TIMAH DALAM PUSARAN MASALAH

TIMAH DALAM PUSARAN MASALAH

 

Harga komoditas timah di pasar internasional tengah menukik turun. Berita itu tentu tidak positif buat saham PT Timah Tbk (TINS). Lonjakan harga minyak dunia menambah panjang deret masalah.

 

SEORANG INVESTOR SENIOR BERGEGAS memasuki lift di gedung Bursa Efek Jakarta, pertengahan Mei 2005. Tujuannya ke lantai 12, kesalah satu galeri perusahaan efek, yang telah lama bermarkas di sana. Kepada rekannya yang ditemui dalam lift, juga dengan tujuan yang sama, ia mengaku hendak mengakumulasi keuntungan dari salah satu portofolio pentingnya, saham berkode TINS.

 

Alasannya, sesuatu akan terjadi pada harga komoditas timah di pasar internasional. Informasi yang ia peroleh dari para analis pasar komoditas dunia itu ternyata tak meleset. Ia pun menuai keuntungan berlipat, karene membeli saham timah saat masih seharga Rp 900 per saham, dan mengakumulasi keuntungan saat saham ini menyentuh level Rp 2.300 pada akhir Mei 2004. setelah itu, meski tak terlampau tajam , saham TINS melorot, diguncang volatilitas pasar komoditas.

 

Produsen timah dunia kini telah mengalami kegundahan. Di London Metal Exchange (LME), sudah dua tahun ini, harga timah merosot dari US$ 7800 menjadi US$ 770 per metrik ton. Padahal, pada awal 2005, harga komoditas tampak sangat meyakinkan merambat naik hingga mendekati US$ 9000 per metrik ton. Meski harga pada 20 Juli 2005 kembali merambat naik ke level US$ 7300, toh level ini masih jauh di bandingkan harga rata – rata tahun lalu yang mencapai US$ 8000 – 8500 per metrik ton.

 

PT. Timah Tbk, salah satu pememain utama bisnis pertambangan timah nasional, tentunya terkena imbas dari kondisi tersebut. Dampak yang paling mudah ditebah adalah anjoknya pendapatan operasional perusaan. Belum ada kalkulasi pasti tentang itu, tetapi imbas penurunan itu akan lebih terlihat paruh ke 2  2005. sedangkan paruh pertama hanya kuat terasa pada bulan juni.

 

Persoalan menjadi tambah pelik karena pada saat yang sama, harga BBM (bahan bakarar minyak) melambung hingga mencapai US$ 60 per barel. Lonjakan tersebut ikut mempengaruhi biaya produksi TINS.Itu sebabnya, kata Prasetyo B. Wicaksono, corporate secretary TINS, perusahaan harus mengalokasikan dana sebesar Rp 90 miliar untuk menopang aktivitas produksi pada semester kedua, sebagai antisipasi terhadap kenaikan harga BBM.

 

Deni Hamzah, analis dari PT Andalan Artha Artisindo Sekuritas, mengatakan, penggunaan BBM cukup signifikan terhadap beban operasional TINS. Kondisi ini menambah pelik masalah perseroan setelqah harga timah terkoreksi sebesar US$ 1.000 per ton sejak Mei lalu. Tekanan terhadap harga timah ini, menurut Deni, masih akan terjadi, selai karena penguatan dolar juga akibat aksi spekulan kontrak logam. �Saya lihat pendapatannya akan berkurang, dari sisi operational marjin akan tertekan dibandingkan pada kuartal pertama,� tandas Deni.

 

Imbas kenaikan harga minyak dunia dan penurunan harga timah international belum tergambar dalam kinerja TINS. Manajemen Timah belum berencana menurunkan volume produksi, walau harga komoditas tengah anjlok. �Kita masih memonitor pasar.  Sementara ini belum ada rencana menurunkan produksi karena kita masih lihat perkembangan,� ujar Prasetyo.

            Berdasarkan laporan keuangan triwulan pertama tahun ini, TINS membukukan laba besih sebesar Rp. 57,4 miliar. Perolehan laba itu ikut dipicu kenaikan harga timah, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan membaiknya kinerja operasi. Rata-rata harga timah pada kurtal pertama sebesar US$ 8.356 per metrik ton. Sementara kurs nilai tuka rat-rata dolar AS terhada ripaih pada level Rp 9.272 per dolar.

 

 

            Budi Ruseno, analis dari Bhakti Kapital, berpendapat, dampak turunya harga timah di LME turut pula mempengaruhi harga saham TINS. Tanggal 20 Juni 2005, saham ini sempat menyentuh level Rp. 2.500 per lembar, namun kini terkoreksi ke kisaran Rp. 2.100 per saham. “Dengan penurunan harga timah dunia itu membuat harga saham TINS juga turun,� ujar Budi.

 

EKSPANSI BISNIS

            Terlepas dari harga komoditas yang anjok, TINS menargetkan memproduksi 40 ribu metrik ton timah tahun ini. Sebesar 95% produk tersebut diekspor ke manca negara.

 

            Pada sisi yang lain, manajemen TINS kini tengah mempertimbangkan untuk bisnis nontimah. Setelah proyek feronikel yang tengah digarap, manajemen kini membidik bisnis tambang batubara.

 

            Sejauh ini perseroan telah mengakusisi PT Tanjung Alam Jaya di Kalimantan Selatan. Saat diakusisi, produksi Tanjung Alam Jaya sebesar 300 ribu metrik ton per tahun. Setelah diakusisi, manajemen TINS menargetkan bisa memproduksi 900 ribu hingga satu juta metrik ton per tahun.

 

            Upaya mencari peluang mengakusisi perusahaan batubara lain masih dilakukan. Thobrani Alwi, direktur utama TINS, mengatakan, perusahaan lebih memprioritaskan untuk membidik batuabara skala kecil. Dengan begitu, volume produksi yang sebelumnya, misalnya 500 ribu metrik ton per tahun, akan didongkrak menadi satu juta metrik ton pertahun.

 

            Sebelumnya, pernah tersiar kabar perseroan akan mengakusisi dua perusahaan tambang batubara. Harga masing – masing perusahaan diprediksi US$ 10 juta untuk penguasaan 75% saham.

 

            Maski TINS cukup getol mengembangkan bisnis batubara, kontribusi dari bisnis ini belum signifikan. Pendapatan batubara dari kuartal pertama tahun 2005 sebesar Rp 50,4 miliar. Jumlah itu hanya 6,6% dari total pendapatan perusahaan sebesar Rp 766 miliar. Sedangkan kontribusi timah mencapai 711,5 miliar.

 

            Deni Hamzah berpendapat, kiprah perseroan pada bisnis batubara perlu dukungan dana besar. Akusisi merupakan pilihan ekspansi paling mudah untuk meningkatkan peran perseroaan.

 

            Selain batubara, TINS juga sudah memiliki smelter baru yang berlokasi di Pulau Kundur yang memproduksi sekitar 6000 – 7000 ribu ton. Bisnis lain yang juga sudah dikerahkan TINS adalah pasir kuarsa untuk industri perminyakan di Riau. Saat ini, perseroan tengah dalam proses untuk mengakusisi PT Sarana Karya di Buton. Tahp due diligence tengah dilakukan untuk menggolkan niat itu.

 

KINERJA TEKNIKAL

            Dari pasar saham, jika penurunan harga timah terus berlangsung, jelas akan menggerus laba perusahaan dibandingkan tahun sebelumnya. Dampak akan terasa pada harga sahamnya, walau secara teknikal potensi kenaikan tetap terbuka.

 

            Secara teknikal, kata Budi Ruseno, harga TINS masih tergolong rendah, karena hanya 0,6 kali dari nilai buku. �Dengan book value Rp 3.105, sementara harga masih di pasar Rp 2.100, jelas murah sebenarnya,� kata Budi.

 

            Menurut Deni, secara fundamental, mengacu pada harga timah saat ini, fair value TINS berkisar Rp 2.200 – 2.300 per saham. Kalau harga timah sampai akhir tahun berkutat pada level US$ 8.000 – 9.000 per metrik ton, terbuka kemungkinan harga saham bisa mencapai  Rp 2.500 – 2.700. ini pun dengan dukungan nilai tukar rupiah terhadap dolar di atas Rp 9.000.

 

            Buat Investor, Deni menyarankan untuk tetap mengakumulasi pada level di bawah Rp 2.000. saham ini bisa dikoleksi untuk jangka menengah mengingat harganya akan sangat dipengaruhi harga logah dunia.

 

            Sedangkan Budi Ruseno menyarankan buy on weakness. Posisi support  diprediksi pada level Rp. 2.000, sedangkan resistence pertama pada Rp 2.225, resistance kedua pada kisaran Rp 2.500 per saham.

 

            Meski kondisi harga saat ini belum cukup menggembirakan , Deni menilai positif potensi perkembangan TINS hingga akhir tahun. Koreksi yang terjadi masih dalam taraf wajar, karena lebih disebabkan aksi profit taking.  

 

Sumber: Majalah Investor, 26 Juli-8 Agustus 2005

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kinerja Keuangan PT Timah Tbk

dalam juta rupiah

Keterangan

31 Maret 2005

31 Maret 2004

Aktiva

Aktiva Lancar

Aktiva Tidak Lancar

Kewajiban

Ekuitas

Penjualan Bersih

Laba Kotor

Beban Usaha

Laba Usaha

Laba Sebelum Pajak

Laba Bersih

EPS (Rp Penuh)

ROA (%)

ROE (%)

DER (x)

Tanggal Listing

Harga Perdana

Harga Saham (20/07/05)

Saham Tercatat (20/07/05)

Kapitalisasi Pasar (20/07/05)

2.629.473

1.492.690

1.136.747

1.066.555

1.562.791

766.010

158.219

(59.013)

99.206

97.920

57.399

114,00

2,18

3,67

0,68

 

2.005.117

 909.403

1.095.714

645.769

1.358.998

471.255

152.373

(90.636)

61.737

59.141

20.443

41,00

1,02

1,02

0,32

19 Oktober 1995

2.900

2.100

503.302.000

1.056.934.200.000

 

sumber: