RI gunakan open source untuk keluar dari priority watch list

    

Di mata internasional, Indonesia masih dipandang sebagai salah satu negara terburuk dalam hal perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Berkali-kali negara ini gagal keluar dari Priority Watch List yang dirilis USTR (US Trade Representative). Penyebabnya, menurut lembaga itu, adalah tingginya pelanggaran Hak Cipta di Tanah Air yakni pembajakan cakram optik musik, film dan peranti lunak.

Khusus di peranti lunak, laporan Business Software Alliance (BSA) menyebutkan tingkat pembajakan software di Indonesia pada 2003 mencapai 88% dengan kerugian potensial sekitar US$157 juta. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara pembajak keempat di dunia dan ketiga di Asia Pasifik. Sejak 1999, negara ini tidak bisa beranjak dari posisi empat besar negara dengan tingkat pembajakan tertinggi.

Berbagai catatan buruk pelanggaran Hak Cipta itu merugikan citra Indonesia dalam aktivitas perdagangan dan investasi dunia. Padahal, keduanya sangat diperlukan untuk mengangkat negara ini dari krisis perekonomian.

"Status Priority Watch List itu berdampak psikologis dalam percaturan perdagangan internasional Indonesia namun secara langsung saat ini tidak ada pengaruhnya," kata Gunawan Suryomurcito, Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat HaKI Indonesia.

Memang tidak semua negara mitra terpengaruh dengan buruknya perlindungan HaKI di Indonesia. Namun bagi Amerika Serikat (AS) dan umumnya negara maju, perlindungan HaKI merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi mitra dagangnya.

Jika hal ini diabaikan, AS akan menaikkan status negara mitra menjadi Foreign Priority Watch List dan memberikan sanksi dagang. Sanksi ini pernah diberikan kepada Ukraina dengan membatalkan ekspor negara itu ke AS senilai US$75 juta.

Minimnya perlindungan HaKI tidak hanya mencangam perdagangan dan iklim investasi nasional. Dalam kasus maraknya pembajakan peranti lunak, yang turut dirugikan adalah industri teknologi informasi (TI) nasional. Studi BSA dan IDC pada 2003 menyimpulkan industri TI di Tanah Air berpotensi menyumbangkan pendapatan sekitar US$2,4 miliar hingga 2006 jika mampu menurunkan tingkat pembajakan dari 88% menjadi 78%.

Upaya hukum

Pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk memperbaiki perlindungan HaKI ini dimulai dengan menggelar infrastruktur hukum. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan HaKI yang berulangkali disesuaikan dengan standar TRIP (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) dari WTO (World Trade Organization).

Terakhir, pemerintah memberlakukan secara efektif UU Hak Cipta (UU No.19/2002) pada pertengahan 2003. Ancaman hukumnya juga tidak main-main, yakni hukuman pidana dan denda hingga Rp500 juta bagi produsen dan pengedar. Tak ketinggalan, berbagai razia pun digelar di mal-mal yang dikenal sebagai pusat penjualan software bajakan. Ditjen HaKI juga mengirim surat kepada 10.000 konsumen kalangan bisnis untuk mulai menggunakan peranti lunak legal.

Dalam memberantas software bajakan, pemerintah memprioritaskan pada pengguna korporasi. Pemerintah juga menggandeng asosiasi industri seperti Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) untuk memberikan edukasi dalam mengelola software sebagai aset.

Berbagai upaya itu ternyata belum bisa mengerem tingkat pembajakan peranti lunak, seperti yang ditunjukkan laporan terbaru BSA. Tingkat pembajakan masih tinggi sementara konsumen masih dapat membeli dan menggunakan software bajakan dengan mudahnya. Malahan, muncul kritik dari masyarakat kepada pemerintah yang diduga kuat sebagai pengguna software bajakan terbesar. Pemerintah pun dituntut memberikan contoh dengan menggunakan peranti lunak legal.

Butuh alternatif

Dari kondisi itu terlihat bahwa pendekatan hukum saja tidak cukup untuk memberantas pembajakan software. Konsumen -terutama pengguna bisnis- perlu diberikan alternatif software dengan harga terjangkau. Peranti lunak terbuka atau open source dapat berperan sebagai alternatif peranti lunak proprietary. Masalahnya, open source software (OSS) ini masih menjadi makhluk asing, terutama pengguna yang terbiasa dengan software proprietary bajakan.

Peranti lunak open source didefinisikan sebagai software yang dikembangkan secara bersama, menggunakan kode program yang tersedia secara bebas serta dapat didistribusikan. Pengguna dapat memodifikasi dan mengembangkan kode program yang terdapat dalam sistem operasi maupun sebuah aplikasi open source.

OSS menjadi alternatif yang terjangkau karena memiliki skema lisensi yang berbeda dari proprietary software. Skema lisensi OSS umumnya berupa kontrak dukungan teknis dan purna jual. Kontrak ini pun menjadi pilihan pengguna karena beberapa OSS bahkan bisa diperoleh secara gratis. Salah satu skema lisensi yang terkenal adalah general public lisence (GPL).

Memang OSS -terutama yang bisa diperoleh gratis- tidak mungkin memenuhi seluruh kebutuhan peranti lunak dalam perusahaan atau instansi. Minimal, OSS terjangkau ini bisa digunakan di tingkat personal computer (PC) seperti sistem operasi dan aplikasi perkantoran. Kedua jenis peranti lunak itu adalah yang paling banyak dibutuhkan pengguna pribadi maupun perusahaan.

Sistem operasi dan aplikasi perkantoran berbasis open source ini bermanfaat jika dipaketkan dalam PC rakitan -yang selama ini diduga paling banyak menggunakan software bajakan.

Menurut data Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo), PC rakitan mencakup 60% dari total penjualan PC di Tanah Air yang diperkirakan mencapai 400.000 unit pada semester pertama 2004. Jika sebagian besar saja PC rakitan dilengkapi OSS, otomatis penggunaan software bajakan bisa ditekan.

Masalahnya, tinggal bagaimana mensosialisasikan OSS kepada masyarakat untuk melepaskan ketergantungan terhadap software bajakan. Sebab, faktor harga tidak selamanya menjadi pertimbangan pengguna memanfaatkan software bajakan. Pengguna yang sudah bisa terhadap satu jenis software tertentu terkadang enggan beralih ke OSS.

Salah satu tujuan Indonesia Go Open Source (IGOS) yang baru dideklarasikan adalah memberantas penggunaan software bajakan dan sedapat mungkin memasyarakatkan penggunaan OSS.

Upaya ini dimulai dari lingkungan pemerintah sendiri untuk diteladani masyarakat. IGOS memang masih berupa deklarasi saja dan sifatnya sebagai gerakan moral. Namun IGOS diharapkan mampu mendorong penetrasi OSS yang akhirnya dapat menurunkan tingkat pembajakan dam mengeluarkan Indonesia dari status Priority Watch List.

Deriz S. Syarief

 

sumber: