RUU Minerba Belum \"Investor Friendly\"

RUU Minerba Belum "Investor Friendly"

Suara Karya, 17 Januari 2005


JAKARTA (Suara Karya): Para investor di sektor pertambangan kini bersikap menunggu dan melihat perkembangan (wait and see) penyelesaian Undang-undang (UU) tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Karena, investor melihat draf rancangan UU Minerba belum kondusif terhadap usaha pertambangan di tanah air alias tidak ramah terhadap investor.

"Kita memang berharap UU Minerba itu bisa dijadikan sebagai payung hukum berinvestasi di Indonesia. Banyak investor besar kini menunggu keluarnya UU Minerba itu sebagai kepastian berusaha di Indonesia," kata Presiden Direktur PT Newmont Pasifik Nusantara, Noke Kiroyan di Jakarta, kemarin.

Menurut Noke, kepastian hukum ini sangat penting bagi kelangsungan usaha dan kegiatan pertambangan di Indonesia. Apalagi sejak tujuh tahun terakhir iklim investasi pertambangan di Indonesia tidak memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan.

Menurut penilaiannya, rancangan UU Minerba yang kini masih dalam pembahasan oleh DPR berisiko memberikan dampak negatif bagi kegiatan investasi di sektor pertambangan. "RUU Minerba yang diajukan pemerintah ke DPR belum kondusif bagi iklim usaha pertambangan (investor friendly). Saya pikir RUU itu tidak membuat investasi semakin berkembang dan malah menyurutkan investor untuk menanamkan modalnya di sektor pertambangan," katanya.

Noke menjelaskan, salah satu pasal yang tidak investor friendly itu adalah penerapan bentuk kerja sama yang menggunakan model perizinan dengan menggantikan kontrak karya yang selama ini berlaku. "Investor keberatan dengan penerapan konsep perizinan itu karena hanya berlaku sepihak, sehingga kurang kuat dasar hukumnya," ujarnya.

Noke merinci, jika konsep berbentuk perizinan, maka apabila pemerintah mencabut izin usaha, investor hanya bisa mengajukan keberatan ke pengadilan di Indonesia. Sementara kalau berbentuk kontrak karya, maka investor bisa mengajukan keberatan hingga ke pengadilan arbitrase internasional dan posisi tawar investor menjadi lebih kuat.

Karena itu, ia berharap, pemerintah dan DPR dapat meninjau kembali RUU Minerba agar lebih bersahabat dengan investor. Sesuai road map (peta jalan pengembangan sektor pertambangan) seharusnya inti utama RUU tersebut adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan pertambangan di Indonesia.

"Awalnya, RUU itu diharapkan mampu menarik investor agar mau menanamkan modalnya di sektor pertambangan. Akibat tidak adanya investasi itu, maka Indonesia tidak banyak menikmati keuntungan saat booming harga produk pertambangan seperti sekarang ini," kata Noke.

Bahkan jika pemerintah tidak juga memberikan payung hukum yang kondusif, maka para investor akan mengalihkan investasinya ke negara lain. "Pengalihan investasi sudah banyak dilakukan oleh para perusahaan tambang," katanya.

Sementara itu, anggota komisi VII DPR-RI, Dito Ganinduto mengatakan, dirinya memahami jika diterapkannya kerja sama pertambangan dalam bentuk izin akan membuat para investor lari dari Indonesia, karena tidak adanya kesetaraan antara investor dengan pemerintah.

Untuk itu, kalangan DPR tetap akan berupaya memberikan payung hukum yang dapat menarik investor, sehingga seluruh kegiatan perekonomian bisa berjalan. "Kemungkinan untuk investasi besar akan tetap menggunakan sistem kontrak karya. Sementara untuk yang skalanya lebih kecil dan menengah maka akan menggunakan sistem izin," katanya.

Menurut Dito, sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku, pemerintah tidak bisa lagi menandatangani kontrak, sehingga nantinya akan dibentuk satu perusahaan BUMN atau badan yang akan mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak. "Layaknya di perusahan migas, maka sektor pertambangan akan mempunyai badan usaha yang mewakili pemerintah," katanya.

Dito menegaskan, DPR akan segera menyelesaikan UU ini secepat mungkin agar iklim investasi di pertambangan mendapatkan kepastian. "Kita berharap setelah masa reses DPR, pembahasan dapat diselesiakan," kata Dito.

sumber: