Timah Kritis, Harga Turun Jadi 6.450 Dollar AS per Ton

Timah Kritis, Harga Turun Jadi 6.450 Dollar AS per Ton

Kompas, 31 Oktober 2005

 

Kundur, Kompas - Harga jual timah Indonesia telah mencapai tingkat yang kritis. Harga di pasar dunia terus menurun sejak Agustus 2005, dari kisaran 10.000 dollar AS per ton menjadi 6.450 dollar AS per ton pada 30 Oktober 2005. Sementara ongkos produksi yang dikeluarkan oleh PT Timah Tbk sendiri mencapai 6.000 dollar AS per ton.

Sekarang keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Kondisi itu menunjukkan harga timah sudah kritis, kata Menko Perekonomian Aburizal Bakrie saat meresmikan pengoperasian sarana pengolahan biji timah menjadi logam timah (smelter) di Kundur, Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, Minggu (30/10).

Aburizal mengatakan, seharusnya Indonesia mampu mengatur harga jual timah di pasar dunia karena produksi timah yang diekspor secara nasional mencapai 100.000 ton per tahun atau 35 persen dari konsumsi dunia sebesar 260.000 ton per tahun. Oleh karena itu, perlu langkah- langkah strategis antara Indonesia dan produsen timah utama lainnya, yakni Malaysia, untuk memengaruhi harga timah kembali meningkat.

Sementara di dalam negeri perlu pengaturan smelter-smelter yang diberi izin oleh pemerintah daerah, serta penertiban pertambangan liar. PT Timah harus bertemu dengan pemerintah daerah yang memberikan izin pembangunan smelter untuk menyepakati harga jual yang sama sehingga daya saing timah Indonesia meningkat, kata Aburizal.

Sementara itu, Direktur Utama PT Timah Thobrani Alwi menyebutkan, krisis harga timah mulai terjadi setelah beberapa pemerintah daerah memberi izin pembangunan fasilitas pengolahan biji timah pada tahun 2004. Hingga saat ini terdapat 20 fasilitas pengolahan biji timah yang diberi izin pemerintah daerah.

Keberadaan mereka berdampak pada harga timah di pasar dunia karena setiap bulannya ada 4.000 hingga 5.000 ton timah yang mereka ekspor, tanpa merek, sehingga harganya murah. Akibatnya, harga menurun drastis menjadi 6.450 dollar AS per ton, kata Thobrani.

Menurut dia, pemerintah perlu menertibkan fasilitas-fasilitas pengelolaan biji timah daerah itu dengan memberikan perlakuan yang sama pada seluruh pertambangan timah. Perlakuan yang sama itu dilakukan dengan mewajibkan pembayaran royalti pertambangan, pajak, dan dividen seperti yang dilakukan oleh PT Timah.

Jika tata niaga timah ini diatur dengan menertibkan ke-20 smelter itu, Indonesia bisa mengatur harga timah dunia. Kondisi itu dimungkinkan karena potensi produksi gabungan antara PT Timah dan smelter daerah itu bisa sangat besar. Produksi PT Timah sendiri mampu mencapai 50.000 ton per tahun setelah membangun smelter di Kundur itu, kata Thobrani.

Selama ini, jaringan pemasaran PT Timah menjangkau kawasan Asia (50 persen), Eropa (40 persen), Amerika Serikat (5 persen), dan pasar dalam negeri sebesar 5 persen. Pemasaran dilakukan dengan merek dagang Banka Tin, Mentok Tin, dan Banka Low Lead, seluruhnya sudah terdaftar di Pasar Timah Kuala Lumpur (KLTM) dan London Metal Exchange (LME).

sumber: