Pungutan Pemkab pasir bebani pengusaha tambang

Pungutan Pemkab pasir bebani pengusaha tambang

Bisnis, 20 Februri 2006

JAKARTA: Pemerintah Kabupaten Pasir, Kaltim diketahui memberlakukan pola pungutan sumbangan pihak ketiga (SP3) kepada perusahaan pertambangan yang memiliki kuasa pengusahaan batu bara di wilayah setempat mulai 2006. Kebijakan ini dikeluhkan pengusaha batu bara.

Pungutan yang diperhitungkan mencapai 5,7% dari total produksi batu bara perusahaan itu harus disetorkan ke pemerintah daerah selama lima tahun pertama dan akan dikaji ulang selanjutnya setiap tahun untuk menilai kelayakan kinerja perusahaan terkait.

Dalam salinan dokumen surat pernyataan tentang sumbangan pihak ketiga kepada daerah Kabupaten Pasir, aturan tersebut harus disepakati perusahaan batu bara, baik PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) maupun KP (Kuasa Pertambangan), sebelum memperoleh izin usaha pertambangan di lokasi setempat.

"Pihak perusahaan memberikan sumbangan kepada pemerintah Kabupaten Pasir berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan jalan perusahaan serta fasilitas lainnya," tulis salah satu pasal dalam surat pernyataan tersebut.

Besaran pungutan tersebut diperinci a.l. izin pembangunan jalan perusahaan dan fasilitas lainnya Rp100 per meter persegi, izin pengelolaan jalan perusahaan Rp600.000 per kilometer, dan pungutan pada saat produksi sebesar 4,5% total nilai produksi.

Selain itu, pemerintah daerah setempat juga mengenakan pungutan terhadap penumpukan komoditas (stock pile) sebesar Rp1.000 per ton, bongkar muat Rp1.000 per ton, dan tambat labuh kapal di pelabuhan setempat Rp250 per gross ton setiap hari.

Disinsentif

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Batu bara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono menyatakan inisiatif pemerintah daerah tersebut dinilai disinsentif terhadap industri pertambangan.

Untuk itu mengantisipasi hal tersebut, asosiasi terkait diketahui telah mengirimkan surat kepada Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Simon Felix Sembiring.

"Memperhatikan inisiatif seperti ini, kami mohon agar bapak Dirjen dapat memfasilitasi pemerintah daerah untuk tidak men-discourage investasi dunia pertambangan batu bara," tulisnya dalam surat tertanggal 13 Januari 2006.

Jeffrey memaparkan dengan beban pungutan yang diperhitungkan dalam ketentuan Pemkab Pasir tersebut, beban tambahan industri batu bara bisa mencapai 5,7% dari total harga jual produksi batu bara atau setara dengan royalti ke pemerintah.

Dia mencontohkan bila rata-rata tambat labuh membutuhkan waktu empat hari, maka seluruh pungutan mencapai Rp3.000 per ton. Dengan asumsi harga jual US$27 per ton dan nilai tukar Rp9.500 per dolar AS, maka pungutan tersebut setara dengan 1,2% dari harga jual.

Apalagi, lanjutnya, pemda juga meminta sumbangan sebesar 4,5% dari total nilai produksi batu bara perusahaan.

Menanggapi persoalan tersebut, Kepala Bidang Investasi dan Logistik pada Ditjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi pada Departemen ESDM M. Marpaung menyatakan model pungutan dengan permintaan sumbangan tersebut sudah tidak boleh dipraktikkan lagi.

"Dengan adanya otonomi daerah, pemda kan memang boleh mengenakan pajak untuk PAD. Tetapi kalau sumbangan, itu kan sudah lama tidak boleh," tukasnya

sumber: