TAJUK RENCANA : Pongkor Memakan Korban Lagi

 

KATA "lagi" kita garis bawahi. Musibah yang menimpa penambang emas tanpa izin atau gurandil terakhir di Pongkor, Bogor, itu sudah berkali-kali terjadi. Kali ini sejak empat tahun terakhir, korban tewas tercatat yang terbanyak, sedikitnya 12 orang.

Akan tetapi, berbeda dengan yang terjadi sebelumnya, musibah kali ini diduga ada unsur kesengajaan. Ada orang membakar ban mobil di mulut goa. Asapnya mengakibatkan sejumlah gurandil di dalam salah satu goa sesak napas. Sebagian di antaranya tewas di tempat.

Hari Rabu (3/3) itu sejumlah pekerja-sebagian dari 90 gurandil-sedang menggali goa di salah satu lubang Blok Cepu, Kampung Ciguha, Bantarkaret, Nanggung, Bogor, atau yang lebih dikenal sebagai kawasan Unit Penambangan Emas Pongkor. Asap yang masuk membuat mereka sesak napas. Sebagian bisa menyelamatkan diri. Sebagian lainnya mati lemas.

SOAL musibah kita tidak bisa saling menyalahkan. Kita, manusia, hanya bisa mencegah atau memperkecil kemungkinan.

Para pekerja sudah dilarang melakukan penggalian liar. Kawasan itu sudah lama ditinggalkan PT Aneka Tambang karena kandungan emasnya sudah menipis. Goa-goa bekas pertambangan resmi itulah yang digali para gurandil.

Ada satu periode Aneka Tambang melakukan pengawasan ketat. Gurandil diburu dan diusir. Keluarlah sebutan mereka sebagai penambang liar, yang berbeda dengan penambang yang bekerja di bawah otoritas Aneka Tambang.

Seiring dengan reformasi segala bidang, kehadiran mereka seolah-olah memperoleh pengakuan. Mereka tak lagi disebut penambang liar, tetapi PETI, penambang emas tanpa izin, bahkan belakangan diberi julukan gurandil.

KEHADIRAN gurandil boleh disamakan dengan wong ngangsak di persawahan Jawa Tengah/DI Yogyakarta. Mereka mengais-ngais sisa-sisa padi yang sudah dipanen dan yang sudah ditinggalkan pemiliknya.

Dalam konteks sosial di atas, kita menempatkan fenomena gurandil dan wong ngangsak secara positif. Apalagi didesak oleh faktor kebutuhan ekonomi, tidak serta- merta kehadiran mereka kita tempatkan sebagai pelanggar hukum yang berat.

Sebaliknya bagi Aneka Tambang, pemerintah, kehadiran mereka tentu mengganggu. Mereka ibarat duri dalam daging. Klilip. Merecoki.

Dari waktu ke waktu, didesak oleh kebutuhan ekonomi, jumlah gurandil semakin banyak dan merajalela. Pemerintah kewalahan. Sikapnya membiarkan, sambil waswas terjadinya musibah, sebab umumnya penambangan dilakukan sembrono.

Musibah-musibah yang terjadi sebelumnya disebabkan faktor tidak dipenuhinya tata cara penambangan yang benar. Musibah kemarin berbeda. Sebab konon ada asap masuk, berasal dari ban yang dibakar orang, yang berarti kecelakaan itu memang sengaja diciptakan.

Nah, kalau dugaan itu benar, tentu ini kesengajaan yang mengakibatkan kematian orang. Pelakunya bisa dipersalahkan dari segi hukum. Acuan yang kita sarankan adalah penegakan hukum, penyelidikan kasus, dan penjelasan ke luar dengan proses keadilan yang sebenar-benarnya. Tega-teganya membunuh sesama warga dengan cara yang begitu sadis, yakni mengasapi.

APA yang berkembang di Pongkor selama ini mengingatkan kita tentang pilihan hidup-mati. Para gurandil dari segi sosial tidak bisa dipersalahkan. Mereka melakukan untuk memperoleh sesuap nasi dan bertahan hidup. Mereka berusaha bertahan dari impitan kemiskinan, dan terus bertahan hidup sebagai pilihan. Mereka tidak ingin mati kelaparan.

Tingkat kesalahan tindakan mereka jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin menggurita di negeri ini.

Kesalahan yang dilakukan gurandil cuma "sekuku hitam" dibandingkan dengan yang dilakukan konglomerat hitam, koruptor (yang dibebaskan pengadilan), penilep pajak, dan lain-lain.

Kita tidak ingin membenarkan apa yang dilakukan gurandil. Kita ingin menyarankan jalan keluar yang sebaik-baiknya. Misalnya membiarkan mereka mengais-ngais rezeki dari remah-remah penambangan, atau sama sekali melarangnya dengan sekaligus menempatkan kegiatan mereka sebagai bagian dari proyek penambangan resmi.

TIDAK mudah, memang! Mungkin juga bukan tugas Aneka Tambang. Itu tugas kita bersama, terutama tugas pemerintah yang secara hukum wajib menyelenggarakan kehidupan yang layak bagi seluruh warganya.

Maraknya kehadiran gurandil sekadar cermin masyarakat kita saat ini. Keserbabolehan, permisiveness, fenomena umum masyarakat saat ini satu di antaranya terwujudkan lewat pelanggaran aturan dan hukum.

Lemahnya penegakan hukum menambah riuhnya keserbabolehan. Apalagi dipertontonkan contoh-contoh jelas, bagaimana nilai kepentingan dan uang menggeser kepentingan tegaknya keadilan dan kejujuran; bagaimana partai memperlakukan kegiatan politik bukan sebagai bagian dari upaya menyejahterakan kepentingan bersama, tetapi akumulasi kekuasaan dan kekuatan; bagaimana calon anggota legislatif yang memperjuangkan dari dan untuk dirinya sendiri.

Anekdot orang Amerika menangani persoalan dengan fokus how (bagaimana?) yang diikuti solusi-jalan keluar, sementara kita fokus pada why (mengapa?) ada benarnya. Kita tidak biasa bekerja secara terukur dan jelas tahap-tahapnya. Kita tidak melakukan pekerjaan rumah.

MUSIBAH Pongkor kali ini seharusnya mengentakkan rasa perasaan kita tentang besarnya persoalan pokok kemanusiaan, yakni soal lapangan kerja dan kemiskinan. Kita cegah kemungkinan terjadinya, sekaligus melakukan pekerjaan rumah yang berurusan dengan kebutuhan minimal untuk hidup-sesuap nasi-dan pengadaan lapangan kerja bagi 40 juta orang yang kini menganggur.

sumber: