US$ 30 Juta untuk Kesejahteraan di Buyat
US$ 30 Juta untuk Kesejahteraan di Buyat
Suara Pembaruan, 23 Februari 2006
LIMBAH MERKURI - Rohima (34), warga Dusun Buyat Pante, Desa Raratotok Timur, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, menjelaskan tentang limbah merkuri akibat penambangan emas di desa tersebut.
PT Newmont Minahasa Raya (NMR) berkewajiban membayar US$ 30 juta, jika pemerintah mencabut gugatan bandingnya dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selanjutnya, dana itu akan digunakan untuk membiayai pembangunan berkelanjutan dan pemantauan lingkungan ilmiah di sekitar lokasi Teluk Buyat. Mampukah dana itu mengatasi permasalahan lingkungan dan kesejahteraan di
Sampai saat ini masyarakat yang mengaku menjadi korban pencemaran di Teluk Buyat, khususnya warga Buyat Pante, sudah mengungsi di Desa Duminanga yang berjarak 100 kilometer dari tempat asal mereka. Sebanyak 66 keluarga warga Desa Buyat Pante memutuskan pindah dari tempat kelahiran mereka.
Perpindahan itu dilakukan setelah warga merasa pemerintah tidak berbuat banyak terhadap nasib mereka. Selain masalah kesehatan, warga juga menemui kendala ekonomi di tempat asalnya. Sejak dinyatakan lingkungan mereka tercemar, pendapatan warga yang umumnya nelayan berkurang drastis.
Perpindahan itu difasilitasi Komite Keluarga Teluk Buyat yang mengumpulkan dana dari berbagai donatur yang mencapai Rp 4 miliar. Saat itu, pemerintah dinilai tidak serius menangani permasalahan yang dihadapi warga Buyat Pante, sampai nasib mereka terkatung-katung.
Kini, setelah berhasil melakukan negosiasi dan menandatangani perjanjian, pemerintah memiliki dana US$ 30 juta atau sekitar Rp 300 miliar untuk membangun kembali wilayah itu. Besaran dana ini sangat relatif, apalagi bagi warga yang pernah merasa dirugikan.
Rencananya, dana yang dikeluarkan NMR akan dikelola oleh sebuah yayasan atau lembaga berbadan hukum yang pengurusnya ditentukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan NMR. Yayasan ini akan memberikan laporan perkembangan dan diaudit setiap tahun, kemudian disampaikan kepada publik.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menyatakan pembangunan wilayah Teluk Buyat juga akan memperhatikan masyarakat Desa Buyat Pante yang saat ini sudah mengungsi di lokasi baru. "Selama ini mereka yang menjadi perhatian. Mereka menjadi subjek utama dalam proses ini," ujarnya seusai menyaksikan penandatanganan goodwill agreement antara pemerintah dengan NMR di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia yakin, perjanjian itu mengedepankan nasib warga yang berada di
Untuk peningkatan kualitas hidup, KLH akan mengusulkan pembentukan desa ramah lingkungan (eco-village) yang mengikuti kaidah-kaidah lingkungan, seperti yang akan dilakukan di Labui, Nanggroe Aceh Darussalam. Meskipun konsep desa ramah lingkungan itu masih belum tuntas, tetapi menurut Rachmat hal ini bisa meningkatkan kualitas hidup warga di sekitar lokasi tambang.
Mengenai munculnya besaran komitmen US$ 30 juta dari NMR, Rachmat mengaku tidak pernah mempermasalahkan hal itu karena pemerintah tidak pernah menuntut jumlah tertentu. Angka yang dituntut dalam gugatan perdata merupakan hasil perhitungan sejumlah ahli berdasarkan tuntutan yang diajukan.
Namun, selama proses negosiasi dan sebelum kesepakatan itu ditandatangani, sudah terdengar isu jumlah dana yang akan diberikan perusahaan tersebut. Jumlah angka itu pun tidak jauh dari kesepakatan yang ditandatangani.
Menurut Manager Corporate Communication PT Newmont Pasific Nusantara, Nunik Maharani Maulana, angka itu muncul berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak. "Jika melihat historisnya, ada dua perkara yang harus kami hadapi, perdata dan pidana. Sebenarnya dalam proses sengketa perdata, proses hukumnya telah kami menangkan karena PN Jaksel menolak perkara itu. Tetapi sebelum hal itu terjadi, sudah ada pembicaraan yang berlangsung antara kedua pihak untuk menghentikan perkara ini. Kesepakatan yang ada adalah harus dilakukan program-program untuk pengembangan masyarakat di
Namun, pemaknaan dana sebesar US$ 30 juta ini bisa menimbulkan sejumlah interpretasi, meskipun dalam perjanjian itu disebutkan dana yang dikeluarkan adalah untuk membiayai program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan.
Program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan itu. Namun menurut Nunik, dana itu akan digunakan untuk mengembangkan program-program yang sudah ada. "Cakupan masyarakat yang menikmati dana itu akan lebih besar, dan program-program pemantauan lingkungan serta pengembangan masyarakat akan lebih panjang. Kami sebenarnya sudah melakukan penutupan tambang sejak Agustus 2004 lalu, tetapi sesuai kewajiban kami masih melakukan pemantauan hingga 2007 nanti," jelasnya.
Tidak Menjamin
Sementara itu, menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah, perjanjian iktikad baik itu tidak menjamin adanya peningkatan kesejahteraan warga korban pencemaran. "Sejak awal tidak terlihat adanya iktikad baik kepada warga yang menjadi korban. Pemerintah saja menelantarkan mereka. Kesehatan mereka menurun, pendapatan ekonomi menurun, bahkan hingga mereka pindah, perhatian pemerintah tidak ada," ujarnya.
Bahkan, menurut Maemunah, sampai saat ini warga yang tinggal di Desa Buyat Kampung masih menggunakan sumur-sumur yang tercemar arsen. "Artinya rekomendasi-rekomendasi pemerintah yang menyatakan daerah itu tercemar tidak diikuti dengan upaya-upaya untuk menanggulangi hal itu. Jadi perlu dipertanyakan iktikad baiknya di mana," ujarnya.
Dana sebesar US$ 30 juta juga dinilai tidak akan menyelesaikan sejumlah permasalahan pascatambang. "Angka US$ 30 juta juga sebenarnya tidak jelas datang dari mana dan untuk apa. Mengapa sekarang yang disepakati adalah US$ 30 juta? Angka ini seperti pembayaran sebuah paket gratis penyelesaian masalah," ujarnya.
Jika pemerintah benar-benar mengutamakan sisi kemanusian, perjanjian tersebut harus bisa menjamin kesejahteraan mereka yang selama ini menjadi korban pencemaran. sumber: