Sejumlah Pemda Tidak Kooperatif dalam Penyusunan UU Perpajakan Daerah

Sejumlah Pemda Tidak Kooperatif dalam Penyusunan UU Perpajakan Daerah

Suara Karya, 18 November 2005

 


JAKARTA (Suara Karya): Menkeu Jusuf Anwar mengeluhkan sikap tidak kooperatif sejumlah pemerintah daerah (pemda) dalam penyusunan UU Perpajakan Daerah. UU itu sendiri saat ini telah mencapai tahap finalisasi.

Karena itu Jusuf meminta pemda menyerahkan laporan perda pajak yang diperlukan pemerintah pusat untuk menyusun UU Perpajakan Daerah. Saat ini, menurut Jusuf, penyusunan tersendat akibat tidak kooperatifnya beberapa pemda.

Mengenai pemda mana saja yang tidak koperatif tersebut, Menkeu enggan menyebutkannya. "Datanya telah kami pegang, tinggal menunggu penyelidikan lebih lanjut dari Departemen Dalam Negeri (Mendagri) dan Depertemen Keuangan," kata Jusuf usai melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung MPR/DPR, Rabu (16/11).

Menurut Jusuf, sikap sejumlah pemda yang tidak segera menyerahkan perda yang berisi ketentuan pajak dan restribusi daerah kepada pemerintah pusat akan dikenakan sanksi.

"Pemda ini tidak disiplin untuk segera melaporkan peraturan pajaknya. Kami (pemerintah pusat) menginginkan pemda ikut serta dan berinisiatif untuk menyerahkannya," ujar Menkeu.

Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan Menkeu menyatakan sedang dipertimbangkan untuk menunda dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan lainnya untuk pemda yang bandel.

Menkeu menjelaskan dibutuhkannya perda mengenai perpajakan di setiap daerah karena saat ini banyak keluhan dari dunia usaha yang mengatakan bahwa perda perpajakan kontraproduktif dengan iklim investasi di daerah.

"Jika akhirnya ditemukan adanya perda yang kontraproduktif, maka akan diusulkan untuk dicabut atau diperbaiki. Tapi jika memang mendesak untuk dicabut, maka jangan ditunda lagi," jelasnya.

Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat staf ahli Menkeu, Mardiasmo, mengatakan bahwa ada beberapa pengenaan PPN yang dilimpahkan ke pemda menjadi pajak daerah, yakni PPN atas jasa makanan dan hiburan. Pengalihan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan iklim investasi daerah.

"Sehingga tidak ada lagi penambahan jenis pajak atau retribusi baru agar tidak menjadi perda yang berekses negatif dan tidak kondusif bagi investasi," ujar Mardiasmo.

Selain pajak restoran, pajak pusat yang dialihkan kepada daerah meliputi pajak restoran, pajak jasa katering dan boga, pajak di bidang hiburan, yakni spa dan bowling.

Namun untuk pajak olahraga golf masih dikenakan pajak pusat dan daerah. "Karena yang main kan orang-orang kaya. Atas permainannya dikenakan pajak hiburan atas penyewaan tanah dan atas lapangan golfnya dikenakan PPN atas jasanya itu," kata Mardiasmo.

Pengalihan PPN juga terjadi pada pajak atas sarang burung walet. "Dengan demikian akan ada peningkatan PAD daerah," ujarnya.

Menurutnya, ketentuan ini masuk dalam RUU Pajak dan Retribusi Daerah sebagai revisi UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. "Di dalam pembahasannya, tim sudah mensinkronkan dengan tim pemerintah mengenai UU Perpajakan, baik itu ketentuan umum perpajakan (KUP), PPN dan PPh," tambahnya.

Dalam sinkronisasi itu, pajak daerah dan retribusi daerah ke depannya menjadi closed list, bukan open list, karena banyak perda yang menghambat dan tidak kondusif.

sumber: