Tingkat Eksplorasi Indonesia Masih Rendah

Tingkat Eksplorasi Indonesia Masih Rendah 

Suara Karya, 24 Januari 2006


JAKARTA (Suara Karya): Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai tingkat eksplorasi hasil tambang baik mineral maupun batu bara di Indonesia masih cukup rendah dibandingkan melimpahnya potensi sumber daya alam tersebut.

"Tingkat eksplorasi hasil tambang dan mineral di Indonesia secara rata-rata masih dibawah lima persen dibandingkan cadangan terbukti yang ada," kata Ketua Umum Perhapi Abdul Latief Baky di Jakarta, Minggu (22/1).

Bahkan menurutnya, kalau dibandingkan dengan keseluruhan potensi cadangan yang ada, rata-ratanya jauh di bawah satu persen. "Padahal hasil tambang bisa menjadi sumber pendapatan negara yang besar, sehingga meningkatkan kesejahteraan rakyat," katanya.

Baky menjelaskan, rendahnya tingkat eksplorasi pertambangan terlihat dari produksi batu-bara Indonesia yang mencapai 149 juta ton pada tahun 2005 atau hanya 2,1 persen dari cadangan sebesar 6,98 miliar ton.

"Kalau dibandingkan dengan total sumber daya batu bara yang mencapai 57,8 miliar ton, maka tingkat produksinya hanya 0,25 persen," tambahnya. Demikian pula dengan produk pertambangan lain seperti tembaga, emas, perak, timah, bauksit, dan nikel.

Produksi tembaga tahun 2005 hanya mencapai 1,041 juta ton atau 2,5 persen dari cadangan yang 41,5 juta ton, produksi emas 130,6 ton atau 4,1 persen dari cadangan emas primer sebesar 3.156 ton, dan perak 320,59 ton atau 2,8 persen dari cadangan 11.417 ton.

Selanjutnya, produksi timah hanya 65.300 ton atau 14 persen dari cadangan 462.000 ton, bauksit 1,4 juta metrik ton basah atau enam persen dari cadangan 24 juta metrik ton basah, dan nikel 78.490 ton atau 0,012 persen dari cadangan bijih nikel 627,8 juta ton.

Baky menyebut, penyebab utama rendahnya tingkat ekspolorasi tersebut adalah akibat belum selesainya RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) sebagai payung hukum kegiatan pertambangan di Indonesia.

"Sudah sejak tahun 1999, investasi baru di sektor pertambangan mandek, karena tidak adanya kepastian hukum. RUU Minerba yang akan menjadi payung hukum, masih dalam pembahasan di DPR," katanya.

Selain itu, penyebab lain masih rendahnnya investasi adalah karena kurangnya insentif dan stabilitas perpajakan bagi investor.

Kalau permasalahan tersebut bisa diselesaikan, ia yakin pemerintah akan mudah menarik investasi asing mengingat melimpahnya cadangan mineral dan batu bara di Indonesia.

Menurutnya, pada tahun 2005, pendapatan negara dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hasil tambang mencapai Rp 18 triliun atau naik 100 persen dibandingkan tahun 2004 yang hanya Rp 9 triliun.

Nilai ekspor hasil tambang di tahun 2005 mencapai 9,3 miliar dolar AS atau meningkat dua miliar dolar AS (sekitar 27 persen) dibandingkan tahun 2004 yang mncapai 7,3 miliar dolar AS.

Sebelumnya, masih rendahnya tingkat eksplorasi pertambangan juga diungkapkan perusahaan konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC).

Dalam laporannya mengenai industri pertambangan di Indonesia yang bertajuk Mine Indonesia 2005, PwC mengungkapkan, pengeluaran kegiatan eksplorasi di Indonesia kurang dari 1,5 persen dari jumlah keseluruhan secara global pada tahun 2004 yang mencapai 3,8 miliar dolar AS.

"Tidak diragukan Indonesia memiliki prospek mineral yang cukup bagus, namun rendahnya tingkat eksplorasi merupakan hal yang memprihatinkan karena keberhasilan jangka panjang dan manfaatnya bagi rakyat Indonesia bergantung pada kegiatan eksplorasi, penemuan dan pengembangan cadangan baru yang berkelanjutan," kata penasehat ahli PwC Ray Headifen.

Ray juga mengungkapkan, perusahaan tambang asing prihatin dengan keinginan pemerintah mengubah sistem kontrak karya dengan usaha patungan bersama BUMN atau izin pertambangan langsung dengan pemda.

Dirjen Mineral Batu bara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Simon Felix Sembiring mengakui, yang dibutuhkan investor adalah kepastian berusaha, termasuk perbaikan perpajakan. "Kami akan berusaha duduk bersama dengan sektor lain, karena selama ini masalah muncul karena perbedaan antar sektor," katanya.

Dikatakannya, tahun ini tidak akan ada penambahan investasi baru yang signifikan, karena investor masih wait and see dengan belum munculnya RUU Minerba. "Namun untuk investasi yang sudah existing akan ada tambahan sekitar US$ 60 - 100 juta," katanya. Ini karena masuknya masa konstruksi PT Dairi Prima Mineral, PT Nusa Halmahera Mineral, dan PT Newmont Nusa Tenggara.

sumber: