Soal Tailing, juga Ada Pelajaran dari Filipina
Sejak 1969 perusahaan itu masuk ke Marinduque, sebuah provinsi pulau kecil, 160 km sebelah selatan Kota Manila. Selama 30 tahun pertambangan dikelola Placer Dome, rakyat Marinduque memikul beban bencana lingkungan.
Sejak 1975 hingga 1991, Placer Dome membuang 200 juta ton tailing (limbah tambang) langsung ke perairan dangkal di Teluk Calancan, menutupi terumbu karang dan rumput laut dan dasar teluk dengan 80 kilometer persegi tailing.
Selama lebih dari 25 tahun, tambang sangat berdampak terhadap keamanan pangan untuk 12 kampung nelayan di sekitar teluk. Tailing itu juga melepas logam ke teluk dan diduga menyebabkan anak-anak di kampung-kampung sekitar teluk terkontaminasi oleh timbal.
Masyarakat desa sekitar Teluk Calancan yang tidak pernah diminta persetujuan sebelum proyek ini berlangsung, dan tidak pernah mendapat ganti rugi untuk deritanya, akhirnya melakukan protes.
Pada 1993, bendungan yang dibangun untuk menghindari buangan limbah tambang masuk ke Sungai Mogpog, akhirnya pecah. Air sungai membanjiri kampung-kampung di hilir dan Kota Mogpog secara dahsyat yang menyebabkan hanyutnya rumah, ternak, dan tanaman pertanian.
Lalu, pada 1996 bencana tumpahan tailing lainnya terjadi di pertambangan Marcopper yang masuk Sungai Boac.
Peristiwa ini memicu turun tangannya PBB, adanya dakwaan kriminal di Filipina terhadap John Loney dan Steve Reid dari Placer Dome.
Pada 1997, Placer Dome menyatakan akan membersihkan sungai dengan cara membuang tailing ke laut menggunakan pembuangan limbah dasar laut atau Submarine Tailings Disposal (STD). Belum ada banyak kesadaran di masyarakat Marinduque tentang teknologi ini, namun hal ini ditolak sejumlah kecil warga yang khawatir akan potensi dampaknya ke laut.
Tanggal 30 Oktober 1997, Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Filipina menolak usulan pertama tentang pengajuan izin Placer Dome untuk menggunakan STD. Namun, dengan berbagai cara dan upaya STD akhirnya diizinkan. Namun sepanjang perjalanannya beberapa kali pemerintah Filipina mencabut izin STD, tapi kemudian diizinkan kembali.
Pada dasarnya, limbah pertambangan merupakan ancaman bagi lingkungan, tidak hanya karena banyaknya tapi juga karena mengandung racun. Tailing pertambangan umumnya mengandung sulfida juga beberapa logam --seperti kadmium, tembaga, besi, timbal, mangan, merkurium, perak, dan seng-- yang terdapat secara alami di dalam biji-biji tambang.
Mengapa perusahaan pertambangan ingin menggunakan STD? Pembuangan tailing ke laut lewat pipa yang dibenamkan ke laut, menurut ahli-ahli dari perusahaan tambang, di kawasan Pasifik Barat, STD adalah sebuah solusi terbaik.
Mereka mengatakan di daerah ini, menampung tailing di lahan darat sangat berisiko tinggi, karena gempa yang banyak terjadi, daerah bergunung-gunung, tanah sangat berharga untuk pertanian, tingginya curah hujan, yang membuat bendungan penampungan tailing rentan runtuh seperti kasus di Filipina tadi.
Dalam sistem STD yang mutakhir, perusahaan tambang mengklaim bahwa tujuan untuk menumpukkan tailing di laut dalam karena di sini sedikit mengandung risiko.
Klaim ini juga telah dilontarkan oleh Grant Batterham, Manajer Urusan Lingkungan, PT Newmont Nusa Tenggara, kepada wartawan, pekan lalu, saat membahas soal kasus Teluk Buyat, Sulut. Dimana PT Newmont Minahasa Raya (NMR) juga membuang tailing ke dengan menggunakan STD.
Namun, pihak lain mengatakan, pembuangan tailing ke dasar laut, tetap mempunyai dampak buruk dan hanya untuk mengurangi dana yang harus ditanggung perusahaan. Limbah tambang yang menumpuk di dasar laut dan arus deras bisa mengganggu kembali limbah yang sudah mengendap.
Namun, untuk kasus Teluk Buyat, lagi-lagi Grant Batterham, membantahnya. Tailing PT NMR yang ada di dasar Teluk Buyat, menurut dia, tidak akan terganggu oleh arus deras. (Danof Daniel/V-2)