Rupiah Makin Anjlok
Suara Pembaruan, 6 Juli 2005
ÂÂ
JAKARTA- Nilai tukar rupiah makin anjlok ke kisaran Rp 9.865 per dolar Amerika Serikat pada pembukaan perdagangan Selasa (5/7) pagi di pasar uang. Pada penutupan sehari sebelumnya rupiah melemah 100 poin, sehingga ditutup pada kisaran Rp 9.873 per dolar AS.
Menurut ekonom dari Center for Information and Development Studies (CIDES) Umar Juoro kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa, rupiah bahkan bisa menembus kisaran Rp 10.000 jika bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserved, terus menaikkan suku bunga The Fed ke kisaran 4 persen.
"Dengan kondisi sekarang kalau suku bunga The Fed terus naik maka nilai tukar rupiah pada level Rp 10.000 per dolar AS tinggal persoalan waktu saja," kata Umar.
Dia menjelaskan, terpuruknya nilai tukar rupiah dipicu oleh dua faktor yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terutama disebabkan oleh kenaikan suku bunga The Fed 0,25 persen menjadi 3,25 persen, sehingga mata uang dolar AS menguat terhadap semua mata uang regional.
Dari faktor internal, dengan menguatnya dolar permintaan dalam negeri meningkat khususnya untuk kebutuhan impor baik impor minyak Pertamina maupun kebutuhan impor perusahaan-perusahaan lainnya. Selain itu, perusahaan-perusahaan membeli dolar untuk kebutuhan pembayaran utang yang jatuh tempo.
Dia menjelaskan, kemerosotan tajam nilai tukar rupiah dibanding dengan mata uang regional lainnya terhadap dolar disebabkan oleh konsep investasi dan ekspor yang tidak menghasilkan devisa, tapi malah menghabiskan cadangan devisa.
"Konsep investasi dan ekspor yang kita kembangkan kurang tepat, karena memakan devisa bukan menghasilkan devisa. Misalnya, investasi di bidang infrastruktur banyak barang-barang modal yang didatangkan dari luar negeri, sehingga menggerus devisa. Demikian halnya dengan ekspor, hanya memperoleh devisa dari kenaikan harga minyak, tapi jumlahnya belum seimbang dengan devisa yang keluar untuk kebutuhan impor. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara pasokan dolar dengan permintaan," kata Umar.
Menanggapi langkah-langkah yang ditempuh Bank Indonesia (BI), Umar mengatakan, guna mengantisipasi pelemahan rupiah tidak cukup dengan hanya mengharapkan BI dengan kebijakan moneter seperti menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menyerap likuiditas, karena hal itu akan berpengaruh pada kenaikan suku bunga deposito, lalu diteruskan dengan kenaikan suku bunga kredit, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Pemerintah yang sudah berjalan delapan bulan semestinya bisa berkoordinasi dengan BI, khususnya dalam menjalankan kebijakan menggenjot pertumbuhan ekonomi lewat peningkatan ekspor dan investasi. Pemerintah seharusnya mempercepat masuknya investasi-investasi baru dan meningkatkan ekspor. Investasi yang masuk pun harus memprioritaskan investasi yang bisa menghasilkan dan menambah devisa," katanya.
Untuk ekspor, dia menyarankan agar pemerintah lebih memfokuskan ekspor yang memberikan tambahan devisa yang signifikan seperti minyak dan gas, karena cadangan kedua komoditas ini masih besar.
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati mengkhawatirkan melemahnya rupiah akan membuat anggaran program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat terganggu. Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS akan membuat cash flow pemerintah terganggu.
Menurutnya, melemahnya rupiah secara otomatis akan membuat anggaran bertambah. Kebutuhan minyak yang tinggi, penguatan dolar, dan pelemahan rupiah bisa membuat persoalan dengan cash flow pemerintah. Dikatakan, harga minyak akan mendorong kebutuhan dolar. Dengan kenaikan dolar pelemahan rupiah akan terjadi. Tapi, diharapkan kondisi tersebut akan disimak secara sangat serius oleh BI.
sumber: