Proses Divestasi Saham KPC: Bupati Kutim Mengaku Sulit Mendapat Dana
JAKARTA (Media): Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur membantah telah menjual kembali 13,6% sahamnya pada PT Kaltim Prima Coal (KPC) ke PT Bumi Resources Tbk. Transaksi tersebut baru dilakukan jika mereka kesulitan mendapatkan dana pembelian awal saham itu.
Bupati Kutai Timur Mahyudin mengatakan hal itu ketika dihubungi di Jakarta, kemarin, berkaitan dengan berita pihaknya telah menjual kembali 13,6% dari 18,6% saham Pemkab Kutai Timur di KPC kepada pemegang saham lainnya, PT Bumi Resources (Bumi). "Pernyataan saya itu disalahartikan oleh wartawan. Karena penjualan saham itu baru wacana."
Pernyataan itu disampaikan ketika belum lama ini wartawan menanyakan kelanjutan divestasi saham KPC. Ketika itu Mahyudin menyebutkan, kelanjutan proses divestasi itu pihaknya tengah mengkaji dua alternatif.
Pertama, Pemkab Kutim akan mencari pinjaman dana dari luar negeri untuk menuntaskan transaksi pembelian 18,6% saham KPC dari Bumi Resources senilai US$104 juta. Kedua, saham itu baru akan dijual kembali ke bumi jika Pemkab Kutim tidak mempunyai dana untuk melunasi pembelian awal saham tersebut.
Head of Investor Relations PT Bumi Resources Peter Tabalujan, yang dikontak kemarin, mengaku tidak mengetahui adanya transaksi penjualan kembali saham Pemkab Kutai Timur ke Bumi itu. Ia justru baru mengetahui kabar tersebut dari media massa.
"Saya belum mendengar keterangan itu dari manajemen, apalagi sebagian manajemen masih cuti. Tetapi, saya akan coba cek lagi kebenaran berita itu. Sebaiknya tanya langsung saja ke Bupati Kutai Timur," jelasnya.
Reaksi keras datang datang dari pemerintah, yang sangat menyesalkan tindakan Pemerintah Kabupaten Kutim yang menjual kembali 13,6% sahamnya di KPC itu kepada Bumi Resources. Soalnya, transaksi tersebut tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan pemerintah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengaku terkejut atas transaksi tersebut. Tetapi, bekas Wakil Gubernur Lemhannas ini menolak memberikan tanggapan lebih lanjut, karena mengaku belum menerima laporan resmi. "Saya baru tahu dari baca koran tadi pagi."
Hal senada diungkapkan oleh Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon F Sembiring. Meski belum menerima laporan resmi, Simon akan memerintahkan Direktur Pengusahaan Mineral dan Batubara, Mahyudin Lubis, untuk mengecek kebenaran transaksi tersebut.
Namun, Simon menolak memberikan sikap resmi pemerintah atas penjualan saham yang dilakukan secara tiba-tiba itu, termasuk kemungkinan pemerintah untuk memberikan sanksi kepada Pemkab Kutai Timur. Ia hanya mengatakan, dalam waktu dekat kemungkinan pihaknya memanggil Bupati Kutai Timur untuk meminta klarifikasi mengenai transaksi tersebut.
"Soal etis atau tidak tindakan itu, Saya tidak mau berkomentar. Pokoknya dia harus permisi ke kita (pemerintah dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral) dulu. Saya tidak tahu apa-apa dan akan diteliti lebih lanjut."
Kontroversi luas
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur membeli 18,6% saham KPC, dari PT Bumi Resources, pemilik baru perusahaan tambang yang terletak di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur itu. Nota kesepahaman antara Pemkab Kutai Timur dan Bumi telah diteken Oktober 2003.
Bumi membeli 100% saham KPC dari pemilik lamanya, Sangatta Holding dan Kalimantan Coal Limited, yang masing-masing menguasai 50 persen. Nilai pembelian itu, hanya sekitar US500 juta. Harga tersebut jauh lebih kecil dari harga divestasi yang disepakati dengan pemerintah Indonesia, yaitu US$822 juta untuk nilai 100 persen.
Pembelian oleh PT Bumi jelas kemudian menimbulkan kontroversi luas. Selain harganya lebih murah dibanding harga resmi divestasi, juga karena penjualannya dilakukan di tengah negosiasi ketat soal proses divestasi 51% itu. Apalagi, karena pemilik lama KPC terkesan diam-diam, sehingga Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, yang selama ini menangani proses divestasi itu, tidak diberitahu sebelumnya.
Tidak salah kalau kemudian pengalihan 100 persen saham KPC ke Bumi itu, dinilai makin menunjukkan ketidakseriusan pemilik lama, Beyond Petroleum (BP) dan PT Rio Tinto Indonesia (RTI), merealisir proses divestasi yang sudah disepakati sejak awal. Pengalihan kepemilikan itu juga sempat disebut-sebut bakal makin mempersulit proses divestasi yang sudah dirancang sejak 1996.
Persoalan ini bahkan sampai bergulir ke pengadilan, yang melibatkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemkab Kutai Timur di satu sisi, dengan pihak KPC, sampai akhirnya ditangani pemerintah pusat. Belakangan persoalannya ditangani Kementerian BUMN, sebelum akhirnya dibawa ke sidang kabinet.
Dalam sidang kabinet yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, 31 Oktober 2002 diputuskanlah alokasi 51% persen saham KPC itu. Pemerintah pusat mendapat jatah 20%, sedangkan 31% menjadi hak daerah, dengan komposisi Pemkab Kutai Timur 60% dan Pemprov Kalimantan Timur 40%. Artinya, Pemkab Kutai Timur mendapat jatah 18,6% dan Pemprov Kaltim 12,4%. Pemprov Kaltim kemudian dipercaya membagi secara adil dengan daerah (kabupaten/kota), termasuk Kutai Timur.
Satu hal, kalau dirunut ke belakang, tertunda-tundanya proses divestasi itu, juga tidak bisa dipisahkan dari tidak tersedianya dana pemerintah, baik daerah, maupun pusat untuk membayar harga saham itu. PT Bukit Asam yang dipercaya mengelola 20% jatah saham pemerintah pusat itu, diketahui tidak mampu. Pemprov Kaltim-Pemkab Kutai Timur juga tak mempunyai dana.
Bahkan berita penjualan kembali 13,6% saham yang dikuasai Pemkab Kutai Timur itu, juga dipicu karena dana pembelian 18,6% belum tersedia. Karena itu, semua pihak yang terlibat dalam masalah ini harus duduk bersama, untuk mentuntaskan persoalan yang ada. (Wis/Naz/E-1)