Ratifikasi Kyoto Protocol Tidak Berdampak pada Industri Batubara

Dalam kajian yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bekerja sama dengan Pusat Informasi Energi DESDM terungkap bahwa ratifikasi terhadap Kyoto Protocol tidak akan berdampak signifikan pada ekonomi makro termasuk sektor batubara. Hal tersebut terungkap dalam presentasi kajian mengenai Analisis Dampak Kyoto Protocol terhadap Sektor Energi Indonesia di Hotel Arya Duta Jakarta tanggal 7 April 2004 kemarin. Selama ini memang ada semacam kekhawatiran dari sektor energi bahwa bila Indonesia ikut meratifikasi Kyoto Protocol akan berpengaruh pada penurunan kinerja sektor energi. Khususnya sektor batubara.

Indonesia sampai saat ini memang belum meratifikasi Kyoto Protocol, walaupun turut berpartisipasi pada ratifikasi United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 1994. Sebagaimana diketahui Protokol Kyoto merupakan tindak lanjut kesepakatan UNFCCC yang dihasilkan awal tahun 1990, di mana Indonesia ikut menandatangani. Kesepakatan ini terjadi karena ketakutan dunia pada perubahan iklim global akibat emisi gas rumah kaca (GRK), yang akan mempengaruhi siklus cuaca dan kenaikan muka air laut.

Sektor Energi memiliki kontributor emisi terbesar, yaitu sebesar 55-77% terdiri dari industri energi, pengolahan, transportasi dan rumah tangga/komersial. Padahal dengan meratifikasi Kyoto Protocol Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan proyek Clean DEvelopment Mechanism (CDM) dengan potensi 125-300 juta ton CO2 setara dengan US$ 81,5-1.260 selama lima tahun.

Analisis Ekonomi

Kajian melakukan analisis data produksi dan konsumsi di wilayah Asia untuk berbagai jenis energi termasuk minyak bumi, batubara, dan gas bumi serta pembangkit listrik dengan data APERC 2002, analisis CDM dan permasalahannya. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan analisis tabel Input-Output Model Leontief. Terungkap beberapa hasil antara lain bahwa negara pengekspor minyak bumi di wilayah APEC sepert Indonesia, malaysia dan PNG akan menjadi negara pengimpor pada tahun 2010-2020.

Gas akan tetap sebagai  sumber energi yang berkembang paling cepat di wilayah APEC  dengan laju permintaan sebesar 2,6% per tahun. Dari hitungan Ratio reserves to production (R/P) cadangan gas akan dapat memenuhi kebutuhan sampai 61 tahun sejak 2001. Selanjutnya untuk di Indonesia, batubara Indonesia tumbuh paling cepat dibandingkan jenis energi lain sebesar 4.1% per tahun sampai 2020.

Hasil Simulasi

Ada dua simulasi yang dikembangkan. Simulasi pertama  menunjukkan bahwa Kyoto protocol tidak memberikan dampak internal pada perekonomian domestik karena sebagai negara Non Aneex I Indonesia tidak diwajibkan untuk mengurangi emisi GRK. Dampak eksternal terhadap perekonomian domestik juga tidak signifikan karena data APERC tetap menunjukkan peningkatan permintaan untuk berbagai jenis energi.

Simulasi kedua dengan memasukkan faktor dampak lingkungan terdapat dampak yang sangat kecil pada perekonomian domestik berupa permintaan batubara sedikit terpengaruh. Ekspor berkurang akibat shrinking market sebesar 3,8%. Permintaan ekspor gas sedikit naik sebesar 2.6%.  Total pengaruh pada PDB akibat kedua hal ini adalah sebesar 0.045% dan pada income sebesar -0.029. Atau tidak signifikan.

 Posisi Protocol Kyoto dalam perjalanan mencapai pemberlakuan di mana sebagian kriteria sudah dicapai, yaitu lebih dari 55 negara meratifikasi (31 negara maju dan 72 negara berkembang). Kriteria lainnya, emisi GRK harus sama dengan atau lebih dari 55 persen, sementara status saat ini 43,9 persen. Bila Rusia dengan total emisi 17,4 persen meratifikasi, semua persyaratan terpenuhi dan Protokol Kyoto secara resmi akan berlaku meskipun Amerika Serikat tidak meratifikasi. Indonesia sendiri belum meratifikasi.

Sebagai negara Non-Annex I,ratifikasi Kyoto Protocol oleh Indonesia tidak berdampak pada berlakuu atau tidaknya Kyoto Protocol, dan sebagai negara Non-Annex I Indonesia tidak terikat pada keharusan pengurangan emisi GRK. Ratifikasi ini sebagai terungkap dalam diskusi dalam pertemuan ini akan lebih bermakna politis dan sebagai bentuk partisipasi Indonesia sebagai negara berkembang yang belum meratifikasi, padahal negara lains eperti Philipina dan Malaysia sudah meratifikasi. Masalahnya adalah proses ratifikasi tersebut perlu mandapat pembahasan di DPR-RI terlebih dahulu, saat ini konon masih dalam pembahasan, namun dengan melihat kesibukan para anggota DPR saat ini dalam menghadapi PEMILU, peserta presentasi pesimis bahwa ratifikasi Indonesia akan selesai tahun 2004 (edpras).

 

sumber: