Soal pajak pun Singapura bukan jiran yang baik

 

 

Bisnis, 28 Maret  2004, Berbeda dengan Uni Eropa, Asean tidak memiliki perjanjian harmonisasi di bidang perpajakan. Setiap anggota bebas menentukan model kebijakan perpajakannya, tanpa mempedulikan tetangganya.

Contoh yang paling mudah adalah yang ditempuh Singapura, negara yang merahasiakan data perdagangannya dengan Indonesia. Negara yang ogah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia ini, punya kebijakan perpajakan yang bisa membuat negara lain gerah.

Tidak mustahil bila pajak juga menjadi pertimbangan para koruptor dan konglomerat bermasalah asal Indonesia memilih kabur ke sana. Jadi, bukan sekedar tidak dimilikinya perjanjian ekstradisi yang menjadikan Singapura sebagai suaka perlindungan atau safe haven.

Secara ringkas kebijakan tersebut disampaikan Menteri Keuangan yang juga Deputi Perdana Menteri Lee Hsien Loong di depan parlemen pada 3 Mei 2002.

Jika kita dalami, Singapore Budget Statement tersebut sarat dengan insentif yang menjanjikan Singapura lebih sebagai sorga ketimbang sekedar safe haven.

PPh orang pribadi

Mulai 1 Januari 2003, Singapura menawarkan kebijakan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (PPh OP) yang sangat atraktif, baik itu bagi resident maupun nonresident.

Untuk resident, tarif tertinggi dipangkas dari 26% menjadi 22%. Bahkan akan turun lagi menjadi 20% dalam tiga tahun.

Selain itu, jumlah lapisan tarif dipangkas dari 10% menjadi 7% saja dan besarnya tarif untuk masing-masing lapisan juga diturunkan.

Bandingkan dengan tarif PPh OP di Indonesia. Kebetulan Sin$1 hampir setara dengan Rp5.000. Bila seorang wajib pajak (WP) memperoleh penghasilan kena pajak Sin$20.000 atau setara dengan Rp100 juta (lihat tabel), dia akan menikmati PPh dengan tarif terendah 0% alias gratis.

Padahal di Indonesia dia sudah dikenai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh pada lapisan ketiga yaitu 15% dengan total pajak terutang Rp11,250 juta.

Di Singapura untuk sampai pada tarif 15% seseorang harus mempunyai penghasilan kena pajak sampai dengan Sin$160,000 setara dengan Rp800 juta yang di Indonesia sudah dikenai tarif 35%.

Nonresident

Bila pelarian dari Indonesia memilih status nonresident melakukan bisnis sesuai keahliannya, pajaknya juga murah.

Dengan dalih mengurangi compliance cost, professional nonresident dikenai PPh dengan tarif 15% final. Dulu, penghasilan mereka dikenai PPh pada level pemberi penghasilan sebesar 24,5%.

Kalau hasil jarahannya ditanamkan berupa portofolio investasi yang dikelola oleh fund manager atau boutique fund manager, asal tidak melakukan aktivitas bisnis dan tetap berstatus nonresident insentif pajaknya lebih fantastis lagi.

Penghasilan berasal dari reksadana ini sama sekali tidak dikenai pajak. Dengan kata lain, silahkan melakukan kewajiban perpajakan di negara di mana anda berdomisili. Pertanyaannya, kalau mereka terdaftar sebagai WP di Indonesia apakah sudi mereka melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait? Rasanya jawaban mereka: emangnya gua pikirin?

Pajak korporat

Kalau saja uang haram itu diwujudkan dalam bentuk kepemilikan saham, lagi-lagi treatment-nya juga menarik.

Singapura mengadopsi one-tier corporate tax system, menggantikan full imputation system yang diadopsi sejak 1948.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Income Tax Act (ITA) dividen bagi pemegang saham tidak lagi menjadi objek pengenaan pajak. PPh yang dikenakan di tingkat perusahaan sifatnya final alias tidak ada pajak dividen bagi pemegang saham. Apa tidak enak?

Ada tiga cara memajaki penghasilan dari kepemilikan saham yaitu classical, imputation, dan one-tier system.

Kita mengadopsi dua terakhir yang perlakuannya dibedakan menurut kriteria kepemilikan. Untuk dividen kategori non inter corporate berdasarkan Pasal 4 ayat 1 huruf g jo. Pasal 23 ayat (1) huruf a UU PPh digunakan imputation system.

Dengan cara ini laba perusahaan dikenai PPh Badan berdasarkan Pasal 17 UU PPh. Laba (after tax) bila dibagi kepada pemegang saham berupa dividen perusahaan wajib memotong pajak 15% sebagai withholding tax.

Di tingkat pemegang saham dividen ini merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Tarif yang berlaku adalah progresif dari 5% sampai dengan 35%.

Sementara untuk inter corporate dividend kita menganut the one-tier corporate tax system. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh dividen yang diterima pemegang saham bukan merupakan penghasilan. PPh cukup dikenakan pada level perusahaan menurut tarif Pasal 17 UU PPh. Itu pun pakai syarat.

Minimum, implementasi the one-tier system menghindarkan pemajakan berkali-kali terhadap objek yang sama. Cara ini sudah barang tentu menarik minat investor untuk melakukan investasi berupa kepemilikan saham di Singapura.

Jangan heran bila perlakuan ini menjadi penghalang bagi mereka yang memarkir modalnya di awal krisis moneter 1997 dulu untuk menariknya kembali ke Indonesia.

Tarif PPh Badan

Bisa jadi para koruptor dan konglomerat bermasalah memulai usahanya berangkat dari perusahaan kecil atau menengah. Pertanyaan selanjutnya, apakah ada insentif bagi mereka?

Lagi-lagi jawabnya ya. Di dalam Budget Statement dijelaskan bahwa tarif PPh Badan dipangkas dari 24,5% menjadi 22%. Selanjutnya dalam waktu 3 tahun tarif tunggal ini akan turun lagi menjadi 20%.

Sementara itu the Second Off-Budget Package tanggal 12 Oktober 2001 yaitu skema pengecualian pajak secara parsial bagi perusahaan berskala kecil dan menengah tetap berlaku.

Dengan demikian, nantinya perusahaan kecil dan menengah akan menikmati tarif effektif hanya berkisar antara 5,5% dan 10% saja. Padahal, di negara kita tarifnya berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh adalah 10%, 15% dan 30%.

Group Relief

Satu lagi perlakuan yang cukup menarik yaitu loss-transfer system of group relief. Perlakuan ini semacam kompensasi kerugian horizontal antar perusahaan di dalam satu grup.

Artinya, WP boleh meng-offset kerugian yang diderita perusahaan lainnya di dalam grup yang sama. Berdasarkan Pasal 37 C ayat (3) ITA dua perusahaan dianggap berada di dalam suatu grup bila salah satu diantara mereka memiliki saham perusahaan lainnya atau keduanya saling memiliki saham melebihi 75%.

Selain itu, dapat pula terjadi dua perusahaan dikatakan sebagai satu grup manakala 75% atau lebih saham keduanya dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan ketiga.

Berdasarkan Pasal 37 C ayat (7) ITA, group relief memungkinkan kerugian suatu perusahaan (transferor company) dari capital allowance; business losses; dan bahkan sumbangan, dapat di-offset perusahaan lainnya (claimant company).

Memang, kerugian cabang di luar negeri dan kerugian dari investment allowance tidak dapat di-offset. Akan tetapi, Group Relief bisa saja membuat negara lain cemas. Sebab, perlakuan ini bisa menjadi sumber inspirasi buruk para investor untuk membuat holding company atau perusahaan-perusahaan dummy di Singapura.

Dengan melakukan sinerji loss-transfer system of group relief dan skema United States and Singapore Free Trade Agreement (USS-FTA) seorang investor yang cerdas dapat mendesain sebuah tax planning yang menjanjikan.

USS-FTA

Ada satu lagi yang menjadikan para koruptor dan konglomerat bermasalah menganggap pilihan untuk lari ke Singapura adalah tepat. Mereka dapat memanfaatkan peluang di dalam skema USS-FTA.

Perjanjian yang ditandatangani oleh George Bush dan Goh Chok Tong 6 Mei 2003 di Ruang Timur Gedung Putih, Washington, DC ini minimal menjanjikan pembebasan bea masuk atas 92% impor dari Singapura.

Bila kita dalami, ketidakmampuan bangkit dari keterpurukan memaksa kita merelakan Batam dan pulau-pulau sekitarnya ibarat halaman belakang Singapura. Betapa tidak. Menurut skema USS-FTA, barang-barang produk pulau-pulau tersebut cukup dengan satu dan dua sentuhan akhir di Singapura dapat menikmati fasilitas bea masuk di Amerika Serikat.

Dari sisi daya saing, jelas ini sangat menguntungkan. Belum lagi yang namanya skema Integrated Sourcing Initiative bagi produk teknologi informasi tanpa melihat lokasi pembuatannya.

Bekerja sama dengan konco-konconya di Batam, satu dan dua sentuhan akhir itu dapat dilakukan oleh pelarian asal Indonesia. Kalau soal syarat label made in Singapore dan barang dikapalkan dari Singapura itu bisa diakali.

Dan, untuk urusan itu orang kita jagonya. Bagi kita yang masih waras, kondisi ini menambah ketergantungan pulau-pulau itu kepada Singapura.

Ironisnya, banyak di antara kita mengatasnamakan kepentingan investasi berjuang agar Batam menjadi free trade zone; yang jelas lebih menguntungkan Singapura ketimbang kita sendiri.

Sebab, USS-FTA akan lebih bermanfaat bagi Singapura bila arus barang dari Batam ke Singapura tidak banyak direcoki masalah kepabeanan.

Akumulasi insentif baik dari skema USS-FTA maupun perlakuan pajak di atas menjadikan Singapura lebih sebagai sorga ketimbang sekedar safe haven.

Sebagai akhir dari tulisan ini mungkin pembaca bertanya seberapa besar cost untuk semuanya itu?

Jawabnya adalah nol, sementara untungnya jelas sangat besar. Sebab, bukan Singapura namanya bila membiarkan dirinya rugi akibat langkah-langkah yang dibuatnya.

Hal ini juga persis seperti yang diduga banyak kalangan bahwa keberatan menandatangani perjanjian ekstradisi lebih menyangkut pembelaan terhadap kepentingan ekonominya.

Khusus potential loss akibat berbagai insentif pajak di atas subkomisi Economic Restructuring Shares (ERS) telah menghitung 1,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk menutup kerugian itu cukup dengan menaikkan tarif Goods and Services Tax (GST, nama lain dari Pajak Pertambahan Nilai, PPN). Terhitung 1 Januari 2003 tarif GST naik dari 3% menjadi 4% kemudian 5% terhitung 1 Januari 2004.

sumber: