Tambang Pasir Besi Rusak Lingkungan!
Pikiran rakyat. ADA tiga cara yang dilakukan untuk menambang pasir besi dari pantai atau laut. Pertama, mengambil langsung dari daerah pantai, yang dilakukan oleh PT Maktal di Cipatujah Kab. Tasikmalaya. Perusahaan ini, mengambil pasir besi dari pantai dengan cara manual menggunakan cangkul atau skop. Setelah dikumpulkan, lalu dipikul untuk dibawa ke kendaraan truk yang siap angkut.
Kedua, mengambil dengan cara menggali dari gumuk pasir atau hamparan daerah pesisir yang tidak jauh dari pantai. Biasanya, jarak antara hamparan itu kurang lebih 300 hingga 500 meter. Hal ini dilakukan oleh PT Omega, PT Villa Husen Indonesia, serta PT Jassmas di Cipatujah. Caranya, dengan menggali pasir besi di kawasan daratan tidak jauh dari pantai. Penggali membuat galian dengan berbagai ukuran, dan biasanya setelah tergali sedalam tiga meter baru muncul pasir besi.
Sedangkan cara ketiga, yaitu ambil dari lepas pantai dengan cara disedot menggunakan kapal. Cara ini yang akan dilakukan di Cimerak, Kab. Ciamis, atau juga PT Jassmas di Cipatujah.
Dari tiga cara pengambilan pasir besi itu, semuanya mengandung risiko kerusakan lingkungan. Mulai dari abrasi, pesisir pantai nedap (amblas), hingga merusak biota laut.
Menurut Heru Waluyo, Asisten Deputi Urusan Pesisir dan Laut, Kementerian Lingkungan Hidup, pertambangan pasir besi di pantai, mengandung risiko kerusakan lingkungan cukup tinggi. Sehingga, perlu analisa dampak lingkungan (amdal) yang benar-benar baik.
"Sebelum izin dikeluarkan, kepala daerah mestinya melihat amdal dari perusahaan yang akan menambang tadi. Jika tidak, maka akan muncul masalah lingkungan di kemudian hari. Harus hati-hati," tegasnya.
Pengambilan pasir besi secara jor-joran di sepanjang pantai, pertama akan menyebabkan bentangan lahan rusak. Lalu, kondisi pantai yang semula bersih, lambat laut akan keruh atau rusak. "Jika sudah terjadi demikian, maka tidak akan ada lagi ikan atau udang yang biasa berkembang di daerah itu," lanjutnya.
Selain itu, akan terjadi abrasi pantai yang lebih cepat lagi.
Jika saat ini dibuat lobang-lobang besar di pesisir itu, nantinya air laut akan merembes, hingga pada akhirnya terjadi longsoran dan nedap (atau amblas). Dengan demikian, kawasan pantai akan rusak. "Kalau sekarang tampaknya tidak, tapi jika pertambangan ini akan dilakukan selama bertahun-tahun, kerusakan bisa terjadi," tegasnya.
Begitu pula yang terjadi di kawasan laut, yaitu dengan cara disedot. Cara ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati dengan tetap mengacu kepada amdal. Penyedotan itu bisa merusak terumbu karang. "Nantinya ekosistem di daerah itu akan terganggu," paparnya.
Ellya Hartini, Kepala Lembaga Penelitian Unsil, kepada "Priangan", menyebutkan, rantai ekosistem di laut Cipatujah, bisa rusak dengan adanya pertambangan tersebut, secara besar-besaran. Ia menyarankan, masyarakat maupun pemkab, jangan terbuai dengan nilai ekonomisnya, sementara masalah lingkungannya terabaikan.
"Kaidah konservasi harus benar-benar diperhatikan, dalam pertambangan ini,"sarannya.
Fungsi benteng alam di daerah pantai harus terjaga, dengan hutan mangrove dan penanaman tanaman yang kuat di pingir pantai, harus diperioritaskan. Agar terjangan ombak tidak langsung ke dataran.
Pemantauan "PR" di daerah Cikawungading, saat ini lubang-lubang galian bekas tambang pasir besi dibiarkan menganga. Padahal hal itu perlu direklamasi atau ditutup lagi, sehingga tidak menyebabkan nantinya nedap dan merusakkan kawasan pantai.
Hati-hati
BUPATI Ciamis Engkon Komara memilih bersikap hati-hati untuk memberikan izin pertambangan pasir besi. Ia tidak ingin terjadi kerusakan kawasan laut, kalau pertambangan ini tidak mengindahkan kaidah konservasi.
Makanya, hal utama kata Engkon mesti dilihat amdal yang dibuat oleh perusahaan itu. Lalu dipresentasikan di depan wakil rakyat dan eksekutif. Nanti setelah itu, baru diambil keputusan apakah perlu diberi izin atau tidak. Pengelolaan itu, mesti menghindarkan konflik sosial dan juga tidak merusak ekosistem laut.
Kuasa Lapangan PT Maktal H. Aang Somantri, perusahaannya telah membuat amdal, sehingga pertambangannya terkendali dan berusaha memperhatikan lingkungan. "Kita ini menambang dengan cara manual dan terkendali," katanya. PT Maktal ini mengantongi izin usaha pertambangan selama delapan tahun di Cipatujah.
Semua masalah pertambangan pasir besi yang diperlukan adalah harus terintegrasikan mulai dari hulu (izin) hingga hilir. Mulai aktivitas, sampai konservasi, pengendalian dan pengawasan. Lalu tidak lupa reklamasi atau rehabilitas, yang lebih cepat.
Hari ini rupiah bisa didapat dengan mudah dari pasir besi, namun bencana juga mengancam. Tanpa ada penambangan yang berwawasan/ ramah lingkungan, maka ancaman bisa berbuah bencana.
Infrastruktur
DPRD Kab. Tasikmalaya membentuk panitia khusus (pansus) yang membahas masalah pasir besi. Namun hingga detik ini tak ada hasil akhir yang bisa dijadikan pijakan.
Masalah lain, yang tak kalah pentingnya adalah kerusakan infra struktur jalan. Akibat ratusan kendaraan truk setiap hari hilir mudik Cipatujah-Tasikmalaya atau Cipatujah ke Pangandaran, telah mengakibatkan kerusakan jalan yang cukup hebat. Sehingga, warga Ciamis selatan sempat protes, karena jalan di daerah mereka yang dilalui oleh truk mengangkut pasir besi rusak berat.
Masalah ini juga perlu diperhatikan, karena kerusakan jalan provinsi mengakibtkan kerugian yang cukup besar. Untuk memperbaikinya, satu km butuh dana Rp 1 hingga 3 miliar. Jika jalan yang rusak puluhan km, maka berapa biaya harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk rehab jalan ini.
Kepala Balai Pegelolaan Jalan Wilayah Tasikamalaya-Ciamsi, Rachmat Latief juga mengeluhkan, masalah kerusakan jalan provinsi di daerah Tasikmalaya-Ciamis selatan. Akibat tonase yang berlebihan dari angkutan yang bawa pasir besi, sehingga jalan itu ambrol. Kini butuh dana besar untuk perbaikannya.
Sehingga, perlu berbagai pertimbangan yang mesti dikaji dalam masalah ini, agar ada keseimbangan dan pembangunan yang dilakukan tidak mewariskan kerusakan untuk cucu kita di masa yang akan datang.