Saatnya Indonesia peduli tanggulangi spam

 
 

Peredaran e-mail sampah atau spam, saat ini mencakup 85% dari lalu lintas e-mail dunia. Kerugian yang ditimbulkan spam terhadap ekonomi global mencapai US$25 miliar per tahun, belum termasuk hilangnya produktivitas pengguna dan penyedia layanan Internet. Demikianlah gambaran epidemik spam seperti yang dilaporkan International Telecommunication Union (ITU).

Masalah spam semakin membebani perekonomian global seiring meningkatnya ketergantungan pebisnis terhadap Internet. Untuk itulah, ITU menyelenggarakan konferensi dunia spam di Jenewa yang diikuti perwakilan dari 60 negara. Targetnya, menyetop peredaran spam dalam dua tahun, terutama pornografi yang berbahaya jika diakses anak-anak.

Konferensi itu menghasilkan strategi yang menjadi rekomendasi bagi kelompok kerja antispam dalam persiapan World Summit on Information Society (WSIS) kedua di Tunis, Tunisia pada November 2005. Rekomendasi penanggulangan spam yang terpenting dari konferensi itu adalah keberadaan regulasi anti-spam di setiap negara, berikut upaya penegakannya. Saat ini total 30 negara di dunia--umumnya negara maju--yang sudah memiliki regulasi tentang spam.

Ternyata spam juga mengancam negara berkembang dan miskin sebab bagi negara tersebut Internet bernilai strategis sebagai batu loncatan untuk masuk ke perekonomian global. Internet juga menjadi sarana belajar dan meningkatkan kualitas hidup rakyat di negara-negara tersebut. Dengan demikian, jelas spam sudah menjadi masalah global baik di negara maju dengan penetrasi Internet tinggi maupun negara dunia ketiga.

Masalah yang paling serius dari spam belakangan ini adalah munculnya kecenderungan spam digunakan sebagai sarana melancarkan kejahatan di dunia maya. Seringkali spam dimanfaatkan untuk menjaring informasi keuangan, seperti nomer rekening dan password. Caranya, pelaku mengirimkan e-mail spam kepada korban seolah-olah datang dari sumber terpercaya -modus ini disebut juga phishing. Spam juga menjadi kendaraan untuk menyebarkan virus dan worms. Penyebaran spam juga merambah ke jaringan seluler, salah satunya adalah mengirim pesan yang bertujuan mendongkrak lalu lintas nomer-nomer premium.

Intinya, masalah spam tidak mengenal batas wilayah, sehingga penanggulangannya juga memerlukan kerja sama berskala internasional. Disinilah regulasi berperan penting menjembatani kerja sama antar negara. Dalam konferensi ITU, ditegaskan bahwa sangat penting bagi semua negara memiliki regulasi dan menunjuk satu badan pelaksana yang menjadi contact point.

Regulasi tersebut membuka jalan bagi setiap negara untuk menetapkan MoU bersama dalam penanggulangan spam yang sifatnya lintas batas tadi. Bentuk regulasi di masing-masing negara tidak perlu seragam, yang lebih penting adalah koordinasi dan mekanisme antar negara sehingga memungkinkan terjadi kerja sama.

Menurut konferensi ITU itu, beberapa langkah penanggulangan spam setelah regulasi adalah solusi teknis, inisiatif industri dan edukasi kepada konsumen. Solusi teknis diperlukan untuk mendampingi regulasi untuk mencegah meluasnya spam di lapangan.

Langkah-langkah yang bersifat teknis ini diterapkan PJI, operator telekomunikasi dan pengguna. Sejumlah asosiasi industri dan lembaga standardisasi mulai menyempurnakan petunjuk teknis yang diharapkan bisa mengerem laju spam dalam dua tahun.

Tak kalah penting adalah dukungan dari pelaku industri dengan merumuskan code of conduct di lingkungannya sendiri guna mendukung regulasi yang sifatnya umum. Pelaku industri-termasuk lembaga konsumen, perusahaan dan pemerintah-juga diingatkan agar menggelar edukasi kepada pengguna Internet. Salah satunya melalui kampanye nasional untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan bahaya spam.

Harus peduli

Konferensi ITU mencerminkan betapa spam sudah menjadi masalah global, spam tidak lagi dipandang sebagai gangguan minor yang dialami pengguna Internet, melainkan sudah mencapai taraf membahayakan.

Wajar jika pemerintah Indonesia dituntut peduli dengan merintis langkah-langkah yang direkomendasikan dalam konferensi tingkat dunia itu.

Seperti diketahui, Indonesia adalah salah satu dari 176 negara yang ikut dalam deklarasi WSIS di Jenewa akhir tahun lalu. WSIS bertujuan membangun masyarakat informasi internasional dengan baik. Hal ini tentu saja tidak bisa dicapai jika spam terus menjadi ancaman.

Pada kenyataannya, hingga saat ini spam seperti belum menjadi perhatian pemerintah. Sebetulnya dalam naskah RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), aturan-aturan terkait dengan spam sudah lengkap tapi karena belum disahkan sebagai UU maka belum bisa digunakan sebagai landasan hukum.

Pemerintah justru mengharapkan komunitas Internet yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melakukan filtering terhadap spam selama belum adanya cyber law.

"Kami memahami masalah spam ini sangat mengganggu bagi pelaku e-business sehingga memang perlu segera cegah. Dengan belum adanya cyber law maka inisiatif dari komunitas seperti APJII untuk memfilter ilegal e-mail ini sangat penting," kata Deputi Bidang Jaringan Kominfo Cahyana Ahmadjayadi.

Sekjen APJII Heru Nugroho berpendapat tidak tepat jika pemerintah menyerahkan penanggulangan spam sepenuhnya kepada komunitas Internet tanpa didukung regulasi yang memiliki kekuatan hukum.

Tanpa regulasi yang bersifat nasional, dia menilai penanggulangan spam kurang efektif karena ketiadaan sanksi dan tidak bisa menjangkau pihak-pihak di luar PJI seperti Warung Internet (Warnet).

"Kalau sekedar filtering saja, mayoritas anggota APJII sudah memiliki fasilitas tersebut namun tidak bisa melakukan tindakan hukum kepada pelaku spamming," tandasnya.

Serangan spam juga dilancarkan dari luar negeri, sehingga aksi lokal saja tidak cukup untuk menangkalnya.

Memang APJII membuka fasilitas untuk melaporkan aksi spamming namun kurang efektif jika tidak diteruskan dengan penanggulangan melalui kerja sama dengan negara lain.

Namun di tengah ketiadaan regulasi dari pemerintah, APJII sudah merampungkan code of conduct bagi anggotanya mengenai penanggulangan spam dan cybercrime yang akan disosialisasikan akhir bulan ini.

Berbekal code of conduct, lanjut Heru, setidaknya anggota APJII bisa menyepakati untuk memberikan sanksi kepada PJI yang melanggar aturan bersama tersebut. "Itu adalah hal maksimal yang bisa kami lakukan."

Deriz S. Syarief

sumber: