RAPBN 2005 Beri Keleluasaan Pemerintah Baru
Asumsi Makro Ekonomi Pemerintah Terlalu Berani
JAKARTA - Suara Pembaruan,
"Paling tidak ada ruang bagi pemerintah akan datang untuk menekankan atau menggarisbawahi prioritas-prioritas baru," ujar Menteri Keuangan Boediono, pada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional yang digelar di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Selasa (20/4).
Keleluasaan yang dimaksud Menkeu adalah dalam bidang harga bahan bakar minyak (BBM), penerimaan negara atas pajak, peninjauan kembali pembiayaan modal, percepatan penyelesaian proyek, effesiensi dan penghematan, serta peningkatan investasi.
Dalam penjelasannya, Menkeu mengatakan, pemerintah saat ini tengah menyusun RAPBN 2005. Sesuai Undang-Undang nomor 17 tahun 2003, pemerintah wajib menyusun dan menyerahkan APBN pada Agustus tahun berjalan untuk APBN berikutnya.
"Persoalannya sekarang, pada bagian akhir masa bakti pemerintah sekarang ini akan ada pemerintah baru hasil pemilu, yang nantinya bisa mempunyai prioritas yang berbeda dengan pemerintah yang sedang berjalan. Karena itulah keunikan ini yang kita tampung dalam menyusun RAPBN 2005," ujar Menkeu.
Disusunnya RAPBN 2005 pada pemerintahan yang sekarang ini, bukan berarti pemerintah baru nanti tidak dapat memasukkan prioritas mereka, Menkeu mengatakan, pemerintah baru berhak memasukkan prioritas mereka ke dalam RAPBN 2005 dan hak mereka juga bila ingin melakukan perombakan dalam RAPBN 2005.
Namun, implikasinya adalah kebutuhan dana yang baru. Karena itulah, pemerintah yang ada sekarang memberikan ruang atau keleluasaan bagi pemerintah baru untuk memasukkan prioritas mereka ke dalam RAPBN 2005, namun sesuai dengan kondisi keuangan yang ada sekarang ini.
Misalnya, dari segi BBM, pemerintah yang ada saat ini masih memberikan subsidi. Bila pemerintah baru hasil pemilu menghilangkan subsidi BBM, artinya uang dalam jumlah puluhan triliun rupiah dapat dijadikan dana bagi prioritas program pemerintah baru.
"Kalau pemerintah baru ingin mendapatkan dana dengan prioritas baru, tentunya bisa dilakukan dengan cara menghilangkan subsidi. Subsidi BBM tahun ini mencapai puluhan triliun, karena harga minyak di luar melonjak, sementara untuk menjaga kestabilan harga dalam negeri dipatok," kata Menkeu.
Sebelumnya diberitakan bahwa Menkeu juga menyebutkan asumsi dasar bagi perhitungan RABPN 2005, yakni untuk pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen sampai 5,5 persen. Suku bunga, sebesar tujuh persen, kurs diperkirakan sekitar Rp 8.400 - Rp 8.750 per dolar AS. Harga minyak sebanyak US$ 2 hingga US$ 24 per barel, dan produksi minyak asumsinya 1,1 juta barel per hari.
Potensi Pajak
Sementara itu, Kepala Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu, mengatakan kepada wartawan usai acara tersebut, bila Undang-Undang Pajak yang baru diterapkan pada 2006, penerimaan pajak memang memiliki potensi untuk naik sekitar Rp 30 triliun per tahun dari penerimaan pajak yang ada sekarang ini sebesar Rp 20 triliun per tahun. Penerimaan pajak itu bisa naik dengan catatan Undang-Undang Pajak itu dapat segera diterapkan dan dilakukan perbaikan administrasi.
Bila Undang-Undang Pajak lambat diterapkan, termasuk perbaikan administasi belum dapat dilakukan maka akan terjadi penurunan penerimaan sekitar Rp 3 triliun sampai Rp 4 triliun.
Karena itu, kompensasi yang dicari adalah penambahan wajib pajak (WP) dan peningkatan kepatuhan WP. Penambahan WP itu, dengan cara melakukan perbaikan administrasi agar semua pihak dapat memberikan informasi tentang latar belakang WP untuk dijadikan data base.
Selain itu, WP yang tidak punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) akan dikenakan denda sebesar 150 persen dari tarif pajak mereka. Dengan Undang-Undang baru, ujar Anggito, WP yang tidak punyak NPWP harus bayar lebih tinggi.
Terlalu Berani
Di tempat terpisah, ekonom dan staf ahli direksi Bank Mandiri, Martin Panggabean mengatakan, perkiraan asumsi makro ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah dinilai terlalu berani. Khususnya perkiraan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan pada level tujuh persen, serta inflasi pada kisaran
Martin Panggabean mengatakan, tindakan terlalu berani dari pemerintah tersebut disebabkan penyusunan asumsi makro ekonomi hanya dijadikan patokan dalam penyusunan anggaran. "Secara keseluruhan asumsi pemerintah itu dipakai untuk kebutuhan menyusun anggaran, di mana hasilnya mau diarahkan menjadi surplus atau defisit," kata Martin.
Menurut dia, peluang meleset dari perkiraan indikator sangat besar, seperti yang terjadi pada tahun 2003 lalu di mana pada awal bulan Januari -Februari, BI memperkirakan inflasi sekitar sembilan persen, tetapi kenyataannya prediksi tersebut jauh di bawah perkiraan, dan inflasi hanya 5,1 persen
sumber: