Soal Izin Tambang, Pemerintah Jangan Takut

Koran Media Indonesia Rabu 14 Juli 2004 Halaman 28 (Lingkungan)

Ketakutan pemerintah akan terulangnya kasus Arbistrase International karaha bodas yang menyisakan ganti rugi sebesar US$ 261 juta, bukan alasan guna meloloskan Perppu No. 1/2004 terkait izin operasi tambang di hutan lindung. Kala itu, banyak faktor penyebab lemahnya posisi pemerintah. Pertamina sebagai pihak yang berpekara atas Karaha Bodas Company (KBC) dipersalahkan atas penghentian proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Garut, Jawa Barat.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Indro Sugianto ketika dihubungi Media Indonesia, kemarin. Dalam kasus Karaha Bodas, Pemerintah tidak memeperlihatkan komitmen yang tegas. Hal tersebut, imbuh Indro, seharusnya berbeda dalam konteks Perppu No. 1/2004. “Tidak ada celah hukum, yang membuat kita ke arbitrase international,“ tuturnya. Menurut dia , keberadaan Perppu itu, merupakan ancaman bagi kelestarian lingkungan hidup domestik.

Pada logika yang berbalik lanjutnya, pemerintah kemungkinan diperkarakan ke arbitrase international  sebagai konsekuensi pemberian konsesi terbatas pada 13 perusahaan, di antaranya PT INCO Tbk, PT Freeport Indonesia, dan PT Nusa Halmahera Minerals, Sebelumnya ada 150 perusahaan berlisensi Kontrak Karya sebelum disahkan UU Kehutanan No. 41/1999. Pada Keppres No. 41/2004, hanya 13 di antaranya diberi izin melanjutkan konsesi. “Kebijakan ini diskriminatif, bisa dicap tidak kondusif bagi iklim usaha.“

Disebutkan Indro, penerbitan perppu tersebut sebenarnya mengendung cacat huku sebab tidak terdapat argumen bagi situasi darurat yang menjadi dasar dikeluarkannya sebuah perppu “Aturan ini adalah kejahatan kemanusiaan dan lingkungan,“ katanya. Melalui instrumen perppu sambungnya, pemerintah sebenarnya lebih mengakomodasi kepentingan investasi dalam orientasi jangka pendek, sehingga melayani pihak industri dengan kemudahan fasilitas. “Semestinya isu ekologis dan publik yang jadi prioritas.“

Ketika disebutkan bahwa alternatif kompromi, yang akan dijalankan dengan memakai perubahan Pasal 19 dalam UU No. 41/1999, terkait dengan diperbolehkannya operasi tambang sesuai dengan peruntukan hutan, Indro mengatakan hal itu tetap opsi terburuk.

Kemungkinan Voting Pada kesempatan terpisah, Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Kehutanan yang mengakaji substansi permasalahan Perppu No. 1/2004 mengatakan, kemungkinan putusan final yang akan dibuat pihak legislatif diambil secara voting. Hal tersebut dijalankan, mengingat masih berimbangnya posisi anggota dewan yang menyetujui keberadaan perppu dan sebagian lain masih berpendapat perlu menolak.�Namun, dari nuansa aspirasi berkembang bisa jadi penolakan lebih keras,� tegasnya.

Dia juga menambahkan, pada rapat pansus tertutup yang akan dilakukan Kamis, 15 Juli 2004 , akan kembali dirinci kemungkinan persoalan kekhawatiran akan masalah pengadilan arbitrase international yang dapat dilakukan pihak industri pertambangan.  

 

sumber: