PT Adaro Indonesia umumkan force majeure ke pembeli
Manajer Administrasi PT Adaro Indonesia, Priyadi, mengatakan pengumuman force majeure tersebut sudah disampaikan baik kepada pembeli di luar negeri maupun pemerintah sejak Sabtu, akhir pekan lalu karena gagalnya pengapalan di pelabuhan.
Kegagalan itu, menurut dia, diakibatkan oleh aksi masyarakat Pulau Kuu dan Desa Tamiang yang memblokade jalan penghubung ke pelabuhan sejak 24 hingga 28 Februari 2004.
"Kegiatan produksi sendiri sebenarnya sudah mulai berjalan lagi sejak hari ini [Minggu], tapi stockpile di pelabuhan kosong. Padahal untuk memenuhi pasokan ke buyer kami harus ada stok minimal 300.000 ton di pelabuhan. Jadi keadaan ini memicu dinyatakanya force majeure," kata Priyadi kepada Bisnis, kemarin.
Dia menuturkan keadaan saat ini sudah memenuhi klausul untuk dinyatakan dalam keadaan darurat dan gagal kirim (force majeure) kepada pembeli sehingga perusahaan telah menyampaikan kondisi itu kepada mereka.
PT Adaro Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen batu bara terbesar di Indonesia dengan volume produksi 2002 sebanyak 20,82 juta ton atau 20,14% dari total produksi nasional sebesar 103,372 juta ton. Selama periode tersebut Adaro mengekspor 12,69 juta ton ke 18 negara a.l. Taiwan, Jepang, Malaysia, Spanyol, dan India.
Sedangkan 9,31 juta ton untuk konsumsi dalam negeri, seperti PLTU Paiton, PLTU Suralaya, dan sejumlah pabrik semen.
Menurut Priyadi, blokade jalan itu telah mengakibatkan perusahaan gagal berproduksi batu bara sebesar 70.000 ton per hari, di mana 40% ditujukan ke pembeli domestik dan luar negeri 60%.
Sementara itu, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon Felix Sembiring, membenarkan telah menerima pemberitahuan dari PT Adaro Indonesia soal status force majeure itu, sehingga meminta adanya pengamanan dari daerah.
Dia sangat menyayangkan aksi blokade yang dilakukan masyarakat Tamiang karena hanya akan merugikan daerah sendiri. Seharusnya, menurut dia, penyelesaian terhadap soal keberatan dari masyarakat dilakukan dengan musyawarah.
"Kami sendiri minggu depan [pekan ini] akan mengutus tim untuk melihat ke lapangan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Mudah-mudahan segera diketahui faktanya," katanya saat di hubungi Bisnis, kemarin.
Priyadi menuturkan aksi blokade berawal dari klaim masyarakat bahwa PT Adaro
Padahal, lanjutnya, dalam penelitian Bapedalda tidak ditemukan korelasi antara banjir di kedua desa itu dengan kegiatan perusahaan. "Berdasarkan topografinya, kedua desa itu memang berada di dataran rendah, sehingga walaupun musim kemarau, kadang mereka tetap kebanjiran."
Kemudian, menurut dia, tuntutan masyarakat itu beralih ke soal kompensasi yang harus dibayar oleh perusahaan dengan menuntut jatah Rp4 juta per kepala keluarga dengan klaim penerima sebanyak 700 KK.
sumber: