Protokol Kyoto dan Mekanisme Pembangunan Bersih

 

 

KOMPAS - PLANET Bumi kini berbeban berat karena pemanasan global menyebabkan perubahan iklim. Karena itu berbagai negara berupaya membuat kerangka kerja tentang perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change).

Indonesia telah meratifikasi UNFCC 1994. Secara umum konvensi berupaya menstabilkan temperatur global untuk menghindari dampak buruk. Kemudian, 1997, Protokol Kyoto disetujui bersama sebagai mekanisme mereduksi emisi gas rumah kaca.

Protokol Kyoto akan berlaku apabila telah diratifikasi 55 negara dan mewakili 55 persen emisi negara Annex I tahun 1990. Hingga April 2004, 122 dari 134 negara telah meratifikasi, yang mewakili 44,2% emisi dunia. DPR baru-baru ini juga telah menyetujui ratifikasi Protokol Kyoto yang kini tinggal menunggu tanda tangan presiden.

Protokol Kyoto hanya mewajibkan negara maju (negara Annex I) untuk mengurangi tingkat emisinya. Sedangkan negara berkembang (non-Annex I termasuk Indonesia), tidak diwajibkan.

Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya, yaitu (a) Implementasi Bersama (Joint Implementation) yang merupakan kerja sama antarnegara-negara Annex I; (b) CDM (Clean Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih/MPB), di mana negara Annex I berinvestasi di negara non-Annex I untuk proyek- proyek yang menghasilkan Pengurangan Emisi yang Tersertifikasi (Certified Emission Reduction/CER); serta (c) Perdagangan Emisi di mana negara maju menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan ke negara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajiban.

Dari paragraf di atas tampak bahwa peluang Indonesia untuk mendapatkan dana dalam pengurangan emisi adalah melalui proyek-proyek MPB. Bagaimanakah sebenarnya potensi realisasi proyek-proyek MPB?

Potensi MPB

Meski pada praktiknya proyek MPB prosesnya sangat sulit dan panjang untuk didapatkan, potensi pasar MPB di Indonesia sebenarnya sangat besar dibanding negara-negara ASEAN lainnya.

Simulasi Jotzo dan Michaelowa (2003) menyatakan Indonesia memiliki potensi pasar CDM 3% dari potensi pasar dunia atau setara dengan 125 juta ton karbon. Beberapa pakar lain bahkan memprediksi potensi pasar Indonesia dapat mencapai 5% pasar, setara dengan 125-300 juta ton CO2 atau 81,5-1.260 juta dollar AS dalam periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto.

Berdasarkan National Strategy Study (NSS), emisi CO2 tertinggi berada pada sektor yang berhubungan dengan energi (terdiri dari industri energi, industri pengolahan, transportasi dan penggunaan rumah tangga/komersial) yaitu 55-77% total emisi domestik, kemudian Penggunaan Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan serta Kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF) 11-13%, dan terakhir sektor pertanian 13%.

Sektor energi

Besarnya emisi di sektor energi menggambarkan besarnya potensi sektor energi sebagai penerima proyek MPB. Masalah ratifikasi dari sisi energi terletak pada dampaknya terhadap perekonomian makro domestik, karena pemanfaatan energi per kapita rendah dan konsumsi energi dari bahan bakar fosil per rupiah masih tinggi.

Hasil simulasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) 2003 menggunakan Tabel Input-Output tahun 2000 dan diskusi penulis dengan Widjono Soetjipto dari LPEM FEUI menunjukkan bahwa ratifikasi Protokol Kyoto berpengaruh kecil terhadap perekonomian nasional. Penyebabnya terutama Indonesia sebagai negara berkembang tidak diwajibkan mengurangi emisi CO2 setidak-tidaknya pada periode komitmen pertama dalam implementasi Protokol Kyoto.

Maka pilihan untuk meratifikasi Protokol Kyoto bukan- lah sesuatu yang merugikan. Indonesia bahkan dimungkinkan untuk memanfaatkan dana dari proyek MPB untuk mengurangi tingkat emisinya.

Namun demikian, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, Indonesia tidak secara otomatis berhak (eligible) memperoleh dana MPB. Kelayakan proyek tetap menjadi acuan dalam mengalokasikan dana MPB.

Kedua, harga untuk CER saat ini, 3-7 dollar AS, jauh lebih kecil dari perkiraan harga semula yang layak, yaitu 10-25 dollar AS, bahkan jika dibandingkan dengan harga di negara Annex I yang 100 dollar AS. Harga yang rendah itu hanya berpengaruh kecil terhadap kelayakan (peningkatan IRR) proyek energi sehingga tidak menarik para investor.

Ketiga, kesiapan kelembagaan yang berhubungan dengan prosedur aplikasi dan persetujuan bagi proyek-proyek berbasis MPB di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang lebih dahulu meratifikasi.

Keempat, pengalaman awal pelaksanaan proyek berbasis MPB menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk konsultansi yang umumnya dilakukan oleh pihak asing sangat besar. Sehingga penting sekali membangun kapasitas (capacity building) lokal agar domestik yang memanfaatkan.

Kelima, ketegasan pemerintah diperlukan dalam menetapkan siapa penerima manfaat dari proyek MPB. Pengusaha ingin agar manfaat tersebut diterima pengembang (developer) sebagai insentif untuk mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan. Pihak lainnya menginginkan agar manfaat tersebut dapat diterima oleh penduduk lokal.

Hal utama yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan aspek kelembagaan seperti Designated National Authority (DNA) yang bersifat lintas sektoral; Domestik Operational Entity (DO) agar manfaat MPB dapat lebih dinikmati; mengembangkan prosedur aplikasi dan persetujuan proyek-proyek MPB untuk mengurangi biaya transaksi; mengembangkan kriteria pembangunan berkelanjutan; serta menyatakan siapa penerima manfaat proyek MPB. Untuk mengantisipasi kegagalan, pemerintah harus mempersiapkan perencanaan pengembangan sektor energi jangka panjang dengan peningkatan efisiensi energi, peningkatan pemanfaatan bahan bakar fosil yang relatif bersih (clean fossil fuel), dan peningkatan kontribusi energi terbarukan.

Sisi politis

Perlu dicatat pula bahwa pada akhirnya keputusan untuk meratifikasi Protokol Kyoto tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata. Dari sisi politis, kebersamaan dengan negara-negara berkembang untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam mengatasi pemanasan global perlu memperoleh perhatian.

Dengan segala pertimbangan itu, tampaknya presiden tak perlu ragu-ragu lagi menandatangani ratifikasi. Selain tidak diwajibkan menurunkan emisi, Pemerintah Indonesia juga berhak untuk keluar dari ratifikasi jika pada periode komitmen kedua Indonesia wajib menurunkan emisinya.

Secara makro-ekonomi, dampak ratifikasi ini cenderung dapat diabaikan. Ratifikasi ini juga akan dapat berdampak positif terhadap Indonesia dengan adanya insentif penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan, terjadinya efisiensi penggunaan energi serta mendorong lebih jauh energi mix di Indonesia dengan memperbesar penggunaan energi yang terbarukan yang relatif ramah lingkungan.

Syarif Syahrial Staf Peneliti LPEM FEUI

sumber: