Profitabilitas usaha tambang RI membaik
Bisnis Indonesia
JAKARTA (Bisnis): Tingkat profitabilitas sektor usaha pertambangan di Indonesia diduga membaik menyusul berlanjutnya penguatan harga mineral di pasar internasional pada tahun ini.Angka itu diketahui mencapai level 18,5% pada 2003, sedangkan pungutan tarif pajak keseluruhan pada sejumlah perusahaan tambang tercatat hingga 48,1% pada periode yang sama, ungkap satu lembaga penelitian.
Marc Upcroft, mitra bidang pertambangan Pricewaterhouse Coopers (PwC), menuturkan penguatan harga mineral akan meningkatkan laba industri bisnis pertambangan pada kurun waktu hingga dua tahun terakhir.
"Pada 2004-2005 masih berlanjut, ada peningkatan sedikit tapi tidak akan signifikan. ROSF [rate on shareholders funds] untuk tambang di Indonesia [2003] mencapai 18,5% dibanding rata-rata 10 tahun terakhir yang hanya 13,2%," ujarnya dalam paparan hasil survei PwC terhadap sektor pertambangan Indonesia 2003, kemarin.
Tingkat profitabilitas itu, tutur Marc, tercatat lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat pengembalian dana pemegang saham pada 30 perusahaan tambang multinasional yang hanya 10,5% pada 2003.
Selain itu, lanjutnya, Indonesia juga masih menduduki peringkat lebih tinggi terkait angka itu dibandingkan Australia yang hanya 7,4% pada periode yang sama.
Terkait dengan pengenaan pajak, kata dia, jumlah pajak langsung dan tidak langsung perusahaan pada 2003 sebesar US$849 juta, termasuk pajak penghasilan dan royalti.
"Nilai itu mencerminkan tarif pajak perusahaan keseluruhan sebesar 48,1%, lebih tinggi dibandingkan Australia, China, dan Afsel."
Menurut dia, tinggi pengenaan pajak itu terutama pada komoditas batubara sehingga dipastikan mempengaruhi tingkat investasi di sektor terkait. Beban pajak itu, katanya, akan membatasi kuantitas produksi batubara secara ekonomis.
Terkait investasi tambang, Marc mengakui, berdasarkan hasil survei PwC menunjukkan tidak ada perkembangan mencolok pada periode 2003. Perluasan usaha diketahui hanya ada satu proyek, yaitu nikel FeNi III milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
PT Aneka Tambang (Antam) Tbk kini berencana mengembangkan proyek FeNI IV dengan nilai investasi sekitar US$700 juta untuk biaya pembangunan pabrik hingga pembangkit listrik.
Dana tersebut dua kali lipat dari nilai proyek FeNI III yang nilainya sekitar US$350 juta. Menurut sumber Bisnis, kepastian dana yang dibutuhkan untuk pembangunan proyek baru itu tergantung skim pembangunan perseroan.
Deddy Aditiya Sumanagara, Dirut Antam, ketika dimintai keterangannya soal investasi ini menyebutkan belum dapat menjelaskannya. Proyek tersebut menurut Deddy masih dalam wacana dan akan dilakukan studi kelayakannya.
"Saya belum bisa ngomong soal investasinya. Ini kan masih dalam taraf awal dan akan dilakukan studinya. Proyek ini yang pasti bukan di Pomala [Sulawesi Selatan]," ungkap dia.
Pertumbuhan investasi
Rendahnya tingkat investasi Indonesia itu diketahui tercatat pada peringkat kedua terakhir setelah Filipina berdasar data Frasser Institute. Hal ini kontra dengan cadangan mineral tambang yang diperhitungkan terbesar keempat di dunia.
"Pengeluaran eksplorasi untuk daerah baru pada 2003 hanya 1% dibandingkan tahun sebelumnya, atau sekitar US$7 juta. Sementara secara global, angka itu mencapai US$2.190 juta atau naik 7% dibandingkan 2002," papar Marc.
Dia mengatakan penghambat terbesar pertumbuhan investasi itu adalah stabilitas politik yang diduga mempengaruhi pertimbangan investor hingga 90%. Sementara, faktor lain adalah ketidakpastian hukum (66%) dan duplikasi regulasi pemerintah (53%).
Sejumlah kendala itu, ungkapnya, lebih buruk dibandingkan beberapa negara.
Dalam hal stabilitas politik, hanya Zimbabwe yang menduduki peringkat terburuk hingga 97%. Di sisi ketidakpastian hukum, peringkat Indonesia justru yang terburuk. (06/adn)
sumber: