SDA Kalsel Masih Menjual

SEBUAH pernyataan yang cukup menggembirakan disuarakan oleh Forum Ekonomi Pembangunan Masyarakat Kalsel. Melalui ketuanya, H Ismail, forum itu menyatakan sumber daya alam Kalsel sebetulnya sangat diminati oleh investor asing, tapi mengingat pengelolaan wilayah yang salah, disertai biaya tinggi di luar ongkos resmi, membuat investor asing malas masuk ke Kalsel.

Memang dari akhir kalimat pernyataan itu harus menjadi perhatian kita semua. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab investor gamang menanamkan investasinya di daerah ini. Pertama pengelolaan wilayah yang salah. Misalkan dalam hal pengelolaan batu bara. Selama ini yang terjadi, pengusaha batu bara menggunakan jalan umum, sehingga rakyat yang dirugikan. Rakyat hanya menikmati ampas atau debu batu bara saja, sementara yang menikmati justru orang luar. Untuk pengelolaan batu bara dan sumber daya alam lain, forum ini berharap agar penguasa dan pengusaha Kalsel bisa bertindak bijak. Sebetulnya, daerah bisa menggunakan hak otonominya untuk memaksa infestor membangun fasilitasnya sendiri. Dengan membangun pabrik pengolah sumber daya alam itu di Kalsel, maka Kalsel akan mampu menghemat sumber alam itu. Selain itu, dengan mengolah sumber alam, maka penghasilan bisa lebih besar lagi. Untuk masalah itu, perlu dibangun pabrik di hulu dan hilir didukung penggunaan teknologi modern.

Kajian forum itu juga mengungkapkan pisang Kalsel diangkut ribuan truk dalam sebulan ke pulau Jawa. Bila pengelola daerah ini bisa melihat peluang itu, sebetulnya masyarakat Kalsel bisa sejahtera. Sebetulnya Kalsel bisa membangun pabrik pengolah pisang itu, sehingga selain bisa memberi masukan bagi daerah, bisa menyediakan lapangan kerja untuk masyarakat. Biasanya, satu pabrik besar selalu diikuti oleh jenis usaha lain. Jadi, dengan membangun pabrik susu atau makanan bayi dari pisang itu, maka Kalsel bisa makmur.

Masalah kedua, biaya tidak resmi atau katakanlah biaya suap justru berada jauh di atas harga resmi komoditi di Kalsel. Konon, biaya pungli itu bisa mencapai 100-150 persen dari harga resmi. Seharusnya, investor hanya dibebani biaya sesuai dengan retribusi yang ditentukan oleh peraturan. Dengan kata lain, tidak ada biaya di luar retribusi itu. Padahal di luar negeri selalu menggunakan surat berharga dalam berbisnis, tapi di Kalsel, pengusaha dan penguasa selalu meminta fresh money, sehingga investor enggan menanamkan modalnya di Kalsel.

Untuk mendatangkan investor ke Kalsel perlu kesamaan pandang, antara masyarakat, LSM, pemerintah, aparat keamanan dan organisasi masyarakat Kalsel yang ada di luar daerah. Diharapkan gubernur Kalsel terpilih nanti, memperhatikan masalah investasi ini secara jernih. Tindakan itu, bisa diawali oleh caretaker gubernur Kalsel saat ini. Budaya setor harus dihentikan. Ini merusak dunia bisnis.

Janganlah sumber daya alam yang sangat menarik perhatian para investor ini tidak kita manfaatkan semaksimal mungkin demi kemaslahatan banua. Mari kita bijak dalam mengelola SDA, kemudian menghilangkan hal-hal yang membuat enggan para investor mendekat. Bayangkan kalau mereka mendekat saja enggan apalagi untuk berusaha di tempat kita jelas tidak mau.

Jangan sampai kita seperti peribahasa: ‘Ayam mengeram di lumbung padi mati kelaparan’. Marilah kita bergandeng tangan, bersama-sama memanfaatkan SDA yang memang menarik minat investor untuk berusaha di daerah ini sehingga pada gilirannya kita juga akan merasakan sejahtera karena lapangan kerja juga akan terbuka.

sumber: