yang ditahan oleh perusahaan tambang tersebut berlangsung sejak 2001 hingga sekarang.
"Jumlahnya mencapai Rp2 triliun," ujarnya.
Dia mengatakan masalah PP No. 144/2000 merupakan salah satu penyebab enam perusahaan tambang yang masuk ke Generasi I menahan pembayaran dana royalti kepada negara.
"Upaya APBI meminta kepada pemerintah supaya ada perubahan pada PP No. 144/2000 sudah sangat intensif dilakukan. Pendekatan ke departemen terkait sudah seringkali dilakukan, namun hingga sekarang belum ada perbaikan," tuturnya.
Dia menyampaikan hal itu kepada wartawan dalam paparan Perjalanan Industri Batu bara 2003 dan Harapan Tahun 2004 di Jakarta kemarin.
Menurut Jeffry, sesuai kajian hukum, penahan pembayaran royalti batu bara ke pemerintah itu sah mengingat hal tersebut adalah masalah utang piutang.
Ditahannya pembayaran royalti didasarkan atas pertimbangan dalam setiap kontrak di Generasi I disebutkan bahwa jika ada pungutan baru ketika perusahaan tambang menjalankan kegiatannya, maka bukan menjadi tanggungan dari perusahaan tambang yang bersangkutan, katanya.
Sesuai kontrak, lanjutnya, jika ada pungutan baru maka menjadi kewajiban dari prinsipal pada waktu itu, yakni PN Batubara [PTBA]. "Hal ini tertuang dalam kontrak di pasal 11 ayat 2 dan 3."
Namun demikian kewenangan PN Batubara tersebut kemudian dikembalikan ke Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral (DGSDM).
Sekarang, katanya, karena berada didalam kewenangan DGSDM-sebagai institusi pemerintah-maka kedudukannya tidak sama dengan PN Batubara.
Alasan mengapa penahanan pembayaran royalti batu bara dianggap legal, menurut dia, karena dalam klausul kontrak perusahaan tambang diizinkan mengambil bagian perusahaan yang tidak dapat direstitusikan ke pemerintah.
Pada dasarnya, kata Jeffry, perusahaan tambang tetap membayar kewajiban PPN kepada pemerintah, tapi karena tidak dapat direstitusi, maka mereka mengambil bagian perusahaan yang sampai saat ini jumlahnya mencapai Rp2 triliun.
"Jika perusahaan tambang diizinkan kembali merestitusikan biayanya, maka mereka akan membayar penuh kembali kewajiban royalti kepada pemerintah."
Sebelum terbitnya PP, ujarnya, batu bara merupakan salah satu barang kena pajak, namun karena dianggap tidak melalui proses perubahan, maka dalam PP No. 144/2000 dinyatakan komoditas itu sebagai barang tidak terkena pajak.
Padahal proses pengambilan batu bara dari perut bumi tidak saja asal ditambang, tapi melalui proses terlebih dahulu sebelum dikonsumsi, ujar Jeffry Mulyono.
Berkaitan dengan itu, Direktur Eksekutif APBI Bambang Susanto menjelaskan dalam rapat di Sekretariat Negara diputuskan dibentuk tim ahli independen yang bertugas memberikan masukan kepada pemerintah apakah batu bara masuk proses produksi terlebih dahulu atau tidak.
"Dari evaluasi tersebut akan dilihat apakan batu bara sebelum berada di tangan konsumen melalui proses produksi atau tidak. Jika ya maka akan layak dimasukkan dalam kategori barang kena pajak," tuturnya.
Dia menginformasikan bahwa hasil kajian dari tim independen tersebut sudah dilaporkan kepada Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral.
Bahkan, kata Bambang, pada akhir pekan lalu hasil investigasi tim independen sudah dipresentasikan ke Dirjen Pajak.