Tambang Hendaknya Jadi Pilihan Terakhir
Kamis, 19 Januari 2006 |
Tambang Hendaknya Jadi Pilihan Terakhir Jakarta, Kompas - Eksploitasi pertambangan dalam skala besar hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi kepentingan pembangunan Indonesia. Sebab kebijakan sektor pertambangan justru menyulitkan posisi negara sebagai regulator, dan mengancam keselamatan lingkungan dan masyarakat lokal. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menyerukan kepada pemerintah untuk moratorium kegiatan pertambangan skala besar sambil membenahi berbagai persoalan termasuk berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan terkait aktivitas pertambangan. �Selama (moratorium) itu, pemerintah hendaknya tidak mengeluarkan izin baru pada sektor pertambangan dan tidak memperbarui kontrak karya,� ungkap juru kampanye Jatam, Adi Widianto, kepada Kompas di Jakarta, Rabu (18/1). P Raja Siregar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengemukakan bahwa model kontrak karya hanya ada di Indonesia. Penerimaan investasi asing melalui kontrak karya merupakan pangkal malapetaka di sektor pertambangan. �Kontrak karya merendahkan kedudukan Presiden sejajar dengan pimpinan perusahaan,� katanya. Dengan menandatangani kontrak karya, pemerintah menghadapi kesulitan saat terjadi persoalan pada lingkungan dan masyarakat lokal. �Ketika timbul masalah dan tidak dapat diselesaikan di pengadilan, misal kasus gugatan perdata terhadap PT Newmont Minahasa Raya, maka harus dibawa ke arbitrase internasional. Itu akan menjadi preseden,� kata Siregar. Sebagai regulator, menurut Adi, pemerintah seharusnya hanya mengeluarkan izin sehingga ada mekanisme dan daya tekan dalam mengawasi kegiatan perusahaan pertambangan. Apalagi, pertambangan punya daya rusak dan mengekstraksi sumber daya alam tidak terbarukan, yang akan habis pada titik tertentu. Kondisi makin parah karena pemerintah tidak punya batas waktu perpanjangan kontrak karya. �Tidak ada pencadangan mineral. Hampir seluruhnya diekspor dan dinikmati perusahaan multinasional,� tambahnya. Jatam mencatat, selama hampir empat dekade industri pertambangan di Indonesia, terbukti gagal menjadi penopang perekonomian Indonesia, apalagi menyejahterakan penduduk lokal. Kontribusi sektor pertambangan hanya berkisar Rp 1,3-2,3 triliun terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam empat tahun terakhir. Menurut Adi, nilai tambahnya juga rendah karena bahan tambang diekspor dalam bentuk bahan mentah. Penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal pun sangat rendah. |