Saatnya Memilih Batu Bara & Gas Bumi

Bisnis Indonesia - Tujuan dari diversifikasi energi itu adalah dapat dilihat dari sudut kepentingan terhadap keberlangsungan penyediaan energi primer dan untuk mendapatkan biaya produksi lebih murah (input) bagi tenaga listrik itu sendiri.

Hal ini sangat relevan untuk menjadi landasan dalam membuat arah pengembangan sektor ketenagalistrikan nasional ke depan. Dalam hal ini, pengembangan itu harus diarahkan pada sumber-sumber cadangan energi terbesar yang dimiliki negara ini.

Jika dalam membuat arah kebijakan ini ternyata keputusan yang diambil salah, maka ada potensi membawa bangsa ini menjadi rusak secara ekonomi dan sosial. Ancaman yang akan muncul adalah ketidak pastian pasokan listrik dan biaya produksi yang tidak kompetitif karena harga listrik akan menjadi mahal. Hal ini sudah sesuai dengan prinsip dan teori ekonomi bahwa kelangkaan suplai apalagi sampai pada kondisi ketidak pastian suplai, maka mendorong listrik menjadi produk mahal.

Untuk itu, perlulah bagi Indonesia untuk lebih melihat kekuatan dukungan sumber energi primer yang ada di dalam negeri dalam upaya pengembangan kapasitas pembangkit listrik. Dari segi ketersediaan sumber energi sendiri, Indonesia memiliki hampir seluruh jenis sumber energi primer yang ada di dunia. Mulai dari biomassa, angin, hidro, surya, gas bumi, gas metan, minyak, batu bara, panas bumi, gelombang laut, hingga uranium.

Permasalahannya adalah sumber-sumber energi ini tidak semuanya tersedia dalam jumlah yang cukup untuk pengembangan ketenagalistrikan dalam rangka memenuhi pertumbuhan kebutuhan listrik nasional. Bahkan kabarnya Indonesia mulai menghadapi penipisan cadangan minyak bumi, yang selama ini menjadi andalan untuk membangun dan menyangga republik ini.

Lalu sumber energi apa yang pantas diandalkan? Kalau mengacu kepada hasil indentifikasi dan pendataan cadangan sumber-sumber energi nasional yang dilakukan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral maka yang prospektif yaitu batu bara dan gas bumi.

Cadangan batu bara nasional saat ini untuk resourcesnya mencapai 53 miliar ton dengan cadangan terukur baru sekitar tujuh miliar ton. Perkiraan cadangan yang paling prospektif 30 miliar ton. Cadangan sebesar itu umumnya terdapat di Sumatra dan Kalimantan dengan porsi 70% jenis batu bara muda atau rendah kalori yang memiliki kandungan air 10%-70%.

Kemudian gas bumi memiliki cadangan 134 triliun standar kaki kubik yang terdapat di Aceh, Sumut, Sumsel, Jabar, Jateng, Jatim, Kaltim, Natuna, Sulsel, hingga Papua.

Dengan sumber daya dan cadangan terukur sebesar itu, maka kedua sumber energi primer itu menjadi energi paling potensial dan menjamin kesinambungan bahan bakar bagi kegiatan produksi tenaga listrik dalam jangka lama.

Sementara sumber energi lain masih kalah, walaupun ada di antaranya merupakan cadangan terbesar di dunia seperti panas bumi dengan kapasitas 20.000 MW, yang merupakan 40% dari total cadangan panas bumi dunia.

Artinya, untuk pengembangan sistem pembangkitan ke depan, batu bara dan gas paling mungkin untuk dikembangkan sebagai prioritas. Sementara jenis pembangkit dengan sumber energi lain itu tetap dikembangkan dengan fungsi fuel mixed. Terutama bagi daerah yang punya sumber daya energi kelompok penunjang ini seperti sebagian Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara. Sehingga diharapkan faktor keseimbangan tetap terjaga dalam pembangunan sistem pembangkitan listrik nasional.

Skala pertumbuhan

Kebutuhan pertumbuhan listrik untuk skenario laju pertumbuhan terendah sebesar 7%-8% per tahun bisa terjawab. Bahkan kalau mau mengembangkan skala pertumbuhan maksimal sebesar 8%-12% per tahun pun bisa dicapai dengan mengandalkan gas dan batu bara.

Dengan pengembangan pembangkit batu bara (PLTU) dan pembangkit gas atau lebih dikenal dengan PLTG/ PLTGU, maka setidaknya akan tercapai dua sasaran penting. Pertama, kesinambungan pasokan energi primer dalam jangka waktu yang cukup lama bagi produksi tenaga listrik. Kedua, memberikan kontribusi penurunan biaya input tenaga listrik jika dibandingkan dengan menggunakan minyak bakar.

Sebagai perbandingan saja, saat ini, PLN menghabiskan anggaran sekitar US$450 juta untuk BBM dalam setahun. Jika tren penggunaan BBM yang ada saat ini bisa direduksi, maka ada penghematan dalam jumlah besar.

Berdasarkan input kWh dari pembangkit PLTU Suralaya, diketahui harga produksi tenaga listriknya hanya berkisar pada harga US$0,016 per kWh. Ini sudah memperhitungkan berbagai beban biaya yang mesti ditanggung oleh pembangkit itu termasuk beban cicilan utang investasi beserta bunga. Dan ini disebut-sebut sebagai operasi pembangkit paling efisien dan termurah di Indonesia.

Namun, dalam gagasan diversifikasi energi ke gas dan batu bara juga menghadapi kendala yaitu kesulitan mendapatkan pasokan dari produsen. Selama ini, menurut Eddie Widiono Sowondho, Dirut PT PLN, pihaknya menghadapi kekurangan pasokan gas sehingga melakukan disain ulang terhadap pembangkit gas menjadi pembangkit berbahan bakar minyak bakar atau menghentikan operasinya. Sehingga PLN menanggung beban biaya lebih besar untuk operasi pembangkitnya.

Hal itu terjadi di beberapa pembangkit PLN, walaupun sebenarnya perusahaan itu sudah memiliki volume kontrak yang besar dengan produsen gas di dalam negeri. Sebagai contoh krisis pasokan gas di pembangkit Gresik yang berakibat dialihkannya pembangkit gas menjadi pembangkit minyak bakar.

Begitupun dengan pembangkit batu bara, juga sering menghadapi kelangkaan pasokan. Ambil contoh operasi PLTU Suralaya yang membutuhkan 10 juta ton batu bara per tahun. Pembangkit itu menghadapi kendala serupa.

Persoalan kelangkaan pasokan bahan bakar itu tidak jarang menganggu sistem layanan PLN kepada masyarakat dengan dampak dilakukan pemadaman bergilir atau pemadaman terbatas.

Di balik persoalan adanya insiden seretnya pasokan itu, sebenarnya persoalan itu lebih pada persoalan teknis dan faktor ekonomi dari produk itu. Artinya, bukan berasal dari persoalan krisis energi karena sumber daya gas dan batu bara sendiri tetap ada dalam jumlah sangat besar. Jadi, dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa persoalan itu sebenarnya lebih kepada tuntutan perubahan kebijakan dalam tata niaga komoditasnya dan bukan bersumber pada krisis energinya.

Dengan mengembangkan pembangkit listrik yang berbasis pada sumber energi terbesar yang ekonomis itu maka diyakini tujuan untuk menciptakan listrik aman dan berbiaya murah akan bisa dicapai.

Oleh Irsad
Wartawan Bisnis Indonesia

sumber: