Proyek Geotermal Bedugul Ditunda

Proyek Geotermal Bedugul Ditunda

Media Indonesia, 9 November 2005

JAKARTA (Media): Kementerian Negara Lingkungan Hidup menghentikan sementara kajian proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal) di Bedugul, Bali. Penundaan ini disebabkan penolakan masyarakat setempat dengan alasan merusak budaya dan lingkungan.

\'\'Kajian lingkungan sebenarnya lagi berjalan, cuma dalam kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) juga harus memerhatikan faktor sosial budaya dan keinginan masyarakat lokal. Jadi, kalau masyarakat sudah menolak, kita tidak bisa lagi melanjutkan kajian,\'\' kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar saat dihubungi Media di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, para pemegang kepentingan proyek ini tidak boleh mengabaikan aspek sosial budaya dan aspirasi dari masyarakat setempat. \'\'Semua pihak harus belajar dari kasus TPST Bojong, yang pada tahap pembangunannya tidak memerhatikan aspek sosial budaya masyarakatnya,\'\' tambah Rachmat.

Kendati demikian, lanjut Menteri, jika Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dapat menyelesaikan masalah dan melanjutkan proyek tersebut nantinya, KLH siap untuk melanjutkan kajiannya lagi.

Yang juga harus menjadi perhatian adalah penebangan pohon di hutan lindung yang dilewati oleh proyek ini harus memerhatikan kaidah lingkungan. Menurut Rachmat, jalur pipa yang melewati hutan lindung dan emisi panas yang dikeluarkan oleh proyek ini harus diatur sebaik mungkin.

Lebih lanjut dia mengatakan pada dasarnya proyek geotermal merupakan proyek pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Emisi dari geotermal lebih sedikit dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil. Sejauh ini geotermal tidak terlalu menimbulkan masalah, seperti di Kamojang, Jawa Barat.

Penolakan masyarakat

Meski begitu, penolakan pembangunan proyek ini datang dari seluruh lapisan masyarakat hingga Gubernur dan DPRD Bali. Penolakan mereka berdasarkan pertimbangan untuk mewujudkan fungsi lingkungan hidup yang lestari di Pulau Dewata tersebut. Apalagi masyarakat Bali dikenal bisa menjaga keserasian dan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan dan lingkungan.

\'\'Keberatan masyarakat bukan dari teknologi geotermalnya, melainkan karena pembangunan tersebut terletak di gunung dan kawasan cagar alam Batu Kara,\'\' kata Nyoman Sri Widhiyanti dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali ketika dihubungi Media, kemarin.

Masyarakat Bali menganggap gunung sebagai daerah yang suci, selain berfungsi sebagai daerah resapan air. Jika pembangunan tersebut dilakukan, akan mencemari dan merusak kesakralan daerah tersebut.

Berdasarkan amdal dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana, ada tiga dampak positif dan 19 dampak negatif dari proyek ini. Manfaatnya, antara lain ketersediaan listrik di Bali dan peningkatan pendapatan asli daerah.

Sedangkan tiga dampak negatif yang sulit dikelola nantinya, yaitu penurunan kesakralan kawasan tersebut, amblasnya lapisan tanah, dan penurunan keanekaragaman flora endemik Bali seperti cemara pandak.

Kekhawatiran lain masyarakat adalah penurunan debit air di Danau Buyam, Danau Tamringan, dan Danau Bedugul yang terletak di sekitar kawasan tersebut. \'\'Saat ini saja subak-subak di daerah Tabanan sudah mulai mengering. Takutnya hal itu akan diperparah dengan adanya proyek ini nantinya,\'\' tambah Sri

Proyek ini sudah direncanakan pada 1995 dan mulai dijalankan setahun kemudian. Namun, karena krisis ekonomi, proyek tersebut terhenti sejak 1998 hingga tahun lalu. Sampai saat ini proyek geotermal ini masih pada tahap eksplorasi.

Perpanjangan izin penebangan hutan yang diberikan oleh Dinas Kehutanan tahun lalu seluas 53,9 hektare. Sampai saat ini hutan yang sudah dibabat seluas 25,6 hektare. (*/H-3)

sumber: