Reposisi Pertambangan Menghadapi Masa Depan: Rekonsiliasi IUP (1)
Paradigma pertambangan mineral dan batubara bergeser seiring dengan lahirnya UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Paradigma tersebut adalah tentang pengutamaan kepentingan nasional atau dalam negeri sebagai prioritas utama. Hal tersebut terjabarkan dalam pasal-pasal UU Minerba yang terdiri dari 26 bab dan 175 pasal tersebut. Lebih lanuut hal tersebut juga tercermin dalam 4 peraturan pemerintah dan sejumlah peraturan Menteri ESDM yang sudah terbit.
Bergesernya paradigma tersebut juga senafas dengan pergeseran otonomi daerah, dimana menurut UU Minerba kewenangan pengelolaan dan pembinaan juga meluas sampai ke para bupati dan walikota. Di satu sisi ini bisa dipandang sebagai sebuah kesempatan baru bagi daerah untuk mengembangkan dan mengelola potensi daerah yang ada tersebut untuk mencapai visi nasional, yaitu bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun di sisi yang lain, sebenarnya ini juga mengandung makna tentang sebuah tanggung jawab bersama bagi pengelolaan kekayaan nasional berupa sumberdaya mineral dan batubara. Kala ini hanya dilihat sebagai kesempatan semata, sementara tanggung jawab pengelolaan belum memadai maka yang akan terjadi adalah sebuah proses pengelolaan yang tidak efektif, bahkan pemborosan. Sumberdaya mineral dan batubara memang tetap sebuah daya tarik, investor dari dalam dan luar negeri bertaruh untuk menanamkan modalnya di bidang ini. Sejumlah investor berhasil dan mendapat keuntungan yang berlipat ganda. Namun sejalan dengan itu sebenarnya juga harus diiringi dengan keuntungan maksimal bagi masyarakat dan bangsa.
Pertanyaannya adalah, apakah penguatan kewenangan berupa pemberian perizinan di daerah tersebut sudah sejalan dengan tanggung jawab hakiki atas sumberdaya alam yang tidak terbaharukan ini? Atau memang semata-mata ternyata hanya mengambil kesempatan untuk mendapat keuntungan jangka pendek? Menjawab hal ini secara substansial bisa dilihat dari prosesnya dari kondisinya dan dari hasilnya. Kewenangan pemberian IUP khususnya logam dan batubara berdasarkan pada UU Minerba harus melalui lelang. Sedangkan untuk lelang harus ditetapkan dahulu wilayah pertambangan (WP) yang saat ini masih menunggu persetujuan DPR dan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) nya.
Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha, Kementerian ESDM telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 03.E/31/DJB/ 2009 tertanggal 30 Januari 2009 kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota untuk tidak menerbitkan IUP sampai dengan keluarnya PP Minerba. Namun, Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan No 23 P/Hum/2009 tertangggal 9 Desember 2009 memerintahkan pembatalan dan pencabutan SE No. 03.E/31/DJB/ 2009. Putusan itu menyusul uji materiil SE yang diajukan Bupati Kutai Timur kepada MA pada tanggal 22 Juli 2009. Posisi Kementerian ESDM adalah menghormati putusan MA itu, namun apabila ada IUP mineral logam dan batubara yang diterbitkan setelah terbitnya UU Minerba tanpa melalui proses pelelangan wilayah, maka hal tersebut tetap merupakan pelanggaran UU Minerba sebagai hukum positif serta terdapat sanksi hukumnya untuk hal ini.
Perizinan IUP Di Daerah: Perlunya Rekonsiliasi
Adalah sebuah hal yang amat luar biasa bahwa faktanya daerah-daerah selama periode 2000-2008 telah mengeluarkan sejumlah besar perizinanan yang diterbitkan. Proses pemberian izin oleh daerah sebenarnya telah dimulai ketika UU 22/1999 yang diamandemen menjadi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara mendasar dengan UU ini pula terjadi pergeseran kewenangan pengelolaan pertambangan yang pada gilirannya nanti telah membawa sejumlah dampak baik positif maupun negatif. Pasal 10 ayat (1) UU 22/1999 menyebutkan "Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Konsekuensi atas pasal ini adalah bahwa landasan pengelolaan usaha pertambangan umum yang semula diatur dengan PP No. 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, harus disesuaikan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tersebut.
Tahun 2001 terbit PP No. 75 Tahun 2001 tentang Perubahan PP No. 32 Tahun 1969, yang memberikan kewenangan pemberian izin dan pengawasan di bidang pertambangan sebagian besar beralih dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten atau kota. Pada waktu PP No. 75 tahun 2001 terbit, banyak daerah kabupaten atau kota belum memiliki perangkat dinas pertambangan dan energi, meskipun semua pemerintah provinsi telah mempunyai dinas pertambangan.Sampai dengan tahun 2008, sekalipun sejumlah daerah sudah mengeluarkan sejumlah perizinan,namun amat sedikit yang dilaporkan ke pemerintah pusat, c.q. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Padahal sebgai penanggung jawab sektor KESDM c.q. Ditjen Mineral dan Batubara memiliki tanggung jawab pula untuk dapat memantau dan mengetahui secara persis posisi tambang-tambang yang ada, agar dapat dioptimalkan pemanfaatannya.
(bersambung)
edpraso
sumber: