Substitusi Energi Nasional Harus Segera Dibuat

Substitusi Energi Nasional Harus Segera Dibuat

Kompas,  10 Agustus 2005

 

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah mengenai harga minyak dan pemberian subsidi merupakan akar masalah kelangkaan bahan bakar minyak. Akibatnya, bukan hanya melahirkan perilaku masyarakat yang boros energi, tetapi juga berpeluang terjadinya penyelundupan dan pengoplosan BBM.

Bahkan, potensi pemanfaatan energi alternatif, seperti panas bumi, gas bumi, dan batu bara, tidak menjadi prioritas untuk dikembangkan. Demikian pendapat pakar perminyakan Umar Said dalam sebuah seminar yang diadakan School of Business and Management dan Indonesian Institute for Energy Economics, Selasa (9/8) di STEKPI Jakarta.

Kebijakan itu, menurut Umar Said, membawa konsekuensi pembengkakan subsidi BBM yang diperkirakan mencapai Rp 100 triliun. Oleh sebab itu, pemerintah harus segera melakukan substitusi energi untuk mengatasi kelangkaan BBM. Selain memenuhi kebutuhan energi masyarakat, substitusi energi diperlukan untuk menyelamatkan krisis BBM yang sudah merambah industri nasional dan mengancam pertumbuhan ekonomi.

Waktunya subsidi dicabut

Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah mencabut subsidi harga BBM. Dana itu bisa dialihkan untuk investasi di bidang sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Pemerhati Perminyakan Siti Djuharmi menambahkan, kebijakan diversifikasi energi yang pernah dicanangkan sekitar tahun 1980, yaitu menganekaragamkan pemakaian energi untuk menggantikan energi minyak, harus digalakkan kembali.

Potensi energi alternatif yang dimiliki sangat besar. Mulai dari cadangan gas bumi maupun potensi panas bumi sekitar 27 gigawatt (GW), tetapi baru termanfaatkan sebesar 827 megawatt. Potensi lainnya adalah cadangan batu bara yang besar.

Potensi energi alternatif itu belum dimanfaatkan secara optimal karena infrastruktur pendukungnya belum tersedia. Pemerintah juga harus melakukan penataan kembali sistem distribusi BBM. Pertamina sebagai supplier BBM, apalagi BBM yang disubsidi, memiliki otoritas tunggal. Akibatnya, konsumen tak memiliki posisi tawar yang kuat. Sistem alokasi memberikan konotasi adanya ikatan superioritas pengusaha terhadap konsumen.

Akurasi takaran dan kualitas BBM bukan lagi perhatian konsumen karena yang penting barangnya tersedia dan harganya murah. Padahal, harga murah itu memberi peluang terjadinya distorsi ekonomi seperti penyelundupan. Selain itu, otoritas tunggal mengakibatkan harga di pasaran kurang kompetitif.

sumber: