Pulau Sumatra Terancam Dua Gempa dan Tsunami

Pulau Sumatra Terancam Dua Gempa dan Tsunami

 

PARIS (AFP): Pulau Sumatra yang diguncang gempa bumi dan disapu tsunami dahsyat dalam enam bulan terakhir, kembali terancam dua gempa hebat lainnya. Salah satunya akan menciptakan gelombang laut setinggi 10 meter, demikian peringatan sebuah tim beranggotakan sejumlah seismolog, kemarin.

Tim riset yang dipimpin oleh pakar yang sama pernah memprediksi dengan sangat akurat akan terjadi gempa bumi di Sumatra (gempa Nias) 28 Maret, tiga bulan setelah terjangan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember.

Mereka khawatir gempa berikutnya bisa mencapai 7,5 sampai 9 skala Richter. Jika itu terjadi, mereka memperkirakan kota-kota di sepanjang pantai barat Sumatra akan disapu tsunami yang ditimbulkan gempa tersebut.

"Saya kira, sungguh tidak bertanggung jawab bila para pejabat yang bertugas mempersiapkan warga di kawasan ini mengabaikan kemungkinan akan terjadi gempa bumi tahun ini," kata Profesor John McCloskey, pakar lingkungan dari Universitas Ulster, Inggris, salah satu anggota tim tersebut.

Penelitian yang dilakukan tim itu mengacu pada bentuk seismik Sumatra dengan mengingat dua gempa kuat terakhir, yang dipusatkan pada dua jalur patahan yang paling besar. Satu patahan memanjang di atas lapisan di bawah sisi barat Sumatra dan memiliki gesekan menyamping, dengan satu sisi menuju barat laut dan sisi lainnya bergerak ke tenggara.

Tekanan pada patahan Sumatra ini, khususnya di barat laut, di wilayah Banda Aceh, masih tetap tinggi, kata para peneliti tersebut.

"Ancaman gempa sebesar 7,0-7,5 di patahan Sumatra di utara empat derajat utara (garis ekuator) belum mereda," kata mereka dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature itu.

Irisan Sunda

Namun, ancaman yang lebih besar datang dari garis patahan kedua, yang disebut irisan Sunda, yaitu retakan dasar laut yang memanjang sekitar 200 kilometer menuju barat Sumatra.

Wilayah ini memiliki sifat yang berbeda dan lebih berbahaya ketimbang patahan Sumatra. Pasalnya, wilayah ini memiliki gerakan vertikal, yang berpotensi memicu gelombang raksasa dengan mendesak bagian-bagian dasar laut tersebut ke atas. Area ini terletak di kawasan yang disebut megathrust (dorongan raksasa), yakni lempeng Australia bergerak di bawah lempeng Eurasia menuju ke timur laut.

Irisan Sunda telah menjadi pusat aktivitas seismik selama berabad-abad lamanya.

Sebagian wilayah utaranya, yang menyambung dengan lempeng Burma, lempeng kecil yang berbentuk seperti lidah, merupakan episentrum gempa 26 Desember 2004 lalu, yang kekuatannya mencapai 9,3 pada skala Richter. Ini merupakan gempa terbesar kedua di dunia yang pernah tercatat. Dasar samudra tersebut retak sepanjang 1.200 kilometer, sehingga menciptakan gelombang yang menewaskan 217.000 orang di seluruh lingkaran Samudra Hindia.

Efek Domino

Peristiwa raksasa tersebut menciptakan efek domino, yaitu memberikan tekanan terus ke selatan. Pada 28 Maret, sekitar 160 kilometer ke selatan, gempa berkekuatan 8,7 skala Richter mengguncang Pulau Nias dan menewaskan lebih dari 900 orang.

Sebaliknya, gempa ini juga menciptakan titik baru yang sangat rentan sekitar 500-600 kilometer ke arah selatan di bawah kepulauan Mentawai, antara 0,7 dan 5,5 derajat ke selatan ekuator, demikian menurut hasil model yang ditunjukkan oleh komputer.

Kepulauan Mentawai rata-rata menghasilkan gempa sangat kuat sekali setiap 230 tahun, kata tim Profesor John itu. Gempa kuat terakhir di wilayah selatan bagian ini terjadi pada 1833, sebesar 8,5 skala Richter yang menciptakan gelombang tsunami sampai 10 meter tingginya.

Di bagian utara wilayah ini, tidak lagi terjadi gempa besar sejak 1797, ketika terjadi slip (penurunan) kecil hanya beberapa meter di bawah Pulau Siberut.

"Slip di bagian utara wilayah ini bisa lebih dari 10 meter besarnya tergantung pada waktu terjadinya retakan terakhir, dan slip di sisi utara besarnya bisa sama dengan yang terjadi pada 1833," kata para peneliti tersebut.

Kapan peristiwa ini akan terjadi? Tim peneliti pimpinan Profesor John tersebut tidak bisa memastikannya. Namun, dia memperkirakan waktunya tidak lama lagi mengingat kencangnya desakan-desakan di wilayah yang sangat padat ini dalam beberapa waktu belakangan ini.

Dia memberi catatan, perubahan kecil dua menit pada tekanan, dari sepersepuluh atmosfer cukup untuk menciptakan peristiwa 26 Desember dan 28 Maret. "Saya tidak terkejut bila gempa (di bawah kepulauan Mentawai) ini terjadi dalam waktu setahun ini," katanya.(


PARIS (AFP): Pulau Sumatra yang diguncang gempa bumi dan disapu tsunami dahsyat dalam enam bulan terakhir, kembali terancam dua gempa hebat lainnya. Salah satunya akan menciptakan gelombang laut setinggi 10 meter, demikian peringatan sebuah tim beranggotakan sejumlah seismolog, kemarin.

Tim riset yang dipimpin oleh pakar yang sama pernah memprediksi dengan sangat akurat akan terjadi gempa bumi di Sumatra (gempa Nias) 28 Maret, tiga bulan setelah terjangan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember.

Mereka khawatir gempa berikutnya bisa mencapai 7,5 sampai 9 skala Richter. Jika itu terjadi, mereka memperkirakan kota-kota di sepanjang pantai barat Sumatra akan disapu tsunami yang ditimbulkan gempa tersebut.

"Saya kira, sungguh tidak bertanggung jawab bila para pejabat yang bertugas mempersiapkan warga di kawasan ini mengabaikan kemungkinan akan terjadi gempa bumi tahun ini," kata Profesor John McCloskey, pakar lingkungan dari Universitas Ulster, Inggris, salah satu anggota tim tersebut.

Penelitian yang dilakukan tim itu mengacu pada bentuk seismik Sumatra dengan mengingat dua gempa kuat terakhir, yang dipusatkan pada dua jalur patahan yang paling besar. Satu patahan memanjang di atas lapisan di bawah sisi barat Sumatra dan memiliki gesekan menyamping, dengan satu sisi menuju barat laut dan sisi lainnya bergerak ke tenggara.

Tekanan pada patahan Sumatra ini, khususnya di barat laut, di wilayah Banda Aceh, masih tetap tinggi, kata para peneliti tersebut.

"Ancaman gempa sebesar 7,0-7,5 di patahan Sumatra di utara empat derajat utara (garis ekuator) belum mereda," kata mereka dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature itu.

Irisan Sunda

Namun, ancaman yang lebih besar datang dari garis patahan kedua, yang disebut irisan Sunda, yaitu retakan dasar laut yang memanjang sekitar 200 kilometer menuju barat Sumatra.

Wilayah ini memiliki sifat yang berbeda dan lebih berbahaya ketimbang patahan Sumatra. Pasalnya, wilayah ini memiliki gerakan vertikal, yang berpotensi memicu gelombang raksasa dengan mendesak bagian-bagian dasar laut tersebut ke atas. Area ini terletak di kawasan yang disebut megathrust (dorongan raksasa), yakni lempeng Australia bergerak di bawah lempeng Eurasia menuju ke timur laut.

Irisan Sunda telah menjadi pusat aktivitas seismik selama berabad-abad lamanya.

Sebagian wilayah utaranya, yang menyambung dengan lempeng Burma, lempeng kecil yang berbentuk seperti lidah, merupakan episentrum gempa 26 Desember 2004 lalu, yang kekuatannya mencapai 9,3 pada skala Richter. Ini merupakan gempa terbesar kedua di dunia yang pernah tercatat. Dasar samudra tersebut retak sepanjang 1.200 kilometer, sehingga menciptakan gelombang yang menewaskan 217.000 orang di seluruh lingkaran Samudra Hindia.

Efek Domino

Peristiwa raksasa tersebut menciptakan efek domino, yaitu memberikan tekanan terus ke selatan. Pada 28 Maret, sekitar 160 kilometer ke selatan, gempa berkekuatan 8,7 skala Richter mengguncang Pulau Nias dan menewaskan lebih dari 900 orang.

Sebaliknya, gempa ini juga menciptakan titik baru yang sangat rentan sekitar 500-600 kilometer ke arah selatan di bawah kepulauan Mentawai, antara 0,7 dan 5,5 derajat ke selatan ekuator, demikian menurut hasil model yang ditunjukkan oleh komputer.

Kepulauan Mentawai rata-rata menghasilkan gempa sangat kuat sekali setiap 230 tahun, kata tim Profesor John itu. Gempa kuat terakhir di wilayah selatan bagian ini terjadi pada 1833, sebesar 8,5 skala Richter yang menciptakan gelombang tsunami sampai 10 meter tingginya.

Di bagian utara wilayah ini, tidak lagi terjadi gempa besar sejak 1797, ketika terjadi slip (penurunan) kecil hanya beberapa meter di bawah Pulau Siberut.

"Slip di bagian utara wilayah ini bisa lebih dari 10 meter besarnya tergantung pada waktu terjadinya retakan terakhir, dan slip di sisi utara besarnya bisa sama dengan yang terjadi pada 1833," kata para peneliti tersebut.

Kapan peristiwa ini akan terjadi? Tim peneliti pimpinan Profesor John tersebut tidak bisa memastikannya. Namun, dia memperkirakan waktunya tidak lama lagi mengingat kencangnya desakan-desakan di wilayah yang sangat padat ini dalam beberapa waktu belakangan ini.

Dia memberi catatan, perubahan kecil dua menit pada tekanan, dari sepersepuluh atmosfer cukup untuk menciptakan peristiwa 26 Desember dan 28 Maret. "Saya tidak terkejut bila gempa (di bawah kepulauan Mentawai) ini terjadi dalam waktu setahun ini," katanya.

sumber: