Pungli di Ditjen Bea Cukai Mencapai Rp 7 Triliun

Survei Bank Dunia dan LPEM-UI
Pungli di Ditjen Bea Cukai Mencapai Rp 7 Triliun

 

Kompas, 27 Juni 2005

 

Jakarta, Kompas - Hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Universitas Indonesia dan Bank Dunia menyebutkan, pungutan liar yang harus dibayar pengusaha kepada aparat Bea dan Cukai diperkirakan mencapai 800 juta dollar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 7 triliun.

Angka itu setara dengan 2,3 persen dari nilai impor yang mereka lakukan pada tahun 2004. Dana sekitar Rp 7 triliun itu dibayarkan oleh 82 persen dari 600 responden yang terdiri atas pengusaha kecil hingga besar.

�Survei yang kami lakukan berdasarkan atas fakta, bukan persepsi. Pengusaha yang menjadi responden kami menyebutkan lembaga yang paling korup adalah Bea dan Cukai. Itu pengakuan mereka,� kata Staf Ahli Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus peneliti LPEM- UI Chatib Basri seusai acara Pertemuan Kelompok Kerja Iklim Investasi di Jakarta hari Jumat (24/6).

Chatib menyebutkan, dari 82 persen pengusaha yang harus membayar �dana informal� itu, sebanyak 39 persen di antaranya mengaku membayar sewaktu-waktu saja, sedangkan 43 persen lainnya membayar secara terus-menerus.

Dengan nilai impor nonmigas tahun 2004 yang mencapai 35 miliar dollar AS, jumlah pungutan liar di Bea Cukai mencapai 800 juta dollar AS.

�Dari fakta itu, kami merekomendasikan bahwa masalah bea cukai ini merupakan bagian yang harus diselesaikan sesegera mungkin,� kata Chatib.

Survei yang dilakukan sejak April hingga awal Juni 2005 tersebut dilaksanakan oleh LPEM-UI dengan dukungan dana dari Bank Dunia dan Pemerintah Belanda. Survei ini dilakukan di lima kawasan, yakni Jabotabek, Surabaya, Medan, Semarang, dan Makassar. Kelima daerah ini dinilai sebagai lima kawasan bisnis tersibuk di Indonesia.

Pengurusan dokumen

Chatib menyebutkan, waktu pengurusan dokumen di Bea Cukai dinilai masih terlalu lama karena memerlukan waktu enam hari. Padahal, waktu normal yang diperlukan pengusaha adalah 1-3 hari saja. Kondisi itu masih sama dengan hasil survei Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) tahun 2003.

�Saya mau mengatakan, inefisiensi masih terjadi di Ditjen Bea Cukai dan Pajak. Di pajak sendiri terdapat 57 persen responden yang mengatakan harus membayar biaya-biaya informal untuk bernegosiasi dengan aparat pajak pada saat mengurus pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN). Mereka rata-rata harus menunggu lima bulan untuk mengurus pembayaran PPN itu. Itu pun hanya 87 persen dari yang diklaim," kata Chatib.

Survei yang dilakukan Japan International Cooperation Agency (JICA) berjudul The Study on Trade Related Systems and Procedures in Indonesia 2005 menyebutkan, proses penyelesaian impor dan ekspor, terutama pengangkutan kontainer dari terminal ke kapal, pengirim atau sebaliknya di Tanjung Priok, Jakarta, dibutuhkan waktu selama tujuh hari. Di Jepang sendiri hanya membutuhkan waktu 3,1 hari, Jerman dua hari, Amerika Serikat dua hari, dan Singapura satu hari.

Adapun hasil survei yang dilakukan Bank Dunia berjudul Doing Business in 2005 menyebutkan, waktu yang diperlukan untuk segera membuka usaha di Indonesia dinilai masih terlalu lama, yakni 80 hari. Hal itu menunjukkan adanya kemajuan karena dalam survei Bank Dunia sebelumnya disebutkan bahwa untuk memulai usaha di Indonesia perlu 151 hari.

�Meskipun ada kemajuan menjadi 80 hari, namun masih terlalu lama dibandingkan dengan waktu pengurusan izin investasi di Vietnam yang hanya membutuhkan 56 hari, di Filipina (50 hari), China (41 hari), Thailand (33 hari), Malaysia (30 hari), Singapura (8 hari), dan Australia (2 hari),� kata Chatib.

Perbaikan

Menanggapi berbagai permasalahan itu, Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie menegaskan, pemerintah akan melakukan berbagai langkah perbaikan di Ditjen Bea Cukai dan Pajak. Perbaikan itu dilakukan mulai dari atas (eselon tertinggi) hingga ke bawah.

�Kami sampaikan kepada Bank Dunia dan negara donor bahwa pemerintah akan menjamin kebijakan yang lebih terbuka dan penyelesaian urusan investasi secara cepat. Apalagi kunjungan pertama Presiden dulu adalah ke (Ditjen) Bea Cukai dan (Ditjen) Pajak,' kata Aburizal.

Klarifikasi

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Eddy Abdurrahman mengatakan, pihaknya akan mengklarifikasi kepada LPEM UI dan Bank Dunia mengenai temuan tersebut. "Bagaimana metodologinya dan sampai pada angka Rp 7 triliun," kata Eddy.

Eddy menambahkan, survei atau analisis-analisis itu yang bersifat menggenalisasi juga pernah muncul untuk Direktorat Jenderal Pajak. Misalnya, pajak yang harus dibayar Rp 100 juta. Lalu, disinyalir pajak yang dibayar hanya Rp 50 juta. "Sisa yang tidak dibayar dikalikan dengan jumlah wajib pajak," katanya.

Menurut Eddy, upaya pemberantasan pungutan liar harus didukung pengguna jasa untuk tidak memberi sesuatu kepada oknum aparat Bea dan Cukai. "Pengguna jasa juga harus menolak jika diminta sesuatu oleh oknum Bea Cukai," katanya.

Jika pengguna jasa dipersulit atau dihambat oleh oknum Bea Cukai karena tidak memberi sesuatu kepada oknum Bea Cukai, menurut Eddy, pengguna jasa sebaiknya melapor. "Lapor saja langsung kepada saya, kejadiannya di mana, kapan, dan terkait dengan masalah apa," katanya.

sumber: