Tidak Disarankan Pakai Batu Bara di Jakarta

Tidak Disarankan Pakai Batu Bara di Jakarta

Suara Pembaruan, 19 Oktober 2005

 

JAKARTA - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tidak menyarankan penggunaan kompor briket batu bara sebagai alternatif pengganti kompor minyak tanah di rumah-rumah di Jakarta.

"Kecuali bagi rumah yang memiliki desain dapur terbuka sehingga emisi gas buang (karbonmonoksida) yang dihasilkan kompor itu bisa langsung ke luar rumah, atau memiliki penghisap asap," kata Kepala Balai Besar Teknologi Energi BPPT Dr Agus Rusyana Hoetman kepada Pembaruan, Senin (17/10), di Jakarta.

Berdasarkan penelitian BPPT, ungkapnya, briket batu bara berjenis tanpa karbonisasi (tidak melalui proses karbonisasi) menghasilkan asap yang lebih sedikit daripada batubara berjenis karbonisasi atau kompor minyak tanah, namun asapnya tetap berbahaya bagi kesehatan manusia.

Dia menjelaskan, kompor minyak tanah menghasilkan emisi karbonmonoksida antara 200 - 300 ppm, sedangkan kompor briket batu bara tanpa karbonisasi hanya menghasilkan emisi karbonmonoksida sekitar 100 ppm.

"Tapi demi kesehatan, sebaiknya asap yang dihasilkan dari proses pembakaran briket batu bara tidak sampai terhisap oleh manusia. Sejauh ini briket batu bara jenis unkarbonisasi seperti yang telah kami kembangkan cukup aman bagi kesehatan manusia. Meski begitu bagi rumah yang memiliki desain dapur tertutup, tidak saya sarankan penggunaan kompor ini," paparnya.

Kompor briket batu bara, menurut Agus, lebih tepat jika digunakan di rumah-rumah di pedesaan yang memiliki dapur dari bilik bambu. "Dapur yang terbuat dari bambu membuat asap mudah terbang ke luar rumah. Selain itu juga sebaiknya saat memasak, bahan makanan tidak kontak langsung dengan batu bara," ujarnya.

Sedangkan dari segi keefektifan, kata Kepala Sub Bidang Pengolahan dan Karakterisasi Bahan Bakar Bidang Fosil B2TE BPPT Ir Herman Hidayat MSc, penggunaan briket batu bara lebih efektif jika digunakan di industri kecil, seperti pabrik tahu atau tempe serta industri sangat kecil seperti warung tegal. "Kalau untuk rumah tangga, saya rasa kurang efektif. Karena biasanya ibu-ibu kalau masak hanya sebentar-sebentar, misalnya setelah masak nasi kompornya dimatikan, lalu setengah jam kemudian dinyalakan lagi untuk masak air. Jadi, untuk kalangan rumah tangga sebaiknya terlebih dahulu disosialisasikan mengenai manajemen dapur yang baik," jelasnya.

Padahal, lanjut Herman, untuk menyalakan briket batu bara membutuhkan waktu cukup lama. Untuk briket batu bara jenis unkarbonisasi tipe sarang tawon dan tipe telur seperti yang dikembangkan B2TE membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit. "Itu pun sebelumnya salah satu batu bara yang akan dibakar sebaiknya dicelupkan dulu ke minyak tanah. Sedangkan briket batu bara yang kualitasnya kurang bagus butuh waktu sekitar 45 menit," ujarnya.

Dari segi efisiensi, menurut Kepala Bidang Fosil B2TE BPPT Dr Adiakso, penggunaan batu bara lebih efisien dibandingkan minyak tanah. Jika minyak tanah saat ini dijual dengan harga Rp 2.000 - Rp 3.000 per liter, briket batu bara sudah bisa dibeli dengan harga Rp 900 per kilogram. "Penggunaan satu liter minyak tanah sama dengan satu hingga 1,8 kilogram briket batu bara, bergantung pada efisiensi kompor atau tungku briket batu bara yang digunakan. Biasanya, satu kilogram briket efektif digunakan untuk pembakaran selama dua jam. Selanjutnya kualitas (panas) api akan menurun," tuturnya.

Sedangkan harga kompor briket batu bara, lanjutnya, berkisar Rp 30.000 - Rp 200.000, bergantung pada bentuk dan bahan yang digunakan. Sejak 2000, B2TE telah mengembangkan kompor yang sesuai dengan jenis batu bara yang digunakan.

Ada dua briket yang telah dikembangkan, yaitu briket batubara tanpa karbonisasi tipe sarang tawon dan tipe telur. "Dalam pemakaian briket batu bara, energinya harus dibakar semua, jadi perlu kompor yang baik sehingga pada saat menyala tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. Untuk kompornya kami telah merancang sedemikian rupa agar sesuai dengan briket batu baranya," katanya.

sumber: