Rampokisasi Pertambangan
Â
Senin, 13 Maret 2006, 03:12 WIB
Rampokisasi Pertambangan
Laporan -
Oleh: Revrisond Baswir*)
Berbagai kemelut pertambangan yang terjadi belakangan ini tidak dapat dilihat sebagai peristiwa yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Kemelut pertambangan seperti di Freeport, Blok Cepu, PT Newmont Indonesia, dan PT Semen Gresik Group (SGG) berkaitan pula dengan kemelut serupa yang terjadi di sektor pertambangan dan energi dalam arti luas.
Secara umum, kemelut tersebut tidak mungkin dapat dipisahkan dari dua hal sebagai berikut. Pertama, pada tingkat kebijakan. Kemelut pertambangan itu tidak mungkin dapat dipisahkan dari liberalisasi besar-besaran sektor pertambangan dan energi di Indonesia.
Selain terbukti bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, kebijakan tersebut mustahil dapat dipisahkan dari intervensi Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan United Sates Agency for International Development (USAID), dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Kedua, pada tingkat operasional. Kemelut pertambangan itu tidak dapat dipisahkan dari ekspansi besar-besaran korporasi pertambangan multinasional ke sektor pertambangan dan energi di Indonesia.
Karena ekspansi itu berlangsung secara membabi buta, menjadi mudah dipahami bila hal itu cenderung memicu terjadinya benturan kepentingan. Benturan terutama dengan kelompok masyarakat yang menentang dan merasa dirugikan oleh perkembangan itu.
Gambaran singkat mengenai keterkaitan kemelut pertambangan dengan liberalisasi sektor pertambangan dan energi di Indonesia, dapat ditelusuri dengan menyimak kemelut sektor kelistrikan dan sektor migas berikut.
Melalui penerbitan UU No 20 Tahun 2002, yang rancangannya dibuatkan oleh ADB, pemerintah bermaksud meliberalkan sektor kelistrikan. Pemerintah lantas mengundang keikutsertaan korporasi listrik multinasional dalam penyelenggaraan sektor kelistrikan di Indonesia.
Namun, menyusul diajukannya UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Serikat Pekerja PT PLN, MK secara tegas memutuskan untuk membatalkan UU itu. Menurut MK, UU No 20 Tahun 2002 secara jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya, melalui penerbitan UU No. 22 Tahun 2001, yang rancangannya dibuatkan oleh USAID, pemerintah bermaksud meliberalkan sektor migas dan mengundang masuknya korporasi migas multinasional ke sektor hulu dan hilir migas di Indonesia.
Namun, Serikat Pekerja PT Pertamina mengajukan keberatan atas UU itu ke MK. Meski tidak sedrastis yang dialami oleh UU No 20 Tahun 2002, MK secara tegas membatalkan beberapa pasal yang terdapat dalam UU No 22 Tahun 2001. Menurut MK, sesuai amanat pasal 33 UUD 1945, harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dapat diserahkan ke mekanisme pasar.
Belajar dari kedua kasus tersebut, dapat disaksikan betapa kemelut pertambangan yang terjadi belakangan ini, mustahil dapat dipisahkan dari berlangsungnya proses sistematis untuk merombak dan menguasai ekonomi Indonesia. Kemelut itu juga terkait intervensi kuasa modal internasional dalam penyelenggaraan sektor pertambangan dan energi di Indonesia.
Artinya, jangankan sebagai peristiwa yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain, kemelut pertambangan seperti terjadi di Freeport, Blok Cepu, PT Newmont Indonesia, dan PT SGG, sama sekali tidak mencukupi bila hanya dilihat sebagai peristiwa yang berdimensi lokal atau nasional. Kemelut serupa juga dialami oleh banyak negara dunia ketiga lainnya meski corak dan intensitas yang terjadi cenderung berbeda-beda. Berbagai kemelut itu hanya dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh bila dilihat sebagai bagian dari suatu rangkaian peristiwa yang berdimensi internasional dan global. Gambaran singkat mengenai dimensi internasional dan global kemelut pertambangan itu dapat ditelusuri dengan menyimak beberapa fakta sebagai berikut.
Saya kira bukan sebuah kebetulan bila Freeport dan ExxonMobile yang berseteru dengan Pertamina di Blok Cepu, dan PT Newmont Indonesia, sama-sama berasal dari Amerika. Demikian halnya dengan USAID. Lembaga penyandang dana yang menyusun rancangan UU No 22 Tahun 2001 ini, adalah bagian integral dari departemen luar negeri Amerika.
Sedangkan ADB, walaupun sebagian besar modalnya dimiliki oleh Jepang, bank internasional yang menyusun rancangan UU No 21 Tahun 2002 ini sesungguhnya tidak lebih dari adik kandung IMF dan Bank Dunia, yang sama-sama dikendalikan Amerika.
Bagaimana halnya dengan Cemex SA de CV? Perusahaan semen terbesar ketiga di dunia ini, secara resmi memang berasal dari Meksico. Namun pemilik perusahaannya, Lorenzo Zambrano, dikenal sebagai sesorang yang memiliki hubungan cukup dekat dengan Presiden AS George W Bush.
Kesimpulannya cukup jelas. Kemelut-kemelut pertambangan yang terjadi belakangan ini, baik yang terjadi di Freeport, Blok Cepu, PT Newmont Indonesia, maupun di PT SGG, secara jelas merujuk pada imperialisme Amerika.
Sebagai ekspresi dari upaya Amerika dalam menguasai dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari sumberdaya dunia, aneka kemelut itu sesungguhnya tidak hanya berdimensi global dan internasional. Kemelut pertambangan tersebut wajib dipahami sebagai bagian dari suatu paket besar penyebarluasan perangkap utang dan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di Indonesia.
Dengan latar belakang seperti itu, penyelesaian kemelut pertambangan sebenarnya sangat sederhana. Kata kuncinya terletak pada adanya keberanian untuk bersikap tegas terhadap pokok dan sumber masalahnya. Tanpa itu, walaupun penyelesaian kemelut tersebut tampak berlarut-larut, kemenangan dapat dipastikan akan tetap berpihak ke Amerika. Pertanyaannya, siapa yang berani menjadi Chavez, Morales, atau Ahmadinejad Indonesia?
*) Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM, Yogyakarta
sumber: