Setelah Kejayaan Tambang Timah Berlalu
Setelah Kejayaan Tambang Timah Berlalu
Kompas, 3 Desember 2005
ÂÂ
�Jika ada pekerjaan lain tentu kami tidak lagi mendulang seperti ini,� keluh Joni, warga Batuberdaun, Dabo, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Joni adalah satu dari puluhan warga Batuberdaun yang saat ini mengais rezeki dengan cara mendulang timah di pesisir pantai kawasan itu.
Setiap pagi, dengan menggunakan sepeda kayuh, mereka berangkat dari rumah menuju pantai Batuberdaun. Berbekal nampan pendulang, sekop dan pengayak, mereka memulai pekerjaan mereka hari itu.
�Sesampai di sini kami tidak dapat langsung bekerja. Harus menunggu air laut surut,� tutur Joni. Saat air surut, mereka berbondong-bondong ke pesisir, memilih tempat yang menurut mereka cukup banyak biji timahnya. Menggunakan sekop, mereka menggali batu dan pasir, lalu diletakkan di pendulangan.
Mereka memutar pendulangan itu sambil berendam di pinggir laut. Pekerjaan itu mereka lakukan hingga tengah hari saat air mulai pasang. Jika beruntung, mereka dapat membawa pulang satu kilogram bijih timah. Jika kurang beruntung, mendapat setengah kilogram bijih timah pun sudah anugerah.
Kepada perusahaan pengumpul, bijih timah itu mereka jual Rp 38.000 per kilogram. �Lebih baik dibandingkan jika kami bekerja di proyek bangunan. Sebagai pekerja bangunan kami hanya diberi Rp 15.000 per hari,� ungkap Syam, pendulang timah lainnya.
Menjadi pekerja bangunan terpaksa dilakukan kalau cuaca buruk dan air laut tidak kunjung surut. �Kebun tidak dapat diandalkan dan tidak ada pilihan pekerjaan lain,� Syam menambahkan.
Tambang terbesar
Dalam pelajaran ilmu bumi dulu, Dabo-Singkep, Kepulauan Riau, dikenal di seantero
Setelah
Ketika PT Timah berhenti beroperasi pada 1992, menurut Camat Dabo Abu Hazim, perekonomian di kawasan itu pun ikut merosot. Warga kehilangan sumber mata pencarian.
�Dulu kendaraan ramai melintasi jalan-jalan di Dabo, tetapi sekarang sepi,� ungkap seorang warga. Pelabuhan udara di Dabo yang dulu ramai dengan para petinggi PT Timah dan warga kini lengang.
�Kemampuan warga terbatas, potensi lain tidak ada,� tutur Ashari, dulu guru di SD milik PT Timah. Bangunan infrastruktur yang tersisa dipakai untuk puskesmas, perumahan, instalasi air minum, serta jaringan jalan.
Bangunan yang terbengkalai antara lain bangunan pengolahan bijih timahâ€â€dekat Pasar Dabo. Bangunan itu keropos dan atap sengnya banyak berlubang.
Abu Hazim mengatakan, �Sejak PT Timah ditutup, persoalan dasar di Dabo yaitu tidak ada lapangan pekerjaan, dan peninggalan PT Timah yang belum terurus.�
Menggali kolong
Warga kini menggali kolong-kolong tambang timah bekas PT Timah, namun hasilnya tak memuaskan.
�Mereka tidak memiliki peta tanah seperti yang dimiliki PT Timah. Tinggal sisanya yang kini didulang penambang tradisional,� kata Ashari.
Beberapa pemodal akhirnya menjual mesin pompa dan areal pertambangan miliknya dengan harga murah. Bekas tambang itu jika digali berisiko biaya tinggi.
�Apalagi belum ada payung hukumnya. Kalaupun ada hasilnya, pihak pemerintah setempat belum dapat meminta retribusi. Semua penambangan yang saat ini dilakukan adalah ilegal,� tutur Abu Hazim, Camat Dabo. Tetapi ia tidak dapat melarang penambangan karena lapangan pekerjaan lain tidak ada.
Ia berharap, Lingga sebagai kabupaten baru dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi penduduk dua kecamatan Dabo dan Singkep yang berpenduduk 38.000 jiwa itu. Dabo-Singkep merupakan kecamatan terpadat Kabupaten Lingga yang berpenduduk total 70.000 jiwa
�Apalagi Dabo-Singkep merupakan kecamatan terpadat di Kabupaten Lingga yang total penduduknya mencapai 70.000 jiwa lebih,� kata Abu.
Melalui pemekaran wilayah itu diharapkan pemerintah dapat membuka lapangan kerja baru seluas-luasnya bagi warga Dabo. Selama ini sebagian besar pemuda di Dabo lebih memilih pindah ke Batam, Tanjung Pinang, atau kota-kota lain di Indonesia untuk bekerja.
Potensi perkebunan
Abu Hazim mengatakan, Dabo dan Singkep sebenarnya memiliki potensi lain di bidang perkebunan. �Dulu pernah ada investor yang hendak membuka perkebunan sawit di Singkep tetapi hingga saat ini belum terealisasi. Padahal potensinya cukup besar, mencapai lebih dari 20.000 hektar. Juga ada jeruk yang dikelola warga. Potensi itu juga belum dioptimalkan,� tuturnya.
Selama ini, kata Abu Hazim, perolehan pemerintah setempat hanya dari hasil perikanan, perkebunan, dan terutama dari penambangan pasir.
�Setiap tahun Pemerintah Kabupaten Lingga memperoleh Rp 2 miliar dari penambangan pasir. Sekitar Rp 70 miliar perolehan pemerintah dari pajak,� ungkap Abu Hazim.
Perolehan pemerintah daerah juga masih seret karena belum ada peraturan daerah tentang retribusi beberapa kegiatan ekonomi. Seperti misalnya untuk usaha sarang walet yang saat ini sedang menjamur di Dabo.
Kini perolehan hanya dari penambangan pasir. Ini sebenarnya disayangkan warga. �Sebentar lagi kami ini hanya punya air saja, tidak lagi tanah air. Karena tanah-tanah di sini sudah dijual semua. Dulu timah kami diserap habis. Sekarang ini pasir kami dijual juga. Dapat dilihat, sebentar lagi akan ada sungai besar di Dabo karena pengerukan pasir itu,� ungkap seorang warga.
Saat memasuki hutan di kawasan air panas, Dabo, truk-truk besar lalu-lalang mengangkut berton-ton pasir berarak ke pelabuhan. Dengan kapal tongkang pasir-pasir itu keluar. Konon, ungkap warga Dabo, pasir-pasir itu dijual ke Singapura.
Lenyap sudah kejayaan pertambangan timah yang dulu sempat memakmurkan warga Dabo-Singkep. Dan kini, jika tidak berhati-hati, kekayaan lainnya pun akan ikut pergi jika tidak dikelola dengan baik. Yang pasti warga masih mengais dan mendulang timah di kolong-kolong tambang.
sumber: