Titik kritis dalam RAPBN 2005

Pagi ini Presiden Megawati Soekarnoputri dijadwalkan menyampaikan pokok-pokok rencana kerja pemerintah dan RAPBN 2005. Meski usia pemerintah dan DPR sekarang tinggal dua bulan, sesuai UU Keuangan Negara dan untuk menghindari kevakuman, pemerintah berkewajiban menyampaikan RAPBN 2005 kepada Dewan.

Hal ini tidak berarti pemerintah dan DPR yang baru akan dihadapkan pada satu fait accompli. Ini karena DPR dan pemerintah yang akan berfungsi mulai Oktober 2004 tentu memiliki kewenangan penuh untuk mengubah RAPBN yang telah diajukan.

Dalam menyusun RAPBN 2005, ada semacam tarik-menarik atau perlombaan antara berbagai faktor internal (domestik) dan perkembangan eksternal (global). Faktor internal tampaknya dapat lebih dikendalikan sehingga tingkat kepastiannya bisa lebih diduga.

Yang lebih sulit adalah perkembangan global, seperti kondisi ekonomi di berbagai negara, khususnya di AS. Faktor yang juga sulit dikendalikan adalah kebijakan pemerintah baru AS jika Partai Demokrat memenangkan pemilu, harga minyak mentah yang tidak menentu, kemungkinan naiknya suku bunga di AS, berbagai tindakan kekerasan yang kian menghantui dunia, dan berbagai faktor lain yang sungguh sulit diprediksi.

Semua perkembangan eksternal itu secara langsung berpengaruh terhadap perekonomian, termasuk keuangan, tahun pertama pasca pemilihan presiden.

Asumsi RAPBN

Perhitungan RAPBN mengandung unsur kebijakan yang akan ditempuh dan berbagai prioritas program yang bakal dilaksanakan. Selain itu, hitungan dalam RAPBN juga didasarkan pada sederetan asumsi. Karena itu, asumsi yang dibuat harus benar-benar dikaji secara mendalam dan apakah benar-benar realistis.

Pertumbuhan PDB yang diproyeksikan 5,4% bukan tidak mungkin dapat dicapai, meski pertumbuhan tahun ini hampir dapat dipastikan di bawah 5%, berada sekitar 4,7%-4,8% sesuai target APBN 2004.

Jika pemilu presiden putaran kedua (20 September 2004) berjalan mulus dan ti-dak ada goncangan politik berarti, telah menjadi modal utama untuk memberikan kepastian kepada dunia usa-ha dan investor asing. Kebijakan ekonomi makro yang menjamin kontinuitas, keha-ti-hatian, dan stabilitas perlu dilanjutkan dan dikapitalisasikan guna lebih menggerakan sektor riil.

Sektor yang memberikan peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi-seperti industri pengolahan, perdagangan dan perhotelan, pertanian, dan pengangkutan dan komunikasi yang belakangan ini menunjukkan peningkatan berarti-perlu dipacu. Demikian pula dengan UKM berpotensi besar untuk dikembangkan.

Di sini diperlukan pengorganisasian dan manajemen yang benar-benar tepat sasaran untuk mengembang-kan UKM dan tidak sekadar memanjakan sektor tersebut.

Pengembangan UKM secara sehat dan business-like kian penting untuk mengkompensasikan menurunnya arus investasi langsung dari luar negeri yang dalam jangka pendek sulit diharapkan segera masuk ke Indonesia secara besar-besaran.

Ini karena berbagai kendala-seperti kepastian hukum, masalah perburuhan, birokrasi yang berbelit-belit termasuk di daerah-daerah, dan keterbatasan infrastruktur ekonomi.

Angka pertumbuhan 5,4% dapat dicapai jika bangsa ini berhasil menggairahkan dunia usaha yang berdampak positif untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan penghasilan yang akan menaikkan konsumsi rumah tangga.

Tetapi peningkatan konsumsi rumah tangga tidak dapat dihindarkan akan memicu inflasi. Apalagi bank sentral AS akan menaikkan suku bunga secara bertahap, sehingga diperkirakan pada akhir 2005 mencapai 3,25%.

Jika suku bunga The Fed dinaikkan, para manajer investasi portofolio tentu akan lebih tertarik menanamkan uang mereka ke dalam berbagai instrumen pasar uang yang berdominasi dolar AS. Akibatnya, suku bunga SBI harus dinaikkan dalam rangka operasi pasar dan mungkin perlu dinaikkan hingga menjadi 8%.

Demikian pula bunga surat utang domestik dan Surat Utang Negara harus dibuat menarik agar laku dijual. Peranan SUN penting karena menjadi penutup lubang defisit anggaran belanja yang diperkirakan dapat diturunkan dari 1,2% dari PDB tahun ini menjadi 0,8% pada 2005.

Yang memprihatinkan untuk menutup defisit anggaran belanja adalah tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali harus menguras berbagai cadangan dana pemerintah yang tersimpan di BI. Demikian pula untuk menutup defisit anggaran ini, masih diperlukan pinjaman luar negeri.

Kecuali itu, pemerintah tetap merencanakan untuk melanjutkan program privatisasi BUMN dan menjual sisa-sisa aset BPPN yang semakin sulit dijual. Harga minyak dunia sekarang, untuk kualitas terbaik, telah mencapai US$45 per barel.

Tetapi dengan alasan pertimbangan yang konservatif, pemerintah dan DPR sepakat harga minyak mentah pada RAPBN 2005 ditekan ke bawah sehingga berada di kisaran US$24 per barel. Dengan ditekannya harga tersebut, penerimaan domestik akan ditekan pula ke bawah.

Hal ini berguna bagi pemerintah pusat untuk mengurangi transfer dana ke daerah, berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Sesuai ketentuan, 25% dari penerimaan domestik (termasuk penerimaan dari minyak dan gas bumi)-sesuai anggaran belanja-akan ditransfer menjadi hak daerah berupa DAU.

Demikian pula pemerintah berharap dapat menekan dana bagi hasil kepada daerah penghasil migas untuk pemerataan pembangunan. Ditekannya harga minyak ke bawah berdampak pada perhitungan subsidi menurut versi anggaran belanja.

Semakin tinggi harga mi-nyak diperhitungkan dalam RAPBN, jika tidak diikuti de-ngan kenaikan harga bahan bakar minyak, dampaknya tentu akan meningkatkan subsidi BBM dalam RAPBN. Masalah kenaikan harga BBM, atau dalam bahasa halusnya penyesuaian harga, akan diserahkan kepada pemerintah dan DPR yang baru.

Hal ini bukan pilihan yang mudah selain dampak ekonomi dan politiknya cukup be-sar. Berbagai prediksi menunjukkan bahwa hampir dapat dipastikan harga minyak dunia pada 2005 tidak akan dapat ditekan di bawah US$35 per barel. Apalagi saat ini keadaan di Irak semakin eksplosif dan situasinya telah memasuki era yang sangat sensitif dan emosional.

Sektor perpajakan

Pemerintah juga bertekad melaksanakan reformasi perpajakan, baik mengenai kebijakan maupun administrasi perpajakan. Tujuannya, tentu untuk meningkatkan penerimaan pajak yang harus menjadi tulang punggung penerimaan negara.

Selain itu, reformasi dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, termasuk mereka yang belum memiliki NPWP. Mereka ini, yang seharusnya memiliki NPWP, akan dikenakan sanksi berat.

Berbagai upaya ini harus didukung demi keadilan dalam masyarakat agar pemerintah jangan hanya berburu di kebun binatang. Artinya, jangan yang dikenakan pajak yang itu-itu saja.

Dengan kata lain, perluasan wajib pajak menjadi prog-ram yang harus diprioritaskan dalam reformasi perpajakan.

Reformasi ini seharusnya pula dapat menyederhanakan berbagai ketentuan da-lam perpajakan, tumpang tindih berbagai peraturan, dan untuk meningkatkan transparansi di bidang administrasi perpajakan.

Demikian pula reformasi itu tentu bermakud menggairahkan dunia usaha. Ini karena kecenderungan global saat ini termasuk negara di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia, justeru menu-runkan tarif pajak tertinggi bagi dunia usaha mereka agar lebih menarik bagi usahawan dan investor.

Kecenderungan dunia saat ini adalah melakukan simplifikasi lapisan tarif pajak. Bahkan Singapura dan Malaysia hanya mengenal satu tarif pajak untuk badan usaha.

Mungkin bagi Indonesia, jika hanya mengenal satu tarif pajak terlalu drastis. Bagi badan usaha dapat dipertimbangkan hanya berlaku dua lapisan tarif.

Makin sederhana lapisan tarif, makin sulit bagi wajib pajak untuk menghindarkan diri dari pembayaran pajak yang besar dengan cara memanfaatkan lapisan-lapisan tarif pajak yang lebih rendah.

Demikian pula perlu dipertimbangkan apakah lapisan tarif pajak penghasilan bagi badan dan perorangan perlu dibedakan seperti saat ini.

Perlindungan terhadap pembayar pajak pengahsilan dari mereka yang berpenghasilan terbatas yang paling efektif adalah dengan cara menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) se-cara teratur. Dan ini seharusnya telah masuk dalam agenda reformasi perpajakan.

Yang juga pelik dalam reformasi ini adalah mengenai pajak pertambahan nilai (PPN). Administrasinya cukup rumit apalagi dengan wilayah Indonesia yang cukup luas. Ini karena PPN me-nganut sistem pengkreditan antara pajak masukan dan pajak keluaran, meskipun dengan tarif tunggal 10%.

Kecuali itu, yang juga pelik dipantau adalah semakin beredarnya faktur pajak palsu, seperti yang terjadi saat ini, tetapi kurang diekspos oleh aparat pajak.

Demikian pula sistem PPN yang berlaku sekarang mengakibatkan terjadinya restitusi yang cukup berarti dan hal ini berdampak negatif bagi cash-flow dunia usaha.

Restitusi sebenarnya berarti pemerintah berutang kepada pembayar pajak. Tetapi untuk menerima restitusi, bukan hal mudah karena sesuai ketentuan, harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Singapura menerapkan sistem pajak atas barang dan jasa atau good and services tax (GST).

Meski tarif PPN saat ini 10%, dengan adanya sistem pengkreditan antara pajak masukan dan keluaran yang bersih atau netnya yang diterima negara hanya sekitar 3%-4%.

Sistem GST sangat sederhana, selain tidak mengenal restitusi dan sekaligus dapat dihindarkan administrasi yang kompleks dan faktur pajak palsu.

Jika sistem GST diterapkan dengan tarif 4%, hal ini tidak akan mengurangi penerimaan negara. Bahkan se-harusnya dapat meningkatkan penerimaan negara sekaligus memudahkan dunia usaha dalam pembayaran pajaknya.

Apalagi PPN yang sekarang sebenarnya tidak murni PPN. Ini karena di dalamnya masih bercampur dengan pajak penjualan barang mewah.

Selain itu, jika Anda membayar listrik dan telepon, di bawahnya tercantum PPN 10%. Ini berarti Anda membayar PPN senilai 10% dan bersifat final.

Tulisan ini merupakan sumbangan pikiran untuk mengisi kemerdekaan. Ke-wajiban warga negara yang asasi adalah membela nega-ra, dan bagi yang mampu, membayar pajak. Tetapi bagi petugas pajak yang nakal, harus benar-benar dikenakan sanksi yang setimpal.

Oleh Marie Muhammad
Mantan Menteri Keuangan

sumber: