Pro-kontra Badan Penerimaan Negara: Pemisahan Fungsi Lebih Penting

 

 

 

Bisnis Indonesia, 5 Maret 2004, Bisa dibayangkan bagaimana gerahnya para pejabat Departemen Keuangan. Usulan reorganisasi yang mereka ajukan ke Kantor Meteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara sejak beberapa bulan lalu tak kunjung disetujui. Tiba-tiba Kantor Men-PAN membuat usulan tambahan, yaitu pemisahan Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai dan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Depkeu menjadi badan otonom.

Usulan tersebut termuat dalam surat Men-PAN nomor B/59/M.PAN/1/2004 yang dialamatkan ke Presiden RI. Ada dua alternatif yang diajukan Men-PAN. Pertama, penyempurnaan organisasi Depkeu yang tetap sesuai dengan usulan Menkeu. Kedua, penyempurnaan organisasi Depkeu yang sekaligus memisahkan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan dan pendapatan negara ke dalam Badan baru yang berbentuk lembaga pemerintah non-departemen.

Men-PAN Feisal Tamin menyatakan saat ini tugas dan fungsi di bidang pengelolaan dan pemungutan pendapatan negara dilaksanakan oleh Ditjen Pajak, Ditjen BC serta Direktorat Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak di Ditjen Lembaga Keuangan.

Apabila rencana pembentukan Badan yang besifat mandiri tersebut akan direalisasikan, maka perlu dilakukan pemisahan tugas dan fungsinya dari Depkeu. Selanjutnya Depkeu akan lebih fokus pada kebijakan pembangunan ekonomi makro, jasa keuangan, perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan pasar modal serta tugas-tugas lain sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara kecuali hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemungutan pendapatan negara.

Feisal yakin pembentukan Badan baru itu akan berimplikasi terhadap kemandirian pelaksanaan pengelolaan dan pemungutan pendapatan negara sehingga kemampuan, fleksibilitas, dan koordinasi dalam upaya peningkatan penerimaan negara dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.

"Pembentukan Badan tersebut tentu akan berimplikasi penambahan jabatan struktural, tapi dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dalam rangka peningkatan negara hal tersebut masih dapat dipahami," ujar Feisal dalam suratnya tertanggal 15 Januari 2004.

Selang beberapa hari kemudian, tepatnya 26 Januari 2004, Menkeu berkirim surat ke Presiden untuk menanggapi surat Men-PAN. Menkeu Boediono menilai alternatif dua yang diusulkan Men-PAN bersifat sangat drastis dan berimplikasi luas, dan belum pernah dibahas dengan Depkeu.

"Kami berpendapat alternatif II yang diusulkan, yaitu pelepasan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai dan Direktorat Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak, akan mengganggu pelaksanaan APBN," tulis Boediono dalam surat bernomor S-11/MK/2004.

Tak lupa, Menkeu juga meminta agar alternatif pertama yang telah dibahas selama berbulan-bulan di Depkeu dapat segera ditetapkan Presiden dalam waktu dekat sesuai jadwal yang tercantum dalam Inpres No. 5/2003.

Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa 2 Maret 2004, Menkeu kembali menegaskan bahwa kebijakan fiskal akan terganggu jika fungsi penerimaan dan pengeluaran tidak berada di bawah satu kendali.

"Dalam reorganisasi Departemen Keuangan yang direncanakan, kami berpendapat masalah fiskal harus berada di bawah satu kendali," kata Boediono menjawab pertanyaan anggota Dewan.

Trias politika

Gagasan pembentukan badan independen yang menangani masalah pajak dan penerimaan negara lainnya sebenarnya bukan hal baru. Salah satu alasan yang mereka usung adalah fungsi dan tanggung jawab sektor perpajakan yang kian besar, sehingga membutuhkan organisasi yang besar pula.

Masalahnya, apakah lembaganya yang perlu dipisahkan atau fungsi-fungsi dalam perpajakan yang perlu dipisahkan?

Pembentukan badan tersendiri untuk menampung fungsi dan tugas di bidang perpajakan memang mempunyai sederet alasan untuk membenarkan dan sederat pula untuk menolaknya. Jadi, lupakan perselisihan atau benda pendapat antara Menkeu dan Men-PAN. Itu hal biasa yang sangat wajar.

Sekarang, lepas dari jadi tidaknya pembentukan Badan baru, yang lebih penting adalah pemisahan fungsi-fungsi perpajakan. Yaitu fungsi legislatif, fungsi yudikatif dan fungsi eksekutif. Ketiga fungsi ini berada dalam satu tangan, yaitu Ditjen Pajak.

Fungsi legislatif adalah fungsi yang melekat pada Dirjen Pajak untuk membuat aturan atau ketentuan pelaksana undang-undang.

Dalam praktiknya, ada keputusan Dirjen Pajak yang sifatnya murni aturan pelaksana-hanya penjabaran lebih rinci, namun ada pula yang sifatnya material.

Contoh, keputusan yang bersifat material adalah penetapan perkiraan penghasilan neto dan jenis-jenis jasa lain (Pasal 23, ayat 1 angka (2) UU PPh) dengan keputusan Dirjen Pajak.

Fungsi yudikatif adalah fungsi di bidang peradilan. Ditjen Pajak juga mempunyai fungsi ini, yaitu dalam hal menolak atau mengabulkan permohonan keberatan wajib pajak atas surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPLB). Keberatan pada dasarnya upaya hukum yang dilakukan WP atas ketidakadilan yang dia terima.

Jika pemisahan fungsi tersebut dilakukan, maka konsekuensinya adalah institusi yang mengeluarkan SKPLB harus berbeda dengan institusi yang menangani keberatan. Saat ini, dimana keberatan diajukan kepada institusi atasannya akan membuat konflik interest yang tinggi.

Contoh paling nyata kewenangan Ditjen Pajak atas fungsi yudikatif adalah kewenangan untuk menerbitkan Surat Paksa yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana ditegaskan dalam Undang -undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Kedua fungsi tersebut seharusnya dipisahkan, sehingga yang ada di tangan Ditjen Pajak adalah fungsi eksekutif.

Jika fungsi legislatif dipisahkan maka Ditjen Pajak tidak perlu dipusingkan oleh maraknya permintaan fasilitas dan kemudahan oleh berbagai pihak.

Para pejabat di Ditjen Pajak juga tidak akan kambuh sakit kepalanyanya pada akhir tahun karena target penerimaan pajak belum tercapai, misalnya.

Tidak seperti saat ini. Akses Ditjen Pajak terhadap transaksi keuangan-khususnya di perbankan-dibatasi habis, namun target penerimaan setiap tahun naik. Ini adalah logika yang amburadul.

Bagaimana mungkin dengan lahan yang sama tapi dituntut hasil panen yang naik dari tahun ke tahun. Jika selama ini Ditjen Pajak masih bisa memenuhi, hal itu semata-mata karena kreaktivitas para pimpinan Ditjen Pajak dalam melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi.

Namun kedua program tersebut akan mencapai titik maksimal dalam tahun-tahun mendatang, jika tidak ada perluasan akses informasi.

Keluhan utama dari Ditjen Pajak saat ini adalah di satu sisi dituntut target penerimaan yang selalu naik dari tahun ke tahun, namun di sisi lain akses terhadap informasi keuangan wajib pajak dibatasi.

Repotnya, siapapun Dirjen Pajaknya tidak bisa mengatakan "tidak" terhadap target APBN karena dia sadar betul bahwa dengan memegang tiga fungsi sekaligus di tangannya, orang akan berfikiran Dirjen Pajak adalah seorang Superman.

Wadah baru?

Fungsi Ditjen Pajak harus diluruskan, yaitu bagaimana menjalankan UU secara saklek, baik dan benar, tanpa pandang bulu dan tanpa embel-embel target penerimaan. Target penerimaan bukan tujuan atau sasaran. Berapapun penerimaan yang dapat direalisasikan tidak penting.

Sebab jika tugas dan fungsi Ditjen Pajak menjalankan UU tersebut sudah berada di atas rel, sedikit dan banyaknya penerimaan pajak tersebut adalah cermin dari potensi pajak yang ada di negeri ini.

Jika terjadi kesenjangan antara target penerimaan yang ditetapkan APBN dan realisasinya, maka yang bertanggung jawab adalah institusi yang membuat ketentuan atau kebijakan perpajakan. Bukan institusi Ditjen Pajak selaku eksekutif.

Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai yang sekarang ada dapat dilebur menjadi satu, namun kemudian dipecah menjadi tiga institusi setingkat ditjen berdasarkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud di atas.

Pertanyaanya, apakah pemisaahan fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif di bidang perpajakan tersebut harus diwadahi dalam badan baru yang independen dan otonom sebagaimana diusulkan Men-PAN Feisal Tamin?

Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung bagaimana pertimbangan politiknya. Yang penting harus ada tiga institusi (bisa setara ditjen), yaitu institusi yang menangani masalah kebijakan, institusi yang menjalankan kebijakan dan institusi kontrol (termasuk di dalamnya lembaga keberatan). Institusi ini seharusnya berdiri sendiri.

Tapi bila pertimbangan politik memutuskan ketiga institusi ini tetap di bawah Depkeu, juga tidak ada masalah.

Masalahnya, apakah Menteri Keuangan bersedia mendelegasikan kewenangan di bidang penerimaan sesuai fungsi masing-masing institusi tersebut.

Jika Menteri Keuangan masih mengambil porsi terlalu besar, maka kebijakan di bidang perpajakan tidak akan berubah meskipun fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif sudah dipisahkan.

sumber: