Tarif Listrik Harus Seimbang

Senin, 10 Oktober 2005

EKONOMI & BISNIS
Tarif Listrik Harus Seimbang

JAKARTA (Media): Pemerintah akan mencari keseimbangan dalam menentukan penyesuaian tarif dasar listrik (TDL) 2006 setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Oktober 2005.

Kenaikan BBM tersebut semakin membebani keuangan PT PLN (persero) dan berkurangnya subsidi listrik dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2006.

Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM Yogo Pratomo mengungkapkan pihaknya belum menentukan besaran persentase kenaikan TDL. Pasalnya, hal itu masih dibahas dulu dengan Menteri ESDM kemudian diputuskan Menko Perekonomian.

"Rapat dengan Komisi VII DPR itu baru exercise (simulasi) berbagai skenario kenaikan dan brainstorming (penyamaan persepsi) saja. Belum ada yang diputuskan," jelas Yogo kepada Media di Jakarta, kemarin.

Dia mengaku hasil rapat dengan Komisi VII DPR, Jumat (7/10) lalu akan dilaporkan minggu ini ke Menteri ESDM untuk dibahas lagi lebih dalam pada rapat koordinasi terbatas bidang ekonomi.

Yogo menegaskan persentase TDL dan jumlah subsidi listrik bagi PLN akan ditentukan dalam rapat Panitia Anggaran DPR setelah masa reses, November nanti.

Mengenai empat skenario penyesuaian TDL yang diinginkan pemerintah dan PLN, Dirjen LPE mengatakan pemerintah selalu mencari keseimbangan antara kemampuan daya beli masyarakat, PLN, dan negara.

Pemerintah dan PLN mengajukan subsidi listrik kepada DPR sebesar Rp38,5 triliun pada 2006 untuk subsidi langsung dan BBM. Angka ini meningkat dari APBN-P 2005 seiring kenaikan BBM industri dari Rp2.200/liter menjadi Rp6.000/liter.

Sebelumnya, Komisi DPR VII yang membidangi energi dan sumber daya mineral sepakat untuk memberikan subsidi kepada PLN pada 2006 sebesar Rp15 triliun-Rp20 triliun untuk diusulkan kepada panitia anggaran DPR. Besaran subsidi itu akan digunakan sebagai dasar penghitungan kenaikan TDL.

Anggota Komisi VII DPR Tjatur Sapto Edy mengatakan, pihak DPR sengaja menentukan besaran subsidi terlebih dulu karena diperlukan untuk pembahasan panitia anggaran DPR dalam menentukan RAPBN 2006.

"Jadi subsidi ditentukan terlebih dulu. Dengan subsidi sebesar itu, dihitung berapa persentase kenaikan TDL yang diperlukan," ujarnya usai menghadiri rapat tertutup antara DPR dengan PLN dan Pertamina (persero) di Jakarta, Jumat (7/10) malam.

Ia menjelaskan, penentuan angka subsidi itu didasarkan atas sejumlah pertimbangan. Di antaranya, perkiraan kemampuan APBN, subsidi bagi pelanggan listrik 450 voltampere (va) dan kondisi perekonomian. Subsidi tahun depan diberikan dalam bentuk tunai, karena subsidi BBM ditiadakan.

Empat skenario

Dalam rapat tertutup itu, lanjut anggota Fraksi PAN itu, Dirjen LPE dan PLN memaparkan empat skenario kenaikan tarif dasar listrik. Dalam perhitungan skenario dasar, yaitu tanpa kenaikan TDL, maka subsidi yang diperlukan Rp38,49 triliun.

Skenario pertama, pemberian subsidi Rp25,51 triliun, yaitu apabila TDL naik dari Rp582 per kilowatthour (kwh) menjadi Rp716 per kwh (naik 23%). Konsumen pemakai listrik kategori kurang atau sama dengan 450 va, golongan I-3 dan I-4 tidak naik tarif. Sedangkan kategori yang lain diberlakukan kenaikan.

Skenario kedua, dengan subsidi Rp21,681 triliun, yaitu apabila TDL naik dari Rp582/kwh menjadi Rp753/kwh (naik 29%). Konsumen pemakai listrik kategori kurang atau sama dengan 450 va tidak naik tarif, sedangkan kategori lain diberlakukan kenaikan secara selektif.

Skenario ketiga, subsidi Rp12,98 triliun, yaitu apabila TDL naik dari Rp582/kwh menjadi Rp836/kwh (naik 39%). Konsumen pemakai kategori kurang atau sama dengan 450 va tidak mengalami kenaikan tarif. Sedangkan konsumen kategori lain diberlakukan kenaikan tarif hingga biaya pokok penyediaan (BPP) tercapai.

Sedangkan skenario keempat, dengan besaran subsidi nol, yaitu apabila TDL naik dari Rp582/kWh menjadi Rp970/kwh (naik 59%).

Menanggapi paparan skenario kenaikan tarif tersebut, Tjatur mengatakan persoalan menaikkan TDL bukan hal yang mudah. "Harus diperhitungkan secara cermat besaran-besaran yang ada, terutama menyangkut biaya pokok penyediaan (BPP) listrik." (Wis/Sdk/E-1)

sumber: