Polisi Tutup Paksa Tambang Pasir
Belasan anggota Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Cirebon yang dipimpin Kepala Satreskrim Ajun Komisaris Taufik Asrori didukung oleh puluhan personel Pengendali Massa (Dalmas), Senin siang sekitar pukul 14.00 mendatangi lokasi penggalian pasir di Argasunya dan langsung menghentikan kegiatan penggalian dan pengangkutan pasir yang sedang berlangsung.
Selain mengamankan beberapa penggali dan operator alat berat, polisi juga menyita tujuh unit mesin penggali (excavator/backhoe) dan sekitar 10 truk pengangkut tanah yang membawa pasir dari lokasi tambang menuju tempat penampungan sementara.
Menurut Taufik, penutupan paksa dilakukan karena diketahui para penambang tersebut beroperasi tanpa izin dan kuasa pertambangan resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Pertambangan galian C di Argasunya telah beroperasi sejak tahun 2000 dan belakangan baru terungkap bahwa tidak satu pun pengusaha pertambangan tersebut yang mengantongi izin dari Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon maupun kuasa pertambangan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Selain itu, kegiatan pertambangan yang tidak berizin dan tidak terkontrol tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Penambangan pasir di lahan seluas sekitar 30 hektar tersebut dilakukan dengan mengeruk dan menggali kawasan perbukitan secara liar dan tidak terkontrol sehingga mengubah kawasan perbukitan itu menjadi lembah dan jurang-jurang sedalam lebih dari 30 meter.
Menurut Taufik, para pengusaha pertambangan di lokasi itu yang terbukti tidak memiliki izin dan kuasa pertambangan akan diancam tuduhan pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Unjuk rasa
Penutupan yang dilakukan secara mendadak dan tanpa peringatan sebelumnya ini mengejutkan ratusan warga Argasunya yang bekerja di galian pasir itu. Senin sore kemarin, sekitar 1.000 pekerja tambang berunjuk rasa ke kantor Kecamatan Harjamukti dan dilanjutkan ke Balai
Mereka menuntut agar tambang galian C dibuka kembali dan berbagai alat berat yang disita polisi segera dikembalikan.
Mereka menentang penutupan itu karena selama ini penambangan tersebut sudah menjadi tempat mata pencarian satu-satunya bagi warga. "Kalau tambang ini ditutup, kami mau makan apa?" kata Maman (35), salah seorang pekerja tambang yang mengaku diupah Rp 10.000 per hari. Beberapa warga lainnya juga mengatakan demikian.
Di Balaikota, para pekerja tambang yang ingin menemui Wali Kota Cirebon Subardi hanya diterima oleh Asisten Sekretaris Daerah III bidang Perekonomian dan Pembangunan Djohar Kusumah. Kepada
Djohar menambahkan, keputusan penutupan tambang galian C tersebut sudah final dan merupakan keputusan bersama dengan DPRD Kota Cirebon. "Tanah pasir di Argasunya seharusnya menjadi tanah resapan air di musim hujan," tandas Djohar.
Berdasarkan UU No 11/1967, pasir termasuk dalam bahan galian golongan C, yaitu bahan galian di luar bahan galian strategis (golongan A) dan bahan galian vital (golongan B). Selama ini penambangan pasir sangat menggiurkan para pengusaha pertambangan karena nilainya yang sangat tinggi. Menurut Taufik Asrori, diperkirakan omzet pertambangan pasir di Argasunya mencapai Rp 2 miliar per hari.