Restrukturisasi Harga BBM untuk Penggunaan Energi Alternatif
Purnomo mengakui, prospek dari pemakaian energi terbarukan atau energi alternatif masih belum ekonomis. Umumnya lebih banyak dimanfaatkan untuk wilayah terpencil dengan kapasitas yang juga terbatas. Menurut dia, model pembangkit yang sudah masuk dalam tataran keekonomian adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Padahal sumber daya energi terbarukan di Indonesia masih sangat besar. Sebagai contoh, potensi daya listrik dari tenaga air 27.000 megawatt (MW) sedangkan potensi tenaga panas bumi mencapai 20.000 MW namun yang baru dimanfaatkan hanya 4%.
Di masa depan terdapat sejumlah proyek energi terbarukan yang sangat mungkin dikembangkan, seperti solar energy (matahari), tenaga angin, biomassa dan gelombang laut. Semuanya itu, kata Purnomo, sudah pada antre untuk dikembangkan dan telah dilakukan pilot project.
Purnomo juga menjelaskan yang dimaksud skala keekonomian dari pembangkit listrik konvensial yang memakai energi fosil jika mampu dioperasikan dengan biaya di bawah US$0,05/kWh. Sedangkan, skala keekonomian dari pembangkit yang menggunakan energi terbarukan masih berkisar US$0,075-US$0,08/KWh jadi sulit untuk berkompetisi dengan pembangkit jenis lainnya.
Pada kesempatan yang sama, usai mempertahankan tesis doktor mengenai pengembangan sistem ketenagalistrikan berwawasan lingkungan, Herman Darnel Ibrahim mengusulkan agar pemerintah memberikan subsidi kepada investor yang ingin membangun PLTA atau PLTP dalam jumlah tertentu. Sehingga pemakaian energi alternatif bisa menjadi pilihan.
Namun tentunya, kata Herman subsidi tersebut harus bervariasi. Karena untuk pembangkit yang sudah layak tentu hanya diberikan subsidi yang kecil, sedangkan yang belum layak subsidinya harus besar. "Subsidi bisa diberikan kepada teknologinya atau investasinya. Bisa dalam bentuk keringanan bunga atau pemerintah memberikan sejumlah modal." (Wis/E-1)
sumber: