Reformasi Iklim Investasi
Senin, 06 Maret 2006, 05:57 WIB Laporan - Oleh: Mohamad Ikhsan Setelah krisis ekonomi, banyak kalangan memperkirakan terjadi deindustrialisasi karena sumbangan sektor industri terhadap PDB secara bertahap menurun. Gejala deindustrialisasi ini dilihat dari beberap fakta. Pertama, gelombang PHK pada industri manufaktur. Kedua, jumlah perusahaan, khususnya industri padat karya, makin berkurang. Padahal, jika dilihat secara aggregat, berdasarkan data Pendapatan Nasional dan analisis kuantitatif menggunakan Tabel Input-Output (I-O), gejala deindustrialisasi itu tidak terjadi. Pangsa manufaktur terhadap PDB justru meningkat. Pada 1997, pangsa industri manufaktur mencapai 25% dari PDB, kemudian meningkat menjadi 27% pada 2000, dan pada 2005 pangsa pasarnya meningkat lagi menjadi 29%. Kenaikan ini disebabkan adanya tambahan kegiatan baru, khususnya teknologi informasi yang yang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, analisis IO juga menunjukkan pangsa industri padat karya terjadi mengalami penurunan dari 16,9% pada 1995 menjadi 13,4% pada 2000. Di antara industri padat karya tersebut, penurunan terbesar terjadi pada industri tekstil dan pakaian jadi yang menurun dari 4,2% menjadi 2,8% pada 2000. Sebaliknya pangsa industri permesinan meningkat dari 16% pada 1995 menjadi 20,8% pada 2000. Deindustrialisasi Pertanyaannya, apakah tren ini merefleksikan pola normal dalam perubahan struktural atau sebaliknya mencerminkan distorsi dalam pasar faktor produksi atau pasar output yang kemudian menimbulkan disalokasi sumber daya. Jika yang terakhir terjadi, peningkatan pangsa sektor manufaktur secara agregat tidak akan berumur panjang. Dalam waktu tidak begitu lama akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, yang kemudian mendorong deindustrialisasi, pada saat proses transformasi belum matang. Fenomena ini dikenal dalam literatur ilmu ekonomi sebagai low equilbrium trap. Keseimbangan jangka panjang (steady state equilibrium) terjadi saat pendapatan per kapita masih rendah. Secara umum, upaya untuk mengatasi gejala deindustrialisasi harus dilakukan secara komprehensif dan simultan yang bertujuan meningkatkan produktivitas dan daya saing industri manufaktur Indonesia di pasar global. Upaya ini dilakukan dengan memastikan perusahaan selalu mengembangkan akses teknologi untuk menghadapi tekanan persaingan global. Perusahaan harus selalu siap berbenah dan berubah mengikuti perkembangan yang ada di pasar global, bahkan harus siap selalu melalukan transformasi dalam siklus produk yang makin pendek dewasa ini. Pengalaman keberhasilan Amerika Serikat, Cina dan India, dan kegagalan Jepang, Eropa belakangan ini, seharusnya menjadi perhatian kita. AS berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi lebih dari ratusan tahun hingga kini – menjadi motor pertumbuhan ekonomi – berkat kemampuannya mempertahankan inovasi teknologi. AS praktis melakukan ini tanpa kebijakan industri. Kalaupun ada dilakukan secara lokal dengan melakukan agglomerasi industri seperti yang terjadi di Silicon Villey atau di Boston. Cina sebaliknya melakukan transformasi industri dengan kebijakan industri –tetapi pada prinsipnya tetap mendorong akselerasi penguasaan teknologi dan tekanan kompetisi - dengan membuka perekonomian domestik kepada foreign direct investment. Sebaliknya, Jepang dan Eropa yang sebelumnya berjaya, kini tertatih-tatih karena keengganan melakukan reformasi mikroekonomi dengan mempertahankan distorsi dan melakukan perubahan secara gradual. Baru belakangan ini proses reformasi di Jepang dan Eropa berlangsung. Kesempatan Berbenah Diri Apa yang harus kita lakukan. Pertama, meningkatkan ekspor dan jumlah eksportir yang merefeksikan peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Langkah kedua, meningkatkan investasi asing. Sebab, investasi asing umumnya disertai transfer teknologi, termasuk cara pengelolaan perusahaan dan pemasaran. Studi terakhir menunjukkan perusahaan asing di Indonesia umumnya memiliki total faktor productivity lebih tinggi dibanding perusahaan lokal. Hal ini sebagian disebabkan kandungan ekspor perusahan asing lebih tinggi, selalu menggunakan input dengan teknologi lebih baru dan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dibanding perusahaan lokal. Studi terakhir ini juga menunjukkan adanya spillover effect. Yang lebih penting lagi adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas perusahaan domestik secara keseluruhan, terutama UKM. Upaya ini dapat dilakukan dengan merestrukturisasi perusahaan domestik - mulai dari sumber pembiayaan yang makin seimbang dengan kebutuhan investasi – dengan mendorong pasar modal, perbaikan dalam penyaluran kredit dengan mengikuti kaidah prudential banking dan tata kelola perusahaan domestik serta upaya mendorong penerapan teknologi tepat guna. Dalam hal ini, peran pemerintah lebih merupakan fungsi fasilitator, misalnya menciptakan lembaga pemeringkat atau sistem informasi kredit atau berbagai fasilitas fiskal untuk mendorong daya tarik pasar modal. Keempat, upaya melanjutkan restrukturisasi BUMN, baik mendorong tekanan kompetisi maupun melakukan privatisasi. Berbagai studi menunjukkan, BUMN umumnya kurang produktif dibandingkan perusahaan swasta. Kelima, perbaikan sumber daya manusia merupakan titik sentral dalam mendorong peningkatan produktivitas secara berkelanjutan. Peran pemerintah relatif menonjol dalam pilar ini, mulai dari pengalokasian anggaran untuk pendidikan dan kesehatan yang lebih tinggi hingga mencapai standar negara Asia Timur, sekitar 7-8 % dari PDB. Saat ini, anggaran pendidikan sekitar 4% dari PDB, dialokasikan untuk meningkatkan standar pendidikan, pelatihan, dan mereformasi secara total balai latihan kerja. Selain itu, pemberian insentif khusus dalam bentuk tax deductable diharapkan dapat meningkatkan kegiatan pelatihan oleh perusahaan, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk meningkatkan produktivitas partner kerjanya terutama untuk UKM. Keenam, perbaikan infrastruktur. Kondisi infrastruktur di Indonesia bukan hanya tidak memadai dari sisi kuantitas, tetapi juga dari sisi kualitas. Akibatnya, banyak sekali komoditas, baik manufaktur maupun primer – terutama produk pertanian yang walaupun memiliki keunggulan komparatif pada tingkat pabrikan atau on farm, menjadi hilang keunggulannya bila diukur pada harga di pelabuhan ekspor. Paket Investasi Perubahan ini dapat dilakukan dengan melakukan reformasi mikroekonomi. Pemerintah dengan mengeluarkan paket lebijakan iklim investasi telah menjawab sebagian persoalan di atas. Pertama, reformasi dalam UU Investasi memberikan kerangka hukum yang lebih kuat terhadap investasi, baik yang dilakukan investor asing atau domestik. UU ini akan dilengkapi dengan peraturan implementasinya untuk mempermudah dan mengurangi biaya berusaha di Indonesia. Kedua, reformasi dalam perpajakan dengan mengurangi tarif pajak dan pemberian insentif fiskal pada industri dan daerah tertentu, yang akan mengurangi biaya berusaha di Indonesia. Paket pajak baru juga memberikan ruang bagi perusahaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bagian ketiga dari paket ini adalah upaya menurunkan biaya logistik untuk memperlancar arus barang dari pabrik hingga ke pelabuhan. Studi LPEM menunjukkan terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara biaya logistik di Indonesia dan negara pesaing. Yang sangat penting adalah reformasi dalam pasar ketenagakerjaan. Bank Dunia baru saja mengeluarkan indeks kekakuan pasar tenaga kerja di dunia. Indeks tersebut menunjukkan tingkat kekakuan pasar tenaga kerja di Indonesia meningkat dan tergolong salah satu yang paling kaku di dunia. Hal ini konsisten dengan gejala deindustrialisasi dalam industri padat karya. Oleh karena itu paket di bidang tenaga kerja difokuskan untuk membenahi hal itu, (i) mengembalikan besar uang pesangon pada tingkat yang rasional dan kompetitif; (ii) mengizinkan proses outsourcing untuk mendorong kemitraan perusahaan besar dan UKM; (iii) memperpanjang masa kontrak kerja yang memungkinkan perusahaan mencari bentuk yang lebih permanen sebelum memastikan hubungan yang permanen dengan pekerjanya; (iv) mengembalikan proses penentuan upah secara bipatrit; (v) mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja dengan mempermudah usaha pelatihan pekerja. Paket kebijakan ini dilengkapi dengan paket kebijakan lain yaitu percepatan pembangunan infrastruktur dengan mendorong partisipasi sektor swasta. Kebijakan pembangunan infrastruktur ini memungkinkan pemerintah melakukan konsentrasi dalam pembangunan infrastruktur dasar. Tujuan pembangunan infrastruktur dasar adalah menfasilitasi terbangunnya kegiatan ekonomi dalam bidang infrastruktur dan juga membuka isolasi daerah terpencil yang umumnya berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan Terakhir pemerintah sedang mempersiapkan paket kebijakan lainnya dalam pembangunan sektor finansial. Tujuannya adalah menurunkan biaya modal dan akses terhadap pembiayaan serta memperkuat ketahanan dan efisiensi sektor finansial. Paket ini diharapkan akan segera dituntaskan dalam waktu tidak terlalu lama. (*) |